Seandainya Lakkang Jadi Laboratorium Wisata Berkelanjutan (1)

  • Whatsapp
Perbincangan penulis denngan De' Sisi di atas pappalimbang (dok: Istimewa)

PELAKITA.ID – “Mau ki masuk ke kampung, Pak? Bawa motor ta, jauh itu.” Kata bapak pengelola perahu penyeberangan ke Lakkang, begitu dia melihat saya naik ke perahunya.

“Iye, saya mau ke Lakkang,” jawab saya dalam logat Makassar.

“Cukup jauh itu masuk. Ada mungkin 1 kilometer.” Lanjutnya, seolah hendak meyakinkan saya.

Read More

Saya kemudian mengambil sepeda motor Scoopy yang tadi saya parkir di dekat rumah warga. Saya memarkirnya di situ karena ada plang bertuliskan “parkir 2.000”. Saya pikir, mungkin di situ tempat parkirnya kalau hendak ke Pulau Lakkang.

Setelah berada kembali di atas perahu, saya pun mengambil tempat duduk di salah satu sisinya. Istri saya, Gita Nurul Ramadhani, duduk di depan sambil sesekali memotret dan membuat video dengan smartphone-nya, Tak lama berselang, dua penumpang lain naik, dengan sepeda motornya.

Seorang ibu dengan anaknya yang mengendarai sepeda motor trail juga menyusul ke perahu. Saya menghitung, penumpang perahu ini hanya 6 orang dan 3 sepeda motor berbeda jenis.

Beberapa jenak kemudian, bapak pengelola perahu melepas tali dari tambatannya. Jembatan kecil dari papan yang jadi penghubung jalan ke perahu dinaikkan.

Bapak itu mendorong perahunya dengan sebilah bambu. Lalu menyalakan mesin perahunya. Brum… brum… brum… Suara mesin perahu merek Yamaha berbahan bakar bensin itu memecah keheningan. Perahu pun berjalan pelan.

Mata saya memandang jauh menyusuri sungai. Di kiri kanan sungai—dengan lebar sekira 50 meter ini—tumbuh subur pohon-pohon nipah. Air sungai hari itu agak keruh, kecokelatan. Walaupun begitu, saya masih bisa melihat bayangan pohon dan awan yang memantul di permukaan air.

Hanya dalam hitungan lebih semenit, perahu yang kami tumpangi pun tiba di dermaga. Sungguh, saya tak menyangka secepat ini. Tadi, ketika masih di seberang, dermaga tempat perahu ini bersandar memang terlihat. Namun, saya tak mengira bahwa dermaga inilah yang akan jadi tujuan kami.

“Wuih, dekatnya ji,” seru saya spontan.

“Bisa berenang dari sana,” sahut salah seorang pemuda di depan saya bercanda, sembari memperagakan gaya berenang.

Mendengar celetukan itu, saya dan istri tersenyum lebar.

Perahu Pappalimbang

Hari ini, Kamis, 27 Februari 2025, merupakan kali ketiga saya ke Lakkang. Pukul 10.30, saya dan istri berangkat dari rumah kami di Tombolo, Kabupaten Gowa, dekat Minasa Upa, Makassar. Saya menyiapkan vietnam drip sebagai bekal, yang saya taruh di dalam tumbler. Sudah saya bayangkan, nikmatnya menyeruput kopi hangat di atas perahu sambil menyusuri sungai.

Saya memotong jalan biar lebih ringkas. Setelah memasuki kawasan Kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), saya berbelok ke arah belakang, melewati Fakultas Pertanian.

Dengan yakin dan percaya diri saya memasuki pintu gerbang bertuliskan “Selamat Datang, Jalan Kerabat Kera-Kera”, lalu terus memasuki jalan di depan SD Inpres Kera-Kera. Namun, seorang anak kecil menyampaikan, kalau mau ke Pulau Lakkang, dermaganya berada di sebelah. Kami pun putar balik, sesuai arah yang ditunjuk.

“Tadi saya ke dermaga lama. Katanya sudah pindah. Jadi kami ke sini,” kata saya, ketika perahu yang saya tumpangi sudah disandarkan pemiliknya.

Saya dan istri sengaja tak langsung turun begitu perahu merapat di dermaga. Sengaja saya mau ngobrol dengan pemiliknya, Asis Daeng Rate, biasa dipanggil De’sisi oleh warga. Usianya 45 tahun. Dia sudah bekerja sebagai pappalimbang, yakni sebutan bahasa Makassar untuk orang yang bekerja di penyeberangan perahu, selama kurang lebih 12 tahun. Di dermaga sebelumnya, dia bekerja selama 10 tahun, sedangkan di tempatnya sekarang, baru sekira 2 tahun.

Ayah satu orang anak ini bercerita, lokasi dermaga lama yang dari Kera-Kera itu, punya orang tuanya. Sementara lokasi dermaga yang sekarang, milik orang tua dari Haji Sainuddin, bernama Daeng Muda.

Makanya, dermaga berukuran 6×12 meter yang diresmikan oleh Pj Wali Kota Makassar, Rudy Djamaluddin, pada 5 Januari 202 ini, diberi nama Dermaga Muda Lakkang. Meski dermaga dipindahkan, tapi dia sebagai pappalimbang lama, bersama dua saudaranya, tetap dipanggil.

“Pengelola perahu di sini kebanyakan masih punya hubungan keluarga,” jelas De’sisi.

Ketika kami sedang ngobrol, terlihat ada penumpang yang mengarahkan kendaraannya ke perahu De’sisi. Buru-buru dia meminta penumpang itu ke perahu lain, di depannya.

Ketika saya tanyakan, mengapa dia mengarahkan mereka ke perahu di depan? Jawabnya, mereka harus antre, biar saling berbagi. Saat penumpang sudah naik ke perahu, menunggunya pun tidak lama. Durasinya paling hanya sekira 10 menit. Setelah itu perahu akan jalan ke seberang.

Suasana di Kampung Lakkang (dok: Rusdin Tompo)

Di Dermaga Muda Lakkang ini, kata De’sisi,  ada 7 perahu pincara yang beroperasi. Ongkos sekali menyeberang, termasuk murah, cuma Rp3.000. Itu hitungan paket, sudah termasuk sepeda motor, pengendara dan boncengannya.

Kalau hanya pejalan kaki, tanpa kendaraan, tarifnya hanya Rp2.000/orang Biasanya, penumpang paling banyak terjadi pada pagi dan sore hari, saat orang pergi dan pulang kerja, termasuk anak sekolah. Dalam sehari rata-rata De’sisi bisa mengantongi penghasilan antara Rp100.000-Rp150.000.

Penghasilan sebesar itu terbilang lumayan. Karena pengeluarannya tidak seberapa. Untuk keperluan bahan bakar mesin perahu, misalnya, sebotol bensin ukuran seliter, bisa digunakan selama 3 hari. Katanya, kalau hanya untuk bolak-balik mengantar penumpang ke dermaga sebelah, cukup irit. Tidak banyak bahan bakar yang dihabiskan.

Aspek pelayanan dengan memperhatikan aktivitas warga menjadi pertimbangan jam operasi mereka. Biasanya, De’sisi sudah berada di dermaga sejak pukul 05.30.

Setelah sholat Subuh, dia sarapan lalu bersiap menjalankan aktivitas rutinnya hingga pukul 18.00 wita. Jadwal itu, katanya, khusus untuk dirinya.

Sebelum Magrib, ketika matahari di barat akan tenggelam, dia sudah meninggalkan dermaga, untuk pulang ke rumah. Jadwal De’sisi ini berbeda dengan waktu kerja pappalimbang lainnya, yang kebanyakan beraktivitas mulai pukul 07.00 sampai pukul 23.30 wita.

Dahulu, kisah De’sisi, satu perahu dikelola 2 orang, yakni dia dan Daeng Sija, sepupunya. Berkat bantuan dari Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) Kota Makassar, dia bisa punya perahu sendiri.

Perahu pappalimbang ini, merupakan kreasi sederhana, berupa dua unit perahu pincara yang dirakit menjadi satu bagian, dihubungkan dengan papan-papan sebagai alasnya.

Agar penumpang terlindung dari panas dan hujan, dibuatkan tenda dari bahan vinyl. Vinyl ini merupakan bahan sintetis terbuat dari polivinil klorida (PVC).

Saya lalu mendongak ke atap perahu yang sudah digunakan selama kurang lebih 4 tahun ini. Benar saja, ada tulisan besar tercetak di sana.

Karena posisinya terbalik dan terhalang balok kayu yang dijadikan rangka tenda, saya mengeja tulisan yang dibuat dengan digital printing itu: PERAHU PAPPALIMBANG. “Zakat berdayakan mustahik dan mensejahterakan umat”. Ada juga hashtag, #Berzakatki, #Salamakki #Gerakancintazakat Baznas Kota Makassar.

Mustahik adalah sebutan untuk orang atau golongan yang berhak menerima zakat, di antaranya fakir miskin.

“Kalau papannya sudah agak lama dipakai, saya ganti demi keamanan dan keselamatan bersama. Namun, kalau tendanya ada yang sobek, saya melapor ke Baznas untuk diganti,” jelas De’sisi.

Obrolan kami ini berlangsung selama dua kali perahu bolak-balik, pulang-pergi. Setelah itu, saya dan istri pamit, dan langsung menuju kampung Lakkang menggunakan sepeda motor.

Jalur Belakang

Sebelumnya, saya pernah ke kampung yang berada di delta Sungai Tallo dan Sungai Pampang ini. Secara administratif Lakkang merupakan salah satu dari 15 kelurahan di Kecamatan Tallo. Lakkang ini berupa pulau yang terbentuk dari proses sedimentasi yang sangat lama. Luasnya 1,15 km², dengan ketinggian <500 mdpl. Itulah keunikan geografisnya. Sehingga orang biasa menyebut Lakkang sebagai pulau di tengah Kota Makassar.

Bedanya, dahulu saya naik perahu di dermaga lama, yang masuknya dari arah depan SD Inpres Kera-Kera. Kalau dari arah sini, waktu tempuhnya ke Lakkang sekira 30 menit. Sepanjang perjalanan, mata kita akan dimanjakan oleh deretan hutan nipah yang tumbuh subur di sepanjang aliran sungai. Tumbuhan dengan nama Latin, nypa fruticans ini merupakan tumbuhan palem yang memang banyak tumbuh di daerah pasang surut ait laut atau hutan bakau.

Akses masuk ke Kampung Lakkang (dok: Istimewa)

Saat berkunjung itu, saya melihat warga yang tengah memanen buah nipah, sambil tetap berada di atas lepa-lepa (perahu kecil). Tandan buah nipah itu mengumpul rapat.

Setiap buah, kira-kira sebesar salak, tapi lebih bulat. Daging buah nipah tebal dan berair dengan rasa manis, mirip kelapa muda. Warga biasa memanfaatkan buah nipah untuk dibikin ballo (tuak). Namun, nira dari tandan buahnya ini bisa dijadikan pemanis. Sementara pelepah daunnya bisa dijadikan atap rumah, bakul, tikar, dan kerajinan lainnya.

Kini, jalur yang pernah saya lewati itu tidak lagi menjadi akses utama ke Lakkang. Memang masih ada dermaga dan beberapa perahu pappalimbang bersandar di sana, tapi aktivitas antar muat penumpang tidak terlihat, kala saya berkunjung pada Jumat, 28 Februari 2025.

Dermaga beratap seng di sana masih kokoh, dengan bangku-bangku panjang yang biasa digunakan pengunjung saat menunggu perahu. Bentuk bangunannya yang mirip aula, kadang berubah fungsi, dijadikan sebagai tempat menggelar hajatan warga.

“Sudah tidak mi menyeberang dari situ. Dermaganya sesekali dipakai warga untuk pesta pernikahan, kalau tamunya banyak,” ungkap Pak Patta, seorang warga yang saya temui pagi itu.

Di sebelah kiri dermaga, saya melihat ada tiang besi berdiri tegak, dan dipasangi alat monitoring pengukur kualitas air sungai. Panel yang menggunakan tenaga surya ini merupakan bantuan Australia Global Alumni, bekerja sama dengan Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP), dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Sulawesi Selatan. Di situ tegas tertulis, peringatan agar alat tersebut jangan dirusak dan diambil.

Rute dan waktu tempuh dari dermaga Kera-Kera ke Dermaga Mandiri di Lakkang, yang dianggap relatif lama, bagi saya, justru di situlah keseruan perjalanannya. Ada semacam pengalaman adventure nan eksotis, dibanding sekarang dengan rute waktu singkat.

Meski perjalanannya lama, tapi begitu tiba di dermaga, jalan menuju kampung lebih dekat. Tak cukup 100 meter, kita sudah bisa tiba di Kantor Kelurahan Lakkang. Bandingkan dengan rute yang baru, yang akan saya lalui ini.

Soal waktu tempuh ini, De’sisi mengungkapkan pengalamannya. Ketika saya menyampaikan, lama perjalanan antara 1-2 menit, dia mengatakan semua tergantung arus sungai. Bila arusnya lagi deras, bukan cuma butuh waktu sedikit lebih lama, bahkan mendaratnya pun bisa di dermaga berbeda.

Maksudnya, perahunya itu terbawa arus hingga terpaksa mendarat di dermaga lama. Arus ini, diakui, sangat tergantung pada kondisi cuaca dan alam.

Ada kearifan lokal yang dipahami oleh De’sisi, yang disebut bonang dan konda. Katanya, itu bahasa orang dahulu.

Bonang itu pasang surutnya air, kalau pagi surut, nanti pasang di sore hingga malam hari. Sementara kalau konda itu, airnya standar, tidak pada posisi surut dan pasang. Bila laut lagi pasang, air bisa setinggi dermaga. Meski begitu, dia tetap beraktivitas, cuma harus hati-hati. Kecuali saat banjir besar melanda Kota Makassar, di bulan Februari 2025, selama 2 hari dia tidak beroperasi.

“Sewaktu banjir besar di Makassar, saya tidak bekerja, tapi dua hari ji. Karena setelah itu airnya surut sendiri,” kenang De’sisi.

Saya menyebut rute ini, sebagai jalur belakang menuju ke kampung Lakkang. Selain itu, masih ada jalur lama, yang lewat Dermaga Mandiri, bisa pula menyeberang lewat jalan tol Ir. Sutami, atau melalui pelabuhan yang berada di dekat Kompleks Makam Raja-Raja Tallo.

Warga sendiri, punya sebutan yang lebih sederhana, merujuk pada arah mata angin. Warga biasa hanya menyebut dermaga Raya dan dermaga Lauk. Dalam masyarakat Makassar, Raya berarti Timur, Lauk berarti Barat, sedangkan Timborok, artinya Selatan, dan Warak, artinya Utara.

Begitu sepeda motor yang saya kendarai lepas dari dermaga, kami langsung disambut hamparan alam nan luas. Mata saya melihat petak-petak tambak ikan di sisi kiri dan kanan jalur jalan yang akan kami lewati.

Hanya ada satu atau dua rumah yang berdiri di antara tambak-tambak itu. Saya teringat De’sisi, ketika mengatakan jarak dari dermaga ke kampung Lakkang mungkin sejauh 1 kilometer.

“Kayaknya benar, apa yang tadi disampaikan,” begitu pikir saya.

Sepanjang perjalanan, istri saya tak henti-henti mengingatkan agar saya berhati-hati. Maklum, jalur jalan yang terlihat berkelok membelah tambak-tambak ini, hanya berupa jalan setapak, selebar 1 meter. Jalannya terbuat dari paving block, dengan pinggiran yang ditumbuhi rumput liar. Itulah mengapa, ada serombongan kambing dan beberapa ekor kerbau yang dengan nikmatnya memakan rumput di situ. Saat menuju kampung, kami sempat bertemu dengan dua lelaki yang tengah memancing. Kami bertegur sapa, mappatabe, atau meminta permisi. Katanya, mereka tengah memancing ikan mujair.

Sesekali, saya mesti menepikan sepeda motor, bila dari jauh terlihat ada kendaraan yang bakal lewat. Lebar jalan, sangat pas-pasan, jadi saya harus tetap awas. Sebab, bisa-bisa sepeda motor saya tergelincir masuk ke tambak. Saking khawatirnya, sesekali istri saya lebih memilih berjalan kaki daripada dibonceng.

Apalagi pada ruas jalan rusak yang cukup panjang, di mana paving block-nya amblas. Kondisi ini terjadi sekira 200-an meter memasuki kampung Lakkang, ketika melewati hutan nipah, yang berada di kedua sisinya. Tampak ada jalur jalan tanah yang bagai digaris memanjang, di sebelah jalan paving block itu. Saya mendapat informasi, jalur jalan paving block ini baru setahun diadakan.

Saat saya menepi untuk memberi jalan pengendara dari depan, saya bertemu Haeruddin Daeng Bunga, seorang pedagang keliling. Pedagang asal Limbung ini rutin masuk ke Lakkang untuk berjualan sayur dan keperluan lainnya, setiap hari mulai pukul 10.00 hingga siang hari, kecuali hari Jumat dan Minggu. Kami juga bertemu pedagang tempe dan tahu, yang setelah jualannya laku, dia membeli ayam kampung milik warga.

Di jalan, secara terpisah, kami juga bertemu dengan seorang murid Sekolah Dasar (SD) dan seorang siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Keduanya berjalan kaki pulang dari sekolah, tanpa perlu menunggu jemputan, seperti kebanyakan anak-anak sekolah.

Murid SMP itu bernama Amira, kelas VII, bersekolah di SMP Negeri 44 Satu Atap Lakkang. Saat saya bertanya, mau pulang ke mana, mereka mengaku tinggalnya di tambak. Saya lalu menoleh, ke arah rumah nun jauh di sana, yang saya perkirakan sebagai rumah yang dia maksud. (Bersambung)

____
Seandainya Lakkang Jadi Laboratorium Wisata Berkelanjutan (1), ditulis oleh Rusdin Tompo, Koordinator SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan.

Related posts