Pada konteks relasi kuasa di institusi pendidikan, kebijakan akses yang lebih adil seharusnya diterapkan. Keadilan ini belum sepenuhnya terwujud dalam sistem akademik padahal Permendikbud telah mewajibkan perguruan tinggi memastikan infrastruktur kampus mendukung pencegahan kekerasan seksual.
PELAKITA.ID – Kasus kekerasan seksual masih terus meningkat, tetapi banyak yang tidak dilaporkan. Informasi ini disampaikan Lusia Palulungan, program manager INKLUSI Yayasan BaKTI saat menjadi pembicara pada Pelakita Insights, Kekerasan Seksual, Akankah Terus Terjadi?, Kamis, 7 Februari 2025.
Kegiatan dimoderatori Kamaruddin Azis, founder Pelakita.ID ini digelar oleh Pelakita bekerja sama Lembaga Maritim Nusantara sebagai bagian dari menyambut Hari Internasional Perempuan Sedunia tahun 2025 yang akan digelar pada puncaknya tanggal 8 Maret 2025.
Di balik kekerasan seksual dan implementasi UU TPKS di Indonesia
Lusia memulai paparan sekaligus elaborasinya dengan menyebut sebelum adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, kasus kekerasan seksual di Indonesia sangat masif.
“Lahirnya undang-undang ini didasari oleh banyaknya kasus yang sulit ditangani,” ucapnya.
”Salah satu kendala utama adalah keterkaitannya dengan kehormatan, nilai, etika, dan moral seseorang. Banyak korban enggan melapor atau baru berani setelah mendapat dukungan,” sebutnya.
”Jika kasus terjadi di ruang privat, proses hukum menjadi semakin sulit,” sebut Lusia, alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah pada advokasi hukum sosial kemasyarakatan sejak tahun 90-an akhir.
Tantangan utama pada pembuktian
Lusia memaparkan, untuk orang dewasa, kekerasan seksual diatur dalam KUH Pidana, termasuk pelecehan seksual, perkosaan, dan pencabulan. ”Tantangan utamanya adalah pembuktian, karena hukum pidana menerapkan asas “satu saksi bukan saksi,” ujarnya.
”Saksi yang dimaksud bisa berupa akta, surat keterangan, visum, atau kesaksian korban dan pelaku. Namun, sering kali tidak ada saksi lain selain korban dan pelaku, sehingga kasus sulit diproses dan mendapat keadilan,” tambahnya.
Kata Lusia, selain itu, KUH Pidana tidak mengatur pemulihan korban. ”Setelah pelaku dihukum, kasus dianggap selesai tanpa mempertimbangkan dampak fisik dan psikis korban. Banyak yang mengalami trauma, luka fisik berat, atau kehilangan pekerjaan akibat proses hukum,” lanjutnya.
Ditambahkan, dampak ekonomi juga signifikan, karena korban harus bolak-balik ke polisi, psikolog, atau menjalani perawatan medis.
”KUH Pidana dan UU Perlindungan Anak dianggap tidak memadai dalam menangani kekerasan seksual,” tegasnya.
Lahirnya UU TPKS
Dalam prosesnya, jelas Lusia, UU TPKS akhirnya diusulkan dan ditetapkan pada 2022 setelah perjuangan hampir 10 tahun. Namun, implementasinya masih menghadapi banyak tantangan, terutama dalam penerapan hukum acara pidana yang berbeda dengan KUH Pidana.
UU TPKS memperluas definisi dan bentuk kekerasan seksual serta memperbaiki sistem pembuktian. Jika sebelumnya “satu saksi bukan saksi,” kini cukup satu saksi korban ditambah satu alat bukti lain, seperti chat, video, rekaman CCTV, atau pakaian korban.
”Selain itu, UU TPKS memberikan hak restitusi kepada korban sebagai ganti kerugian atas dampak fisik, psikologis, dan ekonomi. Negara juga menyiapkan pemulihan psikologis bagi korban dan pelaku melalui mandatory konseling,” ucap Lusia.
Dia menyebut, konseling bagi pelaku penting karena banyak kasus menunjukkan bahwa pelaku adalah residivis.
Mereka sering melakukan kekerasan berulang kali, terutama di lingkungan dengan relasi kuasa, seperti institusi pendidikan atau aparat keamanan.
Tergantung kapasitas
Lusia menyebut, implementasi UU TPKS diharapkan bisa memberikan keadilan bagi korban dan efek jera bagi pelaku. Namun, masih ada tantangan dalam meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dan pemahaman masyarakat terhadap regulasi baru ini.
Di sisi lain, dikatakan Lusia, banyak organisasi masyarakat sipil, seperti LBH Makassar dan LB APIK, telah melatih paralegal untuk mendampingi korban.
”Di desa-desa, layanan berbasis komunitas (LBK) juga telah dibentuk dengan dukungan SK kepala desa atau bupati,” tambahnya. Banyak desa telah mengalokasikan dana untuk sosialisasi dan pelatihan pendampingan serta mendirikan shelter warga.
”Semua upaya ini bertujuan mempercepat implementasi UU TPKS, memastikan hak korban terpenuhi, dan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal,” jelasnya.
Faktor relasi kuasa
Lusia menganggap dalam konteks relasi kuasa di institusi pendidikan, kebijakan akses yang lebih adil seharusnya diterapkan. Sayangnya, keadilan ini belum sepenuhnya terwujud dalam sistem akademik.
Dia menyebut, sebenarnya, Permendikbud telah mewajibkan perguruan tinggi memastikan infrastruktur kampus mendukung pencegahan kekerasan seksual.
”Ruang-ruang kampus tidak boleh tertutup sepenuhnya, dan konsultasi akademik sebaiknya dilakukan di ruang terbuka guna mengurangi risiko penyalahgunaan wewenang oleh pihak berwenang,” kata dia.
”Jika Permendikbudristek diterapkan dengan baik, kampus wajib membentuk Satgas PPKS, memperbaiki infrastruktur, dan membatasi keberadaan mahasiswa serta dosen di kampus pada jam tertentu,” papar Lusia.
Dia setuju dengan anggapan bahwa pengungkapan jumlah kasus bukan satu-satunya indikator penting.
”Yang utama adalah sejauh mana korban dapat terlayani dan hak-haknya terpenuhi. Sistem yang baik dalam penanganan dan pemulihan dapat membantu pencegahan kekerasan seksual,” sebutnya.
Disebut Lusia, perguruan tinggi harus memastikan regulasi diimplementasikan secara efektif.
Kasus kekerasan di berbagai kampus menunjukkan bahwa banyak Satgas hanya dibentuk secara formalitas tanpa dukungan operasional yang memadai, seperti ruang khusus, anggaran, dan pelatihan.
”Ada pertanyaan tentang sanksi bagi kampus yang tidak memperbarui data kekerasan. Perguruan tinggi diwajibkan melaporkan kasus ke pimpinan setiap semester, yang diteruskan ke Kementerian. Jika tidak melaporkan, mereka dapat dikenai sanksi berupa pengurangan dana pendidikan,” ucap Lusia.
Diungkapkan, Permendikbud 55 mencakup enam jenis kekerasan, termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual, perundungan, intoleransi, dan diskriminasi.
”Namun, dengan pemangkasan anggaran, isu perlindungan perempuan semakin rentan karena banyak kepala daerah lebih fokus pada proyek fisik,” ujarnya.
”Perspektif keliru ini memengaruhi kebijakan daerah. Bahkan, beberapa pejabat menganggap bahwa mengekspos kasus kekerasan menunjukkan kinerja dinas, padahal hal ini justru melanggar privasi korban. Efektivitas dinas seharusnya diukur dari kualitas penanganan kasus, bukan jumlah eksposur media,” kata Lusia.
Media sosial untuk advokasi
Dia setuju pandangan bahwa dalam keterbatasan anggaran, kolaborasi antara sektor publik dan swasta menjadi penting. Perguruan tinggi perlu lebih aktif dalam kebijakan perlindungan kelompok rentan.
Media sosial juga harus digunakan secara bijak agar tidak memperburuk situasi korban.
”Kesadaran dalam menggunakan media sosial harus ditingkatkan agar menjadi sarana advokasi yang efektif dan bertanggung jawab. Jejak digital memiliki dampak jangka panjang bagi korban, sehingga edukasi mengenai etika berbagi informasi sangat diperlukan dalam masyarakat,” pungkas Lusia.
Editor: K. Azis