Malino yang Mulai Luka: Keindahan yang Terancam oleh Bangunan Tanpa Jiwa

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Jika benar data Dinas Lingkungan Hidup Gowa (2024) yang menyebutkan bahwa lebih dari 60% pembangunan di Malino tak melalui kajian AMDAL yang lengkap, serta laporan Walhi Sulsel (2023) yang mencatat penurunan tutupan hutan sekunder sebesar 12% dalam lima tahun terakhir, maka dampaknya nyata.

PELAKITA.ID – Di ketinggian yang hening, tempat kabut turun perlahan membasuh pinus dan menyusup ke celah-celah rumah kayu tua, Malino berdiri dengan anggun—seolah melantunkan syair alam yang paling lirih.

Udara di kota kecil pegunungan ini adalah doa yang dijatuhkan langit. Angin sejuknya membelai jiwa yang letih, sementara bunga hortensia biru merekah di sepanjang jalan, tak lelah menyapa siapa pun yang datang dengan cinta.

Namun, keindahan itu perlahan memudar. Kesejukan udaranya tak lagi seperti dulu, dan kicau burung tak lagi mendominasi pagi. Pembangunan mulai merambah lereng-lereng sunyi, tak terkendali. Resort dan vila berdiri megah, membuat alam oleng, kehilangan harmoni.

Sejuk tapi gersang? (Dok: Muliadi Saleh)

Malino kini menghadapi paradoks: antara ambisi menjadi destinasi wisata kelas dunia dan kewajiban menjaga warisan alam serta budaya yang telah hidup berabad-abad.

Data dan Fakta di Balik Keindahan yang Terancam

Jika benar data Dinas Lingkungan Hidup Gowa (2024) yang menyebutkan bahwa lebih dari 60% pembangunan di Malino tak melalui kajian AMDAL yang lengkap, serta laporan Walhi Sulsel (2023) yang mencatat penurunan tutupan hutan sekunder sebesar 12% dalam lima tahun terakhir, maka dampaknya nyata: perubahan iklim mikro, penurunan kualitas udara, hingga debit air pegunungan yang menyusut akibat alih fungsi kawasan konservasi menjadi pemukiman dan area wisata.

Air jernih Malino—dulu sumber kehidupan dan inspirasi para penyair—kini mulai keruh. Sungai-sungai kecil tercemari limbah domestik dan pembangunan yang abai pada drainase alami.

Apa yang kurang dari pemandangan ini? (dok: Muliadi Saleh)

Kearifan Lokal yang Terpinggirkan

Malino bukan sekadar lanskap alam, melainkan lanskap budaya. Di sini tumbuh nilai-nilai Bugis-Makassar yang mengajarkan harmoni dengan alam. Tradisi pangngadakkang—membangun rumah tanpa melukai pohon tua—adalah etika ekologis lokal yang kini makin dilupakan.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini menjadi peringatan bahwa pembangunan tanpa kendali bukanlah kemajuan, melainkan kehancuran yang ditunda. Ketika manusia abai pada nurani dan ilmu, alam akan menagih balas.

Malino yang Berkelanjutan

Malino tidak menolak pembangunan. Tapi Malino memohon: bangunlah dengan cinta, bukan sekadar angka.
Wilayah ini layak menjadi contoh eco-spiritual tourism—tempat orang datang bukan sekadar untuk berswafoto, tapi untuk belajar hidup selaras dengan alam.

Sisi lain Malino (dok: Muliadi Saleh)

Pemerintah Kabupaten Gowa perlu menyusun zonasi ketat berbasis partisipasi warga, memperkuat tata ruang, dan meninjau ulang bahkan menghentikan izin di zona-zona kritis.

Edukasi lingkungan bagi pelaku usaha wisata pun sangat penting. Mari bersama menjaga agar Malino tetap sejuk—bukan hanya suhunya, tapi juga hatinya.

Sebab jika kita kehilangan Malino, kita kehilangan satu ruang suci yang selama ini diam-diam menjaga keseimbangan jiwa dan bumi.

Penulis:
Muliadi Saleh, penulis dan pemerhati sosial-budaya. Tinggal di Makassar.