Krisis Laten Perikanan dan Pemangkasan APBN, Pengamat: Perlu Lembaga Keuangan Khusus

  • Whatsapp
Ilustrasi (dok: Pelakita.ID)

Ketergantungan pada APBN ini menimbulkan risiko terhadap agenda pembangunan nasional, yang berpotensi terhambat atau bahkan terhenti. Jika tidak ada langkah strategis, dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat, berupa stagnasi pertumbuhan ekonomi dan terbatasnya penciptaan lapangan kerja.

Andi Nurjaya Nurdin, pengamat usaha perikanan nasional

PELAKITA.ID – Laporan Greenpeace International 2024 menyoroti kegagalan pengelolaan perikanan global akibat regulasi yang tidak konsisten dan lemahnya penegakan hukum.

Kondisi ini memungkinkan praktik perikanan destruktif dan laten, seperti penggunaan pukat harimau dan penangkapan ilegal, terus berlangsung. ”Regulasi yang lemah memperburuk overfishing, merusak habitat, dan mengancam keanekaragaman hayati laut,” rilis Greenpeace.

Uni Eropa pun bahkan dikritik karena gagal menegakkan aturan terhadap perikanan ilegal, sementara beberapa negara anggota enggan membagikan informasi penting, memperlemah pengawasan. (Sumber: TheGuardian.com).

Salah satu contoh nyata adalah ketidakseimbangan dalam penerapan kuota penangkapan ikan. Uni Eropa (EU) memiliki aturan ketat untuk mengendalikan overfishing di perairannya, tetapi kapal-kapal mereka beroperasi di perairan Afrika yang memiliki regulasi lebih lemah.

Selain itu, lemahnya penegakan hukum terhadap Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing menjadi ancaman besar bagi ekosistem laut.

Kapal-kapal penangkap ikan dari Tiongkok, misalnya, kerap dituduh melakukan praktik perikanan ilegal di perairan Indonesia, Argentina, dan Ghana dengan menggunakan lisensi palsu atau tidak melaporkan hasil tangkapan mereka.

Hal ini mengakibatkan penurunan stok ikan yang merugikan nelayan kecil serta menghambat upaya konservasi yang telah diterapkan secara lokal.

Realitas Indonesia

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki kebijakan kelautan dan perikanan yang dirancang untuk mengelola sumber daya lautnya yang melimpah. Namun, beberapa kebijakan tersebut dianggap belum konsisten.

Faktor bawaan historis seperti korupsi, instabilitas politik, dan kurangnya koordinasi antar lembaga menghambat efektivitas kebijakan. Perikanan komersial skala besar sering diprioritaskan demi keuntungan ekonomi jangka pendek, mengorbankan upaya konservasi.

Minimnya pendanaan semakin melemahkan pemantauan dan penegakan hukum, sementara kebijakan global kerap mengabaikan kebutuhan komunitas nelayan lokal, memicu resistensi dan ketidakpatuhan.

Apa saja contohnya? Pertama, Kebijakan Penenggelaman Kapal Ikan Asing (KIA) Ilegal. Kebijakan penenggelaman kapal ikan asing ilegal yang diterapkan pemerintah bertujuan memberikan efek jera kepada pelaku pencurian ikan di perairan Indonesia.

Efektivitas kebijakan ini dipertanyakan karena praktik pencurian ikan oleh KIA masih terus berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut belum sepenuhnya berhasil mengatasi masalah illegal fishing.  Kebijakan yang mestinya bisa menekan peluang maraknya aktivitas dimaksud.

Kedua, pengelolaan Dana Melalui BLU LPMUKP. Pemerintah mengalokasikan anggaran melalui Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU LPMUKP) untuk mendukung usaha perikanan.

Sayangnya, alokasi dana tersebut belum sepenuhnya diarahkan untuk mendukung praktik pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, menunjukkan ketidaksesuaian dengan kebutuhan zaman yang menuntut keberlanjutan sebagaimana disebutkan Mongabay.co.id.

Yang ketiga, implementasi Kebijakan Kelautan Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki Kebijakan Kelautan yang komprehensif, implementasinya sering terhambat oleh kurangnya koordinasi antar lembaga dan keterbatasan sumber daya.

Hal ini menyebabkan beberapa kebijakan tidak berjalan efektif dan tidak sesuai dengan dinamika perkembangan sektor kelautan saat ini. Mulai dari pengelolaan cantrang, industri garam nasional dan impor yang terus berlangsung hingga proses perizinan usaha di ruang laut.

Yang keempat, ini yang menjadi kesan umum bahwa dari waktu ke waktu atensi ke pada penerapa Ekonomi Biru semakin menyusut. Ketentuan Penangkapan Ikan Terukur belum sepenuhnya dihormati oleh para pihak.

Suara dari bawah: Contoh obyek penderita

Seorang alumni Ilmu Kelautan Unhas yang bekerja di salah satu kantor pemerintah namun enggan disebutkan namanya menyebut untuk kegiatan penggunaan pole and line itu sulit bertahan karena sistem ini mencari ikan schooling, bukan menciptakan schooling.

Di sisi lain, pemerintah melarang adanya rumpon.

“Nelayan pemancing sekarang rerata pakai rumpon untuk menciptakan schooling. Filosofinya adalah menciptakan kepastian tangkap, namun sayang KKP mengatur melarang rumpon dengan mmbuat aturan yang penelitiannya secara matematis belum bisa dibuktikan,” katanya.

“Padahal mengatur jumlah bagang dan semua jenis alat tangkap sejenisnya seperti perre-perre di perairan WPP 713 jauh lebih penting karena menghabisi makanan tuna dan cakalang,” tambahnya.

Poin yang ingin disampaikan nampaknya meliputi agenda utama pemerintah untuk memberi penekanan pada perlindungan habitat untuk perkembangan usaha perikanan ketimbang melarang sesuatu yang sudah memberi dampak baik pada ekonomi dan produktivitas lingkungan laut.

Di sisi lain, kemampuan nelayan menemukan schooling fish dengan metode astronomi klasik dan gejala laut dapat diperkuat dengan menggunakan teknologi berbasis satelit.

”Sehingga artificial fishing ground seperti rumpon yang sengaja dibuat untuk menciptakan fish schooling, dimana umumnya tidak ditangkap dengan pole and line, melainkan purse seine dapat dieliminir,” kata pengamat usaha perikanan Andi Nurjaya.

Menurutnya, itulah yang mestinya menjadi tugas negara untuk menompang efektifitas kegiatan nelayan dengan memudahkan akses pada teknologi,.

Penuh Kekhawatiran Karena Pemangkasan Anggaran

Penulis menganggap apa yang disampaikan di atas perlu diantisipasi, hanya saja ada kekhawatiran bahwa usaha-usaha kelautan dan perikanan tidak akan baik-baik saja ke depan karena adanya refocuing atau pemangkasan anggaran APBN atau dengan kata lain modal programnya terkebiri.

Kebijakan refocusing Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bertujuan untuk mengalokasikan dana ke sektor prioritas seperti makan siang gratis, ketahanan pangan, dan pembangunan infrastruktur akan memberikan dampak yang cukup besar terhadap program perikanan nasional yang dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Dengan adanya pergeseran anggaran ini, berbagai program strategis mengalami pemangkasan yang berdampak langsung terhadap pertumbuhan sektor perikanan di Indonesia.

Salah satu dampak utama adalah berkurangnya alokasi dana untuk program strategis KKP. Bantuan bagi nelayan dan pembudidaya, seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM), penyediaan alat tangkap ramah lingkungan, serta akses permodalan, mengalami keterlambatan bahkan pengurangan signifikan.

Program ekonomi biru yang mencakup pengelolaan kawasan konservasi, rehabilitasi mangrove, dan pengembangan budidaya perikanan berkelanjutan juga terkena imbasnya.

Inisiatif peningkatan produksi perikanan, termasuk industrialisasi sektor ini dan modernisasi armada penangkapan ikan, turut mengalami perlambatan akibat keterbatasan anggaran. Dampak lainnya terlihat pada menurunnya kegiatan pengawasan dan penegakan hukum di sektor kelautan.

Dengan anggaran yang berkurang, upaya pemberantasan praktik Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing menjadi kurang efektif.

Hal ini membuka peluang bagi meningkatnya aktivitas pencurian ikan di perairan Indonesia, yang tentunya merugikan negara serta nelayan lokal yang menggantungkan hidup pada sektor ini.

Pengurangan dana juga mempengaruhi riset dan inovasi di bidang perikanan. Pemotongan anggaran pada sektor ini menghambat pengembangan teknologi perikanan, inovasi pakan alternatif, serta peningkatan ketahanan ekosistem perairan.

Akibatnya, industri perikanan berbasis riset yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan produksi menjadi tertunda perkembangannya.

Selain itu, refocusing anggaran juga berdampak pada target ekspor dan daya saing industri perikanan Indonesia di pasar global.

Dengan terbatasnya dukungan terhadap hilirisasi produk perikanan, pelatihan tenaga kerja, serta promosi ekspor, sektor ini menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan nilai tambah produk dan daya saing internasional.

Tak hanya itu, pemangkasan anggaran juga memiliki dampak sosial yang signifikan terhadap nelayan dan pembudidaya ikan. Berkurangnya bantuan dan insentif dari pemerintah menyebabkan ketidakstabilan pendapatan mereka.

Postur APBN untuk KKP

Sumber KKP menyebut, pada tahun 2025, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendapatkan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp6,22 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp3,31 triliun dialokasikan untuk berbagai program kerja, yang mencakup:

  • Program Pengelolaan Perikanan dan Kelautan: Rp2 triliun
  • Program Nilai Tambah dan Daya Saing Industri: Rp161,03 miliar
  • Program Kualitas Lingkungan Hidup: Rp310,2 miliar
  • Program Pendidikan dan Pelatihan Vokasi: Rp259,43 miliar
  • Program Dukungan Manajemen: Rp3,5 triliun

Selain itu, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik tahun 2025 diarahkan untuk mendukung program Tematik Kawasan Produksi Pangan Nasional Pangan Akuatik, dengan total usulan sebesar Rp1,3 triliun. Anggaran ini terdiri atas Rp785 miliar dari pemerintah provinsi dan Rp524,9 miliar dari pemerintah kabupaten/kota.

Alokasi anggaran tersebut mencerminkan komitmen pemerintah dalam memperkuat sektor kelautan dan perikanan, dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.

Pada tahun 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerima alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp7,046,7 miliar atau lebih tinggi 1 T dari tahun 2025.

Tanggung jawab bersama

Pengamat Perikanan, Andi Nurjaya menegaskan, bagaimanapun negara memang masih mengandalkan APBN, padahal ruangnya sempit dan sangat terbatas. Sehingga perlu kolaborasi dan inovasi program.

“Pertanyaannya, apakah agenda pembangunan harus terhambat atau terhenti karenanya? rakyat akan merasakan impact-nya, pertumbuhan ekonomi stagnan dan kesempatan kerja tidak tercipta,” ucapnya.

Pengamat usaha perikanan Andi Nurjaya Nurdin (dok: Istimewa)

Kata dia, negara harus mengembangkan strategi untuk mendapatkan tambahan fiskal dengan alternative resources non-loan. Salah satunya dengan mendorong FDI (foreign direct investment) untuk sektor kemaritiman dan perikanan, termasuk memfokuskan program pendanaan sosial dan lingkungan dari korporasi (CSR).

Menurutnya, Pemerintah masih sangat bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang memiliki ruang fiskal sempit dan terbatas.

“Ketergantungan ini menimbulkan risiko terhadap agenda pembangunan nasional, yang berpotensi terhambat atau bahkan terhenti. Jika tidak ada langkah strategis, dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat, berupa stagnasi pertumbuhan ekonomi dan terbatasnya penciptaan lapangan kerja,” ucapnya.

“Oleh karena itu, negara harus mengembangkan strategi untuk mendapatkan tambahan fiskal melalui sumber daya alternatif yang tidak berbasis utang (non-loan). Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mendorong investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI), khususnya di sektor kemaritiman dan perikanan,” sarannya.

“Program pendanaan sosial dan lingkungan dari korporasi (Corporate Social Responsibility/CSR) juga perlu difokuskan untuk mendukung pembangunan sektor ini,” ujarnya.

Menurut Andi Nurjaya, untuk mempercepat pertumbuhan industri perikanan, diperlukan sistem pengelolaan dana yang lebih efektif.

“Salah satu solusi adalah membentuk lembaga keuangan khusus, baik dalam bentuk bank maupun non-bank, seperti Bank Nelayan atau Holding Koperasi Perikanan. Dengan demikian, pendanaan yang berasal dari usaha dan industri perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk membiayai pembangunan infrastruktur serta penguatan ekosistem industri perikanan,” sebutnya.

Dia mengatakan, sektor perikanan sendiri telah menunjukkan kontribusi yang meningkat secara bertahap terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, selama ini, hasil dari usaha dan industri perikanan masih banyak digunakan untuk pembangunan di sektor lain.

“Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih berorientasi pada pengembangan sektor perikanan secara mandiri, sehingga industri ini dapat menjadi pilar utama dalam pembangunan ekonomi nasional,” kuncinya.

Redaksi