PELAKITA.ID – Apa jadinya Lebaran tanpa ketupat? Makanan berbahan beras yang dicuci lalu dimasak ini, bisa dimakan dengan opor ayam, kari, dan toppalada.
Ketupat dengan Coto Makassar, apalagi. Bahkan disantap dengan serundeng pun tetap enak dan tentu mengenyangkan.
Sebenarnya ada menu lain, yang biasa disajikan kalau Lebaran, seperti burasa, lappa-lappa, dan gogoso. Namun ketiga makanan mengandung karbo ini rada ribet membuatnya. Beda dengan ketupat yang lebih ringkas dan hemat.
Posisi ketupat yang sepenting itu, membuatnya dicari. Kalaupun tidak bisa dibuat sendiri, ya dibeli.
Belinya bisa di pasar-pasar tradisional ataupun dipesan di pagandeng, sambalu, yang menyusuri lorong-lorong kota dan kompleks perumahan.
Kebanyakan orang lebih memilih membeli ketupat yang sudah jadi dibanding membuat sendiri. Maklum, di zaman kiwari, semakin banyak orang yang tak lagi tahu bagaimana menganyam ketupat. Baik yang terbuat dari daun kelapa maupun berbahan daun pandan.
Orang-orang maunya praktis, tinggal beli yang sudah jadi.
Nah, peluang itulah yang dimanfaatkan oleh Hasriani Daeng Pati, pedagang rumah ketupat musiman, yang saya temui di Pasar Katangka, Sabtu, 29 Maret 2025
Pasar ini sejatinya hanya berupa pasar darurat, yang membentang di Jalan Kacong Daeng Lalang, Kelurahan Tombolo, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa.
Perempuan berusia 30 tahun itu, juga pedagang tetap di pasar yang berdekatan dengan sebuah Sekolah Dasar itu. Artinya, dia hanya pedagang musiman, saat Hari Raya Idulfitri dan Iduladha.
Sehari-hari, dia merupakan buruh PT Duta Harapan Tunggal, pabrik yang memproduksi sirup pisang DHT nan legendaris itu. Dia bekerja di bagian pencucian botol, sejak tahun 2013.

Namun, setiap menjelang Lebaran, dia menangkap momen itu untuk meraup rezeki, seperti juga pada saat-saat menjelang Hari Raya Idulfitri 1446 Hijriah, tahun ini.
Sejak tahun 2013, setiap kali menjelang Lebaran, dia sibuk membuat ketupat dari daun pandang. Dia bahkan membuatnya di tempat, di lokasi penjualannya, yang menempel pada tembok pabrik tempatnya bekerja.
Di situ, yang mirip ga’de-ga’de, dia berjualan dengan sahabatnya, Saripa. Sahabatnya itu, juga karyawan pabrik sirup DHT. Pagi, sekira pukul 07.00, dia mulai berjualan. Nanti pulang saat sore, pada pukul 17.00 wita.
Saripa tinggal di Bu’rung-Bu’rung, Patallassang, juga di Kabupaten Gowa. Dia berjualan, mengajak anaknya yang masih duduk di bangku SD. Anak perempuan yang tampak pemalu itu tengah liburan, sehingga diajak ibunya berjualan kerupat.
“Sejak tahun 2013, saya berjualan di sini, memanfaatkan waktu libur,” jelas ibu berhijab tersebut.
Hasriani yang warga Pallangga itu, mengaku hanya memanfaatkan pohon pandan yang banyak tumbuh di belakang rumahnya di Sanrangang.
Tanaman itu, kata dia, tumbuh sendiri. Pandan ini memang mudah dijumpai di pekarangan atau tumbuh liar. Walau banyak juga yang dibudidayakan. Akarnya besar dan memiliki akar tunggang yang menopang pohonnya bila sudah tumbuh besar.
Daun pandan memanjang seperti daun palem dan tersusun secara roset yang rapat. Panjangnya bisa mencapai 60 cm. Tanaman ini daunnya kadang bergerigi. Pandan termasuk tanaman monokotil dari famili Pandanaceae.

Selama berjualan, Hasriani dan Saripa ngobrol sembari menunggu pembeli. Selama itu pula, Hasriani terus menganyam ketupat. Sementara Saripa berdiri menanti pembeli singgah.
Hasriani memulai pekerjaannya dengan membelah daun pandan yang panjang, lalu dibagi 4 helai. Selanjutnya, dengan cekatan tangannya membentuk helai-helai daun itu menjadi ketupat.
Dia bercerita bahwa keterampilan membuat ketupat itu diperoleh dari ibunya, Rani Daeng Nginga. Dia diajar oleh ibunya cara membuat ketupat kala masih SD.
“Awalnya sulit juga membuatnya. Kadang jadi tapi bentuknya tidak bagus. Karena terbiasa, lama-kelamaan bisa mi,” terang Hasriani.
Dia hanya membuat satu macam ketupat dari daun pandan. Sehari dia bisa menyelesaikan 50 buah. Ketupat yang sudah jadi itu dijual dengan harga Ro15.000 per ikat. Seikat, ada 10 buah ketupat.
Ketupat pandan buatan Hasriani selalu laris. Semakin mendekati Lebaran, semakin banyak pembeli.
Penulis: Rusdin Tompo (penulis, pegiat literasi)