Di Punaga, Saat Lahan Budidaya Rumput Laut Mesti Dibeli

  • Whatsapp
Farmers of seaweed in Punaga Village, Takalar, Indonesia (Image: K. Azis)

PELAKITA.ID – Laut sejak lama dianggap sebagai wilayah tak bertuan atau “common property”. Warga pesisir, terutama di desa pantai, merasa berhak mengelolanya sesuai sejarah laut mereka. Kini, pemanfaatan laut lebih kompleks, tidak sekadar berlayar atau menambatkan perahu.

Seiring pertumbuhan penduduk, laut mulai dianggap sebagai milik pribadi atau “tanah” leluhur. Kehidupan keturunan Bajo di Sulawesi Tenggara atau pesisir Kalimantan Timur yang menetap di laut sejak lahir hingga wafat menjadi contoh nyata hubungan erat dengan laut.

Bagaimana pengelolaan laut di desa-desa Sulawesi Selatan? Bagi Bugis Makassar, laut adalah lambang kejayaan, tak terpisahkan dari ekonomi dan sosial mereka. Keahlian navigasi dan astronomi mereka diakui.

Pemanfaatan laut awalnya tradisional, namun kini mulai diklaim sebagai milik pribadi.

Pada 18 Februari 2010, kami menyusuri jalan Takalar–Jeneponto lalu berbelok menuju pantai Topejawa. Bukan untuk berwisata, tetapi menuju desa Punaga. Kami melewati jalan sempit beraspal dengan hamparan hijau dan pohon jawa lebat di kiri dan kanan.

“Saat musim kemarau, daerah ini sangat gersang,” kata Nurlinda Daeng Taco, aktivis LSM di Takalar. Padang rumput hijau adalah lahan ternak warga. Di seberang jalan, pemukiman transmigran sempat dibangun tetapi kini banyak yang tak berpenghuni karena sulitnya akses air tawar.

Sebagian besar transmigran berasal dari Takalar, Jeneponto, dan Galesong. Banyak yang kembali ke kampung asal akibat kendala air. Sebelum memasuki Punaga, terlihat Teluk Laikang yang dikenal sebagai lokasi budidaya rumput laut terbaik di Takalar.

Setelah satu jam perjalanan dari ibu kota Takalar, kami tiba di Kampung Malelaya. Di sini, Ipah, fasilitator masyarakat yang telah mengikuti pelatihan kami, telah menunggu. Matahari tegak lurus saat kami menemui Emba Dg Lawang dan istrinya, Daeng Mamu.

Mereka sibuk bolak-balik dari sampan kecil membawa rumput laut ke tempat penjemuran di bahu jalan depan masjid. Saya sempat menyapa seorang wanita paruh baya beraksen Jawa yang juga menjemur rumput laut. Saya mendekat dan memeriksa rumput laut Euchema spp. miliknya.

Daeng Lawang adalah petani rumput laut sejak 1995. Ia mengabarkan bahwa harga rumput laut kering mulai membaik, berkisar antara Rp6.000 hingga Rp7.000 per kilogram. Di tempat lain, Muntu Daeng Situju, Kepala Dusun Malelaya, mengawasi pekerja yang mengikat rumput laut.

Di Malelaya, dua jenis rumput laut dibudidayakan: Euchema spp. hijau dan coklat bening. Budidaya ini diperkenalkan oleh dinas perikanan pada 1992. Banyak warga terlibat, baik di kolong rumah maupun di pantai, menyiapkan dan memindahkan tali rumput laut.

Cerita Daeng Ponto

Di ruas jalan desa yang dipenuhi pohon beringin, saya melihat perahu-perahu seragam biru hitam berjajar. “Itu bantuan pemerintah untuk petani rumput laut di Punaga, tetapi belum diserahterimakan,” kata Daeng Ponto, petani rumput laut Malelaya.

Di kolong rumahnya, empat perempuan muda menyiapkan bibit rumput laut. Mereka dibayar Rp500 per bentangan yang disiapkan. “Bibit ini sudah 25 hari ditanam dan akan diperbanyak,” kata Syamsu Alam Daeng Ponto. Biasanya bibit ditanam saat air surut.

Syamsu memiliki tiga lokasi budidaya, berjarak 100–150 meter dari pantai. Keterampilan ini diwarisinya dari orang tua sejak kecil. Lokasi budidaya Malelaya berbeda dengan Teluk Laikang, karena dasar lautnya berbatu. “Kami memilih kedalaman 50 meter saat surut.”

Warga mulai menanam bibit rumput laut di bulan-bulan ini hingga April. Saat kemarau, mereka berhenti menanam karena ancaman penyakit putih batang atau Ice-ice. Dengan dua lokasi, Syamsu mampu memproduksi berton-ton rumput laut setiap musim.

Panen rumput laut dijual kepada pengumpul lokal seperti H. Natsir, Daeng Tojeng, Pak Dusun Situju, dan Daeng Mangka. Harga saat ini Rp6.000 per kilogram, sempat naik hingga Rp15.000 tahun lalu. Pada tahun 2000, harga masih Rp4.500 per kilogram.

Sebagian besar warga Dusun Malelaya, yang berjumlah 58 KK, adalah pembudidaya rumput laut. Mereka juga beternak sapi dan berkebun. Dahulu mereka menggunakan metode rakit dengan bentangan lima meter, tetapi kini beralih ke metode patok atau off-bottom.

Budidaya ini berkembang pesat sejak 1994. Hasilnya sangat menjanjikan, harga rumput laut saat itu masih Rp250 per kilogram dan naik menjadi Rp600–Rp700 pada 1996–1997. Kini, semakin banyak warga yang ingin terlibat dalam budidaya ini.

Semakin Padat

Kampung Malelaya tidak luas, hanya sekitar tiga kilometer. Pesisirnya terbentang dari timur ke barat, menghadap selatan. Di timur, terdapat bangunan wisata, sebagian milik pejabat Takalar. Mereka membangun cottage di bukit menghadap pantai.

Karena semakin banyak warga yang menanam rumput laut, lahan budidaya semakin menipis. Banyak lahan dikapling oleh warga setempat dan diwariskan dalam keluarga. Namun, kini ada warga yang mulai tidak kebagian lahan.

Sampai sekarang belum ada regulasi khusus dari pemerintah terkait kepemilikan lahan budidaya. Warga setempat bebas mengklaim lahan, tetapi dengan bertambahnya penduduk, kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini mulai menimbulkan ketegangan kecil di antara warga.

“Konflik belum ada, tetapi riaknya sudah terasa,” kata Daeng Ponto. Ada warga desa lain yang datang ke Punaga untuk menyewa atau meminjam lahan budidaya. Bahkan, ada yang memperjualbelikannya dengan sistem kontrak.

“Saya membeli lahan budidaya ini seharga Rp5 juta,” kata Daeng Ponto. Investasinya membuahkan hasil karena ia meraup keuntungan besar sejak menanam rumput laut. Namun, bagaimana jika penduduk terus bertambah sementara lahan budidaya terbatas? Bukankah laut adalah hak bersama?

Report from 2010