Kolom Muliadi Saleh | Paradoks Iman dan Kehidupan, Ibadah Dijaga tetapi Kezaliman Dilestarikan

  • Whatsapp
Ir Muliadi Saleh (dok: Istimewa)

PELAKITA.ID – Di bulan suci, banyak yang begitu berhati-hati menahan diri. Setetes air pun tak berani ditelan, khawatir puasanya batal.

Mereka memastikan bibir tetap kering, memastikan tidak ada yang masuk ke dalam tubuh yang bisa mengurangi pahala ibadah. Namun, anehnya, di saat yang sama, ada yang tak segan menelan hak orang lain—memakan rezeki yang bukan miliknya, menghisap keringat orang kecil, dan menindas mereka yang lemah.

Ada yang begitu khusyuk dalam sujudnya, menengadahkan tangan dalam doa panjang, serta mengulang kalimat-kalimat dzikir dengan penuh keikhlasan. Namun, di luar ibadah, mereka lebih patuh kepada penguasa yang zalim daripada kepada Allah.

Mereka merendahkan diri di hadapan manusia demi jabatan, keuntungan, atau sekadar pujian. Sementara kepada Tuhan—yang memberi napas dan kehidupan—mereka enggan benar-benar tunduk dengan hati yang bersih.

Sebagian ada yang menutup aurat dengan sempurna, memastikan setiap helai pakaian sesuai syariat. Namun, lisan mereka begitu tajam—mudah membuka aib saudara, menyebarkan fitnah, dan menghakimi orang lain seolah mereka hakim atas iman dan amal seseorang.

Mereka menghindari makanan haram, tetapi tak segan mencuri hak orang lain dalam bentuk yang lebih halus—menahan gaji karyawan, memanipulasi harga, atau menipu dalam transaksi.

Ada yang berdiri paling depan dalam menegakkan hukum agama, mengingatkan orang lain tentang halal dan haram. Namun, ketika giliran diri sendiri diuji, mereka punya seribu alasan untuk membenarkan kesalahan mereka. Mereka menyerukan keadilan, tetapi saat kekuasaan ada di tangan, mereka lebih sibuk menjaga kepentingan sendiri daripada menegakkan kebenaran.

Agama sering kali hanya dijadikan simbol, bukan pegangan. Kita merayakan ritual, tetapi lupa esensinya.

Kita bangga dengan identitas keislaman, tetapi melupakan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kasih sayang. Kita menjaga aturan-aturan kecil dengan ketat, tetapi menutup mata terhadap kemungkaran besar di sekitar kita—atau bahkan yang kita lakukan sendiri.

Dunia memang penuh paradoks. Ada yang rajin bersedekah tetapi membayar pegawainya di bawah standar kemanusiaan. Ada yang rajin mengaji tetapi tetap berdusta demi keuntungan bisnis.

Ada yang berteriak menentang kemaksiatan tetapi menoleransi korupsi dan ketidakadilan.

Namun, seberapa lama kita bisa bersembunyi? Seberapa lama kita bisa berpura-pura? Hukum manusia bisa dimanipulasi, tetapi hukum Tuhan tidak akan pernah meleset.

Apa yang kita tabur, itulah yang akan kita tuai. Yang menzalimi akan menuai balasannya, dan yang terzalimi akan mendapatkan keadilannya.

Mungkin sudah saatnya kita kembali pada inti agama, bukan sekadar kulitnya. Kembali pada esensi ibadah, bukan sekadar simbolnya. Karena pada akhirnya, bukan seberapa kering bibir kita saat berpuasa yang menentukan keselamatan kita, tetapi seberapa bersih hati kita dari kezaliman, kesombongan, dan kemunafikan.

-Moel’S@23032025-