Sekolah Adat, Budaya & Konstitusi BBrG: Belajar dari Alam, Bertumbuh bersama Kearifan

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

PELAKITA.ID – Di tengah skeptisisme sebagian kalangan, Sekolah Adat, Budaya & Konstitusi BBrG perlahan namun pasti menunjukkan eksistensinya.

Sekolah ini bukan sekadar tempat belajar dalam arti formal, melainkan ruang perjumpaan lintas generasi dan lintas budaya—tempat ilmu ditanam, dibagi, dan tumbuh dalam semangat gotong royong.

Kami merintisnya beberapa belas tahun lalu, saat gagasan sekolah tanpa tembok dianggap utopia. Tapi kami percaya: pengetahuan tidak membutuhkan gedung mewah atau ruangan ber-AC.

Kami cukupkan dengan semilir angin dan teduh pepohonan. Kami yakini bahwa alam adalah guru, dan manusia—siapapun dia—adalah pembelajar sekaligus pengajar.

Sekolah ini menerima siapa saja.

Kami menyambut siswa, mahasiswa, wisatawan lokal dan mancanegara. Mereka datang untuk berdiskusi, berdialog, dan belajar tentang kearifan lokal. Tapi sesungguhnya, kamilah yang banyak belajar dari mereka.

Bagi kami, setiap tamu adalah guru dan sekaligus murid: mereka mengajarkan perspektif baru, dan kami membagikan kebijaksanaan lama yang masih relevan.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini adalah contoh nyata.

Kami tidak menggelarnya di aula megah, melainkan di bawah langit dan di antara pepohonan. Kami hadirkan intelektual muda sebagai narasumber, meski usianya jauh lebih muda dari sebagian besar peserta.

Kami percaya, ilmu tak mengenal usia, dan justru semangat muda kerap menyala lebih terang dalam gelapnya tantangan zaman.

Tema diskusi kami: mengenang dan meneladani sosok penyiar agama dan tokoh sejarah yang menulis dengan bahasa lokal yang mudah dipahami—menyampaikan kearifan dalam bentuk yang akrab dan membumi.

Para peserta, sebagian besar adalah da’i yang datang tergesa setelah menunaikan tugas khutbah di tempat lain, terlibat aktif dalam percakapan yang hangat dan mencerahkan.

Kami sengaja menyusun semua elemen kegiatan sebagai proses pembelajaran: Bangunan tua yang kami rawat, ukiran pesan leluhur, sajian makanan lokal, cara kami menyambut tamu, hingga format diskusinya—semuanya adalah bagian dari kurikulum hidup yang terus kami bangun.

Kami berterima kasih dan memohon doa agar inisiatif ini menjadi amal jariyah bagi semua yang terlibat. Terima kasih kepada Pemerintah Daerah Takalar, khususnya Bapak Firdaus dari Telkom yang mewakili instansi,

Ketua Dewan Masjid Indonesia Takalar, para da’i, Ketua dan Pengurus Forum Pemerhati Galesong, Pokdarwis, mahasiswa Poltekpar Makassar, pengurus dan tokoh pemuda MAKRAM Makassar dan Takalar, serta para ibu hebat yang kami sebut “calon penghuni surga”.

Ada harapan yang tumbuh: kegiatan semacam ini bisa menjadi tradisi rutin. Bahkan, kami berencana membukukan semua proses dan gagasan yang lahir dari forum ini. Untuk itu, kami memohon restu dan dukungan dari semua pihak.

Sekolah kami tak bersekat, tapi tak juga sembarangan. Kami percaya: jika ilmu dibagi dengan hati, maka hasilnya bukan hanya cerdas, tapi juga beradab.

Penulis: Prof Aminuddin Salle Karaeng Patoto, Founder BBrG