Pelajaran dari Presiden Termiskin di Dunia | Muliadi Saleh

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Kita datang ke dunia ini untuk bahagia. Tapi kita telah menjadikan kebahagiaan sebagai sandera dari pasar – Jose Mujica

PELAKITA.ID – Di ujung Amerika Latin, jauh dari hiruk-pikuk politik global, seorang lelaki tua menanam bunga, menyiram tanah, dan berbicara dengan angin.

Namanya José Mujica. Ia bukan pujangga, bukan filsuf, tetapi dari tangannya tumbuh kepemimpinan yang paling jujur dan puitis yang pernah ditorehkan zaman modern.

Mantan Presiden Uruguay tersebut, yang dikenal luas karena reformasi sosialnya, meninggal dunia pada usia 89 tahun di Uruguay, Selasa, 13 Mei 2025.

Kabar duka ini disampaikan oleh Presiden Uruguay, Yamandú Orsi. Mujica wafat setelah memutuskan menghentikan pengobatan atas kanker esofagus yang dideritanya.

Mujica, Presiden Uruguay periode 2010–2015, dijuluki dunia sebagai “Presiden Termiskin”. Namun, tak satu pun kata dari bibirnya pernah menunjukkan bahwa ia merasa kekurangan. Justru sebaliknya—kesederhanaan dijadikannya senjata paling kuat untuk merobohkan ilusi kuasa.

“Saya bukan orang miskin. Orang miskin adalah mereka yang butuh terlalu banyak,”
ujar Mujica suatu hari—sebuah kalimat yang menohok bangsa-bangsa tamak dan elite candu fasilitas.

“Saya hidup dengan cara ini karena saya memilih hidup dengan kebebasan. Jika Anda tidak memiliki apa-apa, Anda tidak perlu bekerja seperti budak untuk mempertahankannya,”
tambahnya dalam sebuah wawancara yang menggema di hati para pencari makna.

Ia menolak tinggal di istana kepresidenan, lebih memilih rumah kecil di pinggiran kota, tanah subur, dan seekor anjing berkaki tiga.

Hampir 90% gajinya sebagai presiden ia sumbangkan untuk program sosial. Kendaraannya hanya sebuah Beetle tahun 1987. Ia pun tak pernah terlihat mengenakan jas atau dasi berkilau. Namun dari sosok renta dan pakaian kusut itulah dunia menyaksikan secercah cahaya berbeda: seorang pemimpin yang hidup seperti rakyatnya.

Barack Obama, mantan Presiden Amerika Serikat, pernah berkata:

“Mujica reminds us what leadership is all about: not power, but purpose. Not wealth, but wisdom.”
(Mujica mengingatkan kita bahwa kepemimpinan bukan soal kekuasaan, melainkan tujuan. Bukan kekayaan, melainkan kebijaksanaan.)

Dan memang, dari kehidupan Mujica kita menemukan narasi sunyi tentang makna kekuasaan yang hakiki. Ia tidak berdiri di atas rakyatnya, tetapi berjalan bersama mereka—dengan kaki telanjang, kadang berlumpur, kadang terluka.

Apa pelajaran penting dari Mujica?

Bahwa kekuasaan sejati bukan ditunjukkan oleh banyaknya ajudan atau megahnya kantor, melainkan oleh seberapa dekat pemimpin hadir dalam kehidupan rakyat kecil. Bahwa kesejahteraan tak lahir dari tumpukan peraturan, melainkan dari keteladanan nyata. Dan bahwa menjadi pemimpin berarti mampu menahan diri, bukan memperluas privilese.

Pemimpin sejati tidak diukur dari panjang iring-iringan kendaraan atau tinggi podium, melainkan dari keberanian memihak yang lemah dan kejujuran bersikap ketika godaan kekuasaan datang mengetuk.

Mujica tidak mengajarkan kita untuk menjadi miskin, tetapi untuk tidak diperbudak oleh keinginan yang berlebihan. Ia tidak membenci kekayaan, namun menolak jika kekayaan menjauhkan kita dari nilai-nilai kemanusiaan.

“Kita datang ke dunia ini untuk bahagia. Tapi kita telah menjadikan kebahagiaan sebagai sandera dari pasar,”
katanya suatu kali di mimbar Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Narasi Mujica adalah tamparan lembut, bukan penghakiman. Ia tak menunjuk siapa pun. Ia hanya berdiri di tengah ladangnya yang sunyi, memetik bunga, dan membiarkan dunia bertanya kepada dirinya sendiri:

Apakah kita masih punya cukup keberanian untuk hidup jujur?

Apakah kita mau menata ulang makna kepemimpinan—bukan sebagai singgasana, tetapi ladang pengabdian?

Kini, saat dunia kembali dihadapkan pada krisis kepercayaan terhadap pemimpin—saat janji dan realitas kian menjauh—suara Mujica hadir seperti azan fajar: lirih, namun membangunkan.

Dan mungkin, tanpa perlu menjadi Mujica, kita bisa memulainya dengan satu langkah kecil: membayangkan pemimpin yang cukup sederhana untuk mendengar, merasa cukup, dan tidak rakus.

Karena kadang, yang paling dibutuhkan bangsa ini bukan pemimpin yang pandai bicara, tapi yang berani hidup seperti yang ia katakan.

Wallahu A’lamu Bisshawab.
Moel’S@14053025