Kolom Muhd Nur Sangadji | Small Action, Big Change: Sagu Lempeng yang Tersisa

  • Whatsapp
Muhd Nur Sangadji dan lempeng (dok: Istimewa)

PELAKITA.ID – Disebut lempeng, padahal ini makanan. Terbuat dari perasan pati ubi kayu atau pohon sagu. Mungkin karena itu, ia dinamakan sagu. Dan karena bentuknya pipih seperti lempengan, maka lahirlah nama sagu lempeng.

Kuliner khas ini telah bertahan berabad-abad di tanah Maluku, menjadi warisan yang dirawat turun-temurun.

Saya telah banyak menulis tentang sagu lempeng, baik dari sisi sejarah maupun akulturasi dengan budaya Spanyol dan Portugis. Namun, kali ini saya ingin berbagi cerita berbeda: tentang sagu lempeng yang tersisa.

Tersisa, karena hanya dua keping yang masih bertahan di dalam kopor saat kami—saya, istri, dan anak—pulang kampung ke Mareku, Tidore, melalui Makassar dan Ternate.

Ketika menginap enam jam di Hotel Bandara, kami menikmati burasa dan mandura, dua kuliner khas Sulawesi. Dalam penerbangan, kami memesan teh panas. Istri saya menikmatinya dengan burasa dan biskuit Regal, tetapi saya memilih sagu lempeng yang tersisa.

Saya mencelupkan lempengan sagu itu ke dalam teh manis panas. Lauknya? Sambal ikan roa (julung) dari Desa Pongkuilu, Morowali. Uniknya, sambal ini dibuat oleh anak-cucu orang Mareku Tidore yang menetap di sana.

Mengapa mereka ada di Morowali? Itu kisah panjang yang berkaitan dengan era kesultanan dan tradisi berburu ikan julung hingga ke pantai-pantai Sulawesi.

Di atas pesawat, semua kuliner ini berpadu. Modalnya hanya segelas teh dari pramugara. Burasa, mandura, biskuit, sagu lempeng, dan sambal ikan roa berbaur, menciptakan sensasi rasa yang luar biasa.

Yang membuat saya takjub, sagu lempeng ini telah bertahan satu tahun sejak saya membawanya dari Ternate saat menghadiri Seminar Internasional tentang pembangunan berkelanjutan di Universitas Khairun. Meski tersimpan lama di kopor, ia tetap layak dikonsumsi.

Insya Allah, saat kembali dari Ternate dan Tidore nanti, kopor saya akan terisi kembali dengan sagu lempeng yang baru. Seperti tradisi sebelumnya, sagu ini akan menemani perjalanan setahun ke depan.

Begitulah warisan kearifan lokal (indigenous knowledge) dalam sektor kuliner Moluku Kie Raha.

Kita perlu terus menjaga dan merawatnya. Sebab, hanya generasi yang cerdas dalam memelihara buah karya pendahulu yang akan dihargai oleh mereka yang datang kemudian. Semoga. 🤲🤝

Palu-Makassar-Ternate-Tidore, 02 April 2025