PELAKITA.ID – Dalam sejarah panjang pemikiran manusia tentang alam semesta dan posisi manusia di dalamnya, satu pertanyaan terus mengemuka: apakah manusia adalah pusat dari segala ciptaan atau hanya bagian dari jejaring kehidupan yang saling terkait?
Dalam dunia modern, terutama dalam pemikiran lingkungan hidup, pertanyaan ini telah mendorong lahirnya paradigma baru yang menolak pandangan antroposentris—yang menjadi akar kerusakan lingkungan—dan mulai mengakui kesetaraan antara manusia dan makhluk lainnya.
Namun, jauh sebelum para pemikir ekologi seperti Arne Naess, Peter Singer, atau Warwick Fox mengembangkan konsep seperti ekologi dalam dan ekologi transpersonal, seorang tokoh agung dalam Islam telah meletakkan fondasi spiritual dan moral tentang hubungan manusia dengan alam: Imam Ali bin Abi Thalib (as).
Salah satu ucapan paling revolusioner dari Imam Ali terekam dalam Nahjul Balaghah, tepatnya dalam surat ke-53 yang ditujukan kepada Malik al-Asytar, gubernur Mesir. Beliau berkata:
“النَّاسُ صِنْفَانِ: إِمَّا أَخٌ لَكَ فِي الدِّينِ، وَإِمَّا نَظِيرٌ لَكَ فِي الْخَلْقِ”
Artinya: “Manusia itu ada dua: entah saudaramu dalam agama, atau setaramu dalam penciptaan.”
Ucapan ini sering kali dibaca dalam konteks toleransi antarumat beragama karena kerap diterjemahkan sebagai saudara sesama manusia alih-alih setaramu dalam penciptaan. Padahal, maknanya jauh lebih dalam. Di baliknya tersimpan pesan kosmologis dan ekologis yang sangat jeluk (mendalam).
Imam Ali tidak hanya melihat manusia dari sisi sosial atau keagamaan, tetapi juga sebagai bagian integral dari ciptaan. Kalimat “nadhir laka fil khalq”—setaramu dalam penciptaan—membawa makna bahwa semua makhluk, tanpa terkecuali, memiliki derajat eksistensial yang layak dihormati.
Inilah akar dari konsep ekologi transenden dan berbagai konsep ekologi lainnya yang menolak antroposentrisme.
Konsep ini menegaskan bahwa manusia tidak berdiri di atas ciptaan lain, melainkan berdampingan, saling terhubung, dan saling bergantung dalam satu sistem keberadaan.
Ekologi transenden dan ekologi transpersonal menekankan perlunya melampaui ego manusia untuk menyatu dengan alam. Ini bukan sekadar pendekatan ilmiah, melainkan pendekatan spiritual yang menempatkan kesadaran ekologis sebagai bagian dari kesadaran diri.
Imam Ali, dengan spiritualitasnya yang mendalam, telah mengajarkan hal ini lebih dari seribu tahun yang lalu. Dalam doa-doanya, beliau merenungi langit, menyatu dengan semesta, dan merendahkan dirinya di hadapan ciptaan Tuhan.
Hubungannya dengan alam bukan hubungan dominasi, tetapi hubungan kasih dan penghambaan.
Dalam tindakan-tindakannya pun, Imam Ali mencontohkan prinsip ini. Ia tidak pernah mengambil lebih dari yang ia butuhkan, tidak pernah membebani tanah lebih dari kemampuannya, dan senantiasa memperhatikan hak binatang, air, dan tanah.
Ia menolak kerakusan, bahkan pernah berkata bahwa seandainya dunia seisinya ditawarkan kepadanya untuk menzalimi seekor semut, ia tidak akan melakukannya. Ini bukan sekadar sikap pribadi, melainkan prinsip keadilan ekologis yang mendalam.
Pemikiran seperti ini sangat relevan dalam menghadapi krisis lingkungan saat ini. Ketika manusia terus mengeksploitasi alam atas nama kemajuan, ajaran Imam Ali mengingatkan bahwa hubungan kita dengan bumi dan komponen alam semesta lainnya bukanlah hubungan pemilik dan milik, melainkan hubungan antara sesama ciptaan yang setara.
Keberlangsungan hidup manusia bergantung pada penghormatan terhadap kehidupan makhluk lainnya.
Ekologi transenden juga menolak gagasan bahwa alam hanya bernilai sejauh ia berguna bagi manusia. Imam Ali menegaskan bahwa nilai makhluk terletak pada kenyataan bahwa ia diciptakan oleh Tuhan.
Maka, setiap bentuk kehidupan, sekecil apa pun, layak dihormati bukan karena manfaatnya, tetapi karena ia adalah bagian dari kehendak Ilahi.