PELAKITA.ID – Di pelataran sebuah sekolah dasar, seorang anak kecil duduk termenung di sudut bangku taman. Seragamnya lusuh, sepatunya robek, matanya menatap kosong ke arah langit yang mulai suram.
Pagi tadi, ia berlari-lari di koridor kelas, menyenggol meja guru, dan menyembunyikan buku milik temannya. Tangannya ditepuk keras, namanya diteriakkan di depan teman-temannya.
“Kamu ini anak nakal!” bentak seorang ‘dewasa’ yang lupa bahwa ia pun dulu pernah kecil dan tak selalu patuh.
Label itu menempel cepat, seperti cap yang tak bisa dicuci—anak nakal. Sebutan yang sering diucapkan dengan nada marah, seolah dia adalah penyakit yang harus dijauhkan.
Tapi benarkah ada yang namanya “anak nakal”? Atau mungkinkah ia hanyalah refleksi dari dunia yang tak sempat memeluknya?
Dalam dunia ilmu, istilah “nakal” bukanlah sebuah diagnosis. Psikologi anak tidak mengenal istilah itu secara ilmiah. Yang dikenal adalah perilaku menyimpang, perilaku agresif, gangguan atensi, atau bahkan trauma masa kecil. Tapi “nakal”? Itu hanyalah konstruksi sosial—sarat emosi, minim empati.
Menurut data UNICEF Indonesia (2023), sekitar 40% anak usia sekolah dasar mengalami tekanan emosional akibat pola asuh yang keras, kurangnya komunikasi dengan orang tua, serta lingkungan yang permisif atau sebaliknya sangat represif.
Anak-anak yang tumbuh dalam suasana keras cenderung mengekspresikan diri secara agresif. Mereka tidak lahir dengan keinginan untuk menyakiti; mereka hanya belum menemukan cara lain untuk bicara.
Laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat bahwa dari 1.200 kasus anak berhadapan dengan hukum sepanjang 2022, lebih dari 60% berasal dari keluarga yang tidak utuh atau lingkungan sosial yang bermasalah.
Maka sesungguhnya, anak yang disebut “nakal” sering kali hanyalah cermin yang memantulkan retaknya rumah, kaca pecahnya sekolah, dan debu tebalnya lingkungan sekitar.
Namun masyarakat cepat menilai, lambat memahami. Kita lupa bahwa anak adalah pejalan kecil yang baru belajar membaca arah. Kita terlalu sering memukul tangannya sebelum sempat menggandengnya, terlalu cepat memvonis sebelum berusaha memahami.
Padahal, anak bukan produk. Ia bukan hasil akhir, melainkan proses yang sedang tumbuh. Ia bukan kertas kosong untuk ditulisi marah dan harap, tapi ladang yang perlu disiram sabar dan kasih.
Psikolog anak kenamaan, Dr. Seto Mulyadi, pernah berkata, “Tidak ada anak nakal. Yang ada adalah anak yang belum terpenuhi kebutuhan emosionalnya.
” Kalimat itu sederhana, tapi mendalam. Seperti kabut yang perlahan terangkat dari pegunungan, membuka pandangan baru yang lebih jernih—bahwa anak-anak yang dianggap mengganggu, sering kali hanyalah mereka yang sedang berteriak dalam diam, meminta seseorang mendekat, duduk, dan mendengar.
Di sinilah peran sekolah, keluarga, dan masyarakat menjadi penentu. Sayangnya, tak sedikit sekolah yang lebih memilih menyingkirkan daripada memeluk.
Dalam riset Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), 35% guru mengaku pernah memberikan hukuman fisik ringan kepada siswa demi alasan disiplin.
Bukannya membangun komunikasi, sistem pendidikan kita masih banyak mengandalkan ketakutan sebagai pengatur perilaku. Padahal, anak-anak belajar paling baik bukan saat mereka takut, tapi saat mereka merasa aman.
Keluarga pun tak luput dari tanggung jawab. Banyak orang tua bekerja dari pagi hingga malam demi sesuap nasi, hingga tak sempat mengenal anak-anaknya sendiri.
Anak pun mencari perhatian di luar rumah, dari lingkungan yang belum tentu ramah. Ketika kasih tak hadir, maka kegelisahan pun tumbuh.
Lingkungan sosial dan media juga turut membentuk perilaku anak hari ini. Tayangan kekerasan, budaya viral yang instan, dan konten digital tanpa penyaring membuat anak-anak kehilangan peta moral yang seharusnya digambar bersama.
Mereka dibanjiri informasi, tapi kekurangan pendampingan. Mereka diajak mengejar sukses, tapi tak diajarkan makna gagal.
Lalu, bagaimana Islam memandang semua ini?
Dalam Islam, anak adalah karunia yang harus dirawat, bukan beban yang harus dipukul. Rasulullah SAW, manusia agung teladan sepanjang zaman, tak pernah menyebut anak sebagai “nakal.” Bahkan kepada cucunya yang memanjat punggung beliau saat sedang sujud, Rasulullah hanya tersenyum dan memperpanjang sujudnya. Pendidikan dalam Islam berpijak pada cinta, keteladanan, dan kesabaran. Al-Qur’an bahkan merekam dialog Luqman kepada anaknya, penuh kelembutan dan ajakan berpikir—bukan bentakan atau ancaman.
Dalam hadis Nabi disebutkan:
“Barangsiapa tidak menyayangi anak-anak kecil kita dan tidak menghormati orang-orang tua kita, maka ia bukan bagian dari golongan kami.” (HR. Ahmad)
Hadis ini menegaskan bahwa rahmat harus menjadi napas utama dalam mendidik anak.
Lalu, adakah jalan pulang bagi mereka yang telah dijauhkan dengan label “nakal”?
Tentu ada. Selalu ada.
Kita perlu membangun kembali suasana surgawi (Baitii Jannatii) dengan menghadirkan ekosistem kasih sayang di setiap rumah, sekolah, dan desa. Kita butuh ruang-ruang dialog antara guru dan murid, orang tua dan anak, serta antarwarga. Sekolah perlu beralih dari pendekatan penghukuman ke pendekatan pemulihan. Anak-anak perlu belajar bukan hanya matematika dan IPA, tapi juga tentang marah, sedih, kecewa, dan cara menyalurkannya.
Pemerintah dan lembaga sosial harus bersinergi memperbanyak layanan konseling, klinik psikologi remaja, dan program parenting bagi keluarga rentan. Kita butuh lebih banyak guru yang mau menjadi pelita, bukan palu. Kita butuh lebih banyak kebijakan yang mengakar pada perlindungan anak, bukan hanya pelaporan.
Anak-anak adalah fajar yang belum sempurna terbit. Kadang sinarnya tertutup awan kelabu. Tapi dengan sabar, kita bisa menunggu, menemani, dan membantu mereka bersinar.
Jangan cepat menyebut anak nakal, sebelum engkau menyelami lautan batinnya. Mungkin dia hanya haus peluk. Mungkin ia sedang mencari bahasa lain untuk berkata:
“Tolong dengar aku, tolong pahami aku.”
Dan saat kita mulai mendengar, maka mereka pun akan belajar mencintai.
Dan bukankah pendidikan sejati adalah tentang menumbuhkan cinta?
Wallahu A’lamu Bissawaab
— Moel’S @03052025