Kolom Prof Khusnul Yaqin | Keadilan Ekologis dalam Ekologi Transenden

  • Whatsapp
Prof Khusnul Yaqin (Ilustrasi Pelakita.ID)

Menyakiti alam berarti mengganggu keharmonisan yang telah ditetapkan Tuhan.

PELAKITA.ID – Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering membahas keadilan dalam konteks hubungan antar manusia.

Kita berbicara tentang hak asasi, kesetaraan, dan ketidakadilan sosial. Namun, jarang kita menyadari bahwa keadilan bukan hanya hak manusia semata. Dalam konsep ekologi transenden, keadilan meluas melampaui batas manusia dan mencakup seluruh alam semesta.

Keadilan bukan sekadar distribusi adil bagi manusia, tetapi juga bagi ekologi itu sendiri, bagi tanah, air, udara, dan seluruh makhluk hidup yang berbagi dunia dengan kita.

Tuhan adalah Maha Adil, dan keadilan-Nya tidak terbatas pada spesies tertentu. Jika manusia memiliki hak atas hidup yang layak, maka pohon di hutan, sungai yang mengalir, dan hewan di bumi juga memiliki hak untuk tidak dirusak demi keserakahan manusia.

Keadilan ekologis mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam memiliki nilai intrinsik, bukan hanya berdasarkan manfaatnya bagi manusia. Ketika manusia menempatkan dirinya sebagai pusat semesta dan mengeksploitasi lingkungan tanpa batas, di sanalah ketidakadilan ekologis terjadi.

Dalam sejarah peradaban, kita telah menyaksikan bagaimana eksploitasi ekologi membawa bencana. Penggundulan hutan menyebabkan tanah longsor dan kekeringan.

Limbah industri mencemari sungai, membunuh kehidupan di dalamnya. Udara penuh polusi bukan hanya mengancam manusia, tetapi juga ekosistem yang bergantung pada keseimbangan atmosfer.

Kerusakan ekologi bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga ancaman nyata bagi keberlanjutan hidup.

Manusia sering berpikir bahwa penindasan hanya terjadi antara sesama individu atau kelompok. Namun, keadilan ekologis mengingatkan kita bahwa penindasan juga terjadi antara manusia dan alam.

Jika ketidakadilan sosial menciptakan penderitaan bagi individu, ketidakadilan ekologis membawa dampak lebih luas, menghancurkan keseimbangan alam dan pada akhirnya merugikan manusia sendiri.

Ketidakadilan ekologis bukan sekadar masalah lingkungan, tetapi juga persoalan moral dan spiritual. Merusak alam secara sewenang-wenang bukan hanya melanggar hukum ekologis, tetapi juga mengkhianati amanah Tuhan.

Alam bukan sekadar benda mati yang bisa diperlakukan sesuka hati. Dalam perspektif ekologi transenden, alam adalah bagian dari tatanan ilahi, sistem yang diciptakan dengan keseimbangan sempurna.

Menyakiti alam berarti mengganggu keharmonisan yang telah ditetapkan Tuhan.

Namun, meskipun alam memiliki hak atas keadilan, ia tidak memiliki suara untuk menuntut haknya seperti manusia. Sungai yang tercemar tidak bisa berbicara. Hutan yang ditebang tidak bisa menjerit.

Hewan yang kehilangan habitatnya tidak bisa mengadu. Tapi penderitaan mereka nyata. Bumi ini menunjukkan tanda-tanda kelelahan dan kemarahannya melalui bencana alam, pemanasan global, kepunahan spesies, dan gangguan ekosistem yang semakin parah.

Maka, keadilan ekologis adalah tanggung jawab moral manusia. Sebagai makhluk yang diberi akal dan kesadaran, manusia memiliki peran bukan hanya sebagai pengguna alam, tetapi juga penjaga keseimbangannya.

Memayu hayuning bawono (mempercantik dunia yang indah), begitu nasihat bijak manusia Nusantara. Jika manusia ingin memperjuangkan keadilan sosial, keadilan ekologis harus menjadi bagian dari perjuangan itu.

Tidak ada keadilan sejati jika kita membiarkan ketidakadilan terhadap lingkungan terus berlangsung.

Sayangnya, hingga kini, banyak yang masih memandang alam hanya sebagai sumber daya. Dalam ekonomi modern, keberhasilan diukur dari seberapa banyak hasil yang bisa diekstraksi, bukan dari seberapa baik kita menjaga keseimbangannya.

Logika kapitalisme yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas kelestarian alam telah menciptakan ketidakadilan ekologis yang sistemik.

Kita dipaksa berpikir bahwa menebang hutan adalah kemajuan, membangun kota di atas tanah pertanian adalah peradaban. Padahal, kemajuan sejati diukur dari seberapa selaras manusia dengan lingkungannya, bukan dari seberapa banyak yang dihancurkan demi keuntungan sementara.

Namun, belum terlambat untuk berubah. Kesadaran akan keadilan ekologis harus menjadi bagian dari cara berpikir manusia modern. Kita harus melampaui paradigma lama yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya dan mulai memahami bahwa manusia hanyalah bagian dari sistem yang lebih besar.

Alam bukan objek eksploitasi, tetapi juga subjek yang harus dihormati. Jika kita ingin berbicara tentang keadilan, maka keadilan itu harus mencakup semua makhluk di bumi.

Ekologi transenden mengajarkan bahwa keseimbangan antara manusia dan alam adalah bagian dari keseimbangan kosmik yang lebih luas. Menjaga lingkungan bukan hanya soal menyelamatkan diri sendiri, tetapi juga menjaga harmoni yang telah ditetapkan Tuhan. A

lam bukan sekadar arena bagi manusia untuk berkuasa, tetapi juga bagian dari perjalanan spiritual yang mengajarkan kita tentang kesabaran, ketulusan, dan tanggung jawab.

Jika kita ingin dunia yang adil, kita harus memperjuangkan keadilan dalam segala aspek—bukan hanya bagi manusia, tetapi juga bagi bumi, udara, dan seluruh kehidupan yang berbagi planet ini.

Sebab pada akhirnya, jika kita tidak berlaku adil terhadap alam, alam pun akan menunjukkan keadilannya dengan caranya sendiri.

Imam Ali as bersabda:

إِمَّا أَخٌ لَكَ فِي الدِّينِ، أَوْ نَظِيرٌ لَكَ فِي الْخَلْقِ
“Jika kita tidak bersaudara dalam agama, maka kita bersaudara sebagai sesama ciptaan Tuhan.”

 

Tamalanrea Mas, 17 Maret 2025