Politik Pengetahuan, Tafsir Ilmu dalam Panggung Pembangunan

  • Whatsapp
Muliadi Saleh (dok: Istimewa)

Politik Pengetahuan, Tafsir Ilmu dalam Panggung Pembangunan, ditulis oleh Muliadi Saleh, penulis, pemikir, penggerak literasi dan kebudayaan.

 

PELAKITA.ID – Di balik bentangan angka dan grafik pembangunan, sesungguhnya ada pertanyaan mendasar tentang siapa yang berhak bicara dan siapa yang dibungkam.

Politik pengetahuan bukan sekadar wacana akademik, melainkan denyut kehidupan dalam setiap keputusan yang menyentuh nasib rakyat. Ia adalah jembatan antara langit gagasan dan tanah kenyataan, antara tafsir kitab dan riset pasar, antara harapan suci dan logika kuasa.

Ilmu pengetahuan, yang semestinya bebas dan menyejukkan seperti mata air, sering kali diangkut dengan keranjang kepentingan. Ia disaring, dipoles, bahkan dipelintir agar sesuai dengan narasi penguasa.

Pembangunan, yang semestinya berpijak pada kebutuhan sejati rakyat, kadang lahir dari data yang disusun bukan untuk membebaskan, tapi untuk membenarkan. Maka muncullah ilusi keberhasilan, statistik gemerlap yang tak mampu menyeka air mata di kampung-kampung yang terpinggirkan.

Dalam medan inilah, politik pengetahuan berdansa dan bernyanyi. Ia mempengaruhi bagaimana suatu kebijakan disusun, bagaimana praktik pembangunan dijalankan, dan kepada siapa dampaknya berpihak.

Ketika data dipilih hanya dari sudut pandang elite, maka suara-suara dari masyarakat bawah, dari pepohonan hutan-hutan belantara, lorong pasar dan pelosok dusun menjadi gema yang tak terdengar. Ketika pengetahuan dimonopoli oleh sekelompok kecil teknokrat, maka kebijakan menjadi sunyi dan bersembunyi dari nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal.

Padahal sejak mula, manusia dititipkan akal sebagai alat untuk mengenal Tuhan dan mengatur dunia. Ayat-ayat suci pun bertebaran yang mengajak untuk membaca, bertafakur, menimbang, dan memaknai.

Dalam Islam, ilmu bukan sekadar hasil eksperimen, tapi cermin ketundukan pada kehendak Ilahi. Politik pengetahuan yang berjiwa spiritual adalah politik yang menjadikan ilmu sebagai sarana untuk menghadirkan keadilan, bukan menumpuk keuntungan.

Namun di zaman ini, kerap kita menyaksikan pembangunan yang kering makna. Gedung-gedung menjulang di atas tanah yang dahulu suci, sawah digantikan beton, dan nelayan kehilangan laut karena kebijakan reklamasi yang katanya demi pertumbuhan. Aktivitas tambang yang mengabaikan keberlanjutan ekosistem.

Di ruang-ruang kebijakan, suara kaum marjinal kadang tak memiliki tiket untuk masuk. Mereka dianggap tidak punya “pengetahuan yang valid”, seolah pengalaman hidup bukan bagian dari ilmu.

Profesor Boaventura de Sousa Santos menyebut, ada epistemicide: pembunuhan cara-cara lain dalam mengetahui. Ketika hanya satu bentuk ilmu yang diakui – ilmu yang lahir dari laboratorium dan jurnal – maka lenyaplah pengetahuan dari ladang, dari langgar, dari lisan para tua. Pembangunan pun kehilangan ruh. Ia jadi jasad yang megah tapi hampa.

Pemerintah, dalam berbagai level, sering mengklaim bahwa kebijakannya berbasis evidence. Tapi bukti macam apa yang diangkat ke permukaan? Siapa yang mengatur data? Dan siapa yang mendapat ruang untuk menginterpretasikannya? Di sinilah politik pengetahuan bekerja dengan diam-diam. Ia seperti angin: tak terlihat, tapi menentukan arah layar perahu.

Padahal di negeri ini, banyak pengetahuan yang lahir dari tanah dan langit. Dari ritual petani yang menanam dengan hitungan bulan, dari nelayan yang membaca gelombang, dari ulama kampung yang merangkai hikmah dalam kata-kata sederhana.

Mereka semua memiliki pengetahuan—tapi sering tak dicatat, apalagi didengar. Dan ketika mereka bersuara, kadang dianggap sebagai pengganggu proses pembangunan, bukan pelengkapnya.

Kita perlu membalikkan arah. Bukan untuk menolak ilmu modern, tetapi untuk membuka panggung agar semua ilmu diberi ruang. Pengetahuan teknokrat dan spiritualitas rakyat tidak perlu bertarung.

Mereka bisa bergandengan, saling mengisi, saling menjaga. Seperti sungai dan samudera, pertemuan mereka bisa menghasilkan arus kebijakan yang kuat sekaligus menyejukkan.

Sudah saatnya pembangunan tidak hanya mengandalkan survei pasar, tetapi juga mendengar suara santri, ibu rumah tangga, buruh tani, dan pemuda desa. Sudah waktunya ruang kebijakan terbuka bagi narasi alternatif: dari cerita rakyat, dari syair-syair tua, dari hasil musyawarah dusun, dan dari pengalaman pahit rakyat kecil. Karena di sanalah terletak pengetahuan yang tak bisa diukur dengan tabel, tapi terasa dalam dada.

Politik pengetahuan yang spiritual adalah politik yang meyakini bahwa setiap manusia membawa cahaya ilmu. Ia tidak melihat gelar, tapi mendengar hikmah. Ia tidak hanya memercayai jurnal, tapi juga menghormati petuah dan pengalaman.

Politik semacam ini tidak mengasingkan, tetapi merangkul. Tidak mendominasi, tapi membimbing.

Maka, bila kita ingin kebijakan yang adil, pembangunan yang bermakna, dan kemajuan yang membawa bahagia, mari kita luruskan niat dan cara kita dalam memperlakukan ilmu. Ilmu bukan alat kuasa, tapi lentera untuk semua.

Mari bebaskan ilmu dari cengkeraman politisasi, dan kembalikan ia ke pangkuan umat.

Sebab pembangunan sejati bukan soal angka pertumbuhan ekonomi, tapi tentang tumbuhnya akal, batin, dan harga diri rakyat. Dan politik pengetahuan yang tercerahkan adalah ladang tempat iman dan akal tumbuh bersama, dalam sejuknya kasih sayang Tuhan dan hangatnya pelukan semesta.

“Menulis untuk menginspirasi, mencerahkan, dan menggerakkan peradaban”

___
Muliadi Salehn