Sunyi dalam Ramai: Mengurai Stres Mahasiswa di Awal Perkuliahan, ditulis oleh Lili Ufrianti Nirwati (NIM: K011221098), mahasiswa Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.
PELAKITA.ID – Ketika ribuan pelajar bersorak menyambut kelulusan SMA mereka, banyak yang tak menyadari bahwa langkah berikutnya sebagai mahasiswa baru bukan hanya tentang mengenakan jaket almamater dan mengejar IPK sempurna.
Di balik bangku kuliah, tersembunyi medan tempur senyap: pertarungan melawan stres.
Stres bukanlah sekadar istilah klise yang sering dijadikan lelucon di media sosial. Menurut World Health Organization (WHO, 2021), stres adalah respons tubuh terhadap tekanan yang memerlukan perhatian atau tindakan serius karena dapat menimbulkan ketegangan fisik, emosional, bahkan psikologis.
Global Burden of Disease mencatat bahwa 350 juta orang di dunia menderita stres, dan sebanyak 450 juta mengalami gangguan mental dan perilaku.
Indonesia tidak luput dari permasalahan ini. Survei Indonesia Expat Insurance Cigna (2019) menunjukkan bahwa 75% responden mengaku mengalami stres.
Di kalangan mahasiswa, angkanya bahkan lebih mengkhawatirkan. Prevalensi stres di Indonesia mencapai 71,6%, jauh lebih tinggi dibanding rata-rata dunia (38,91%) dan Asia (61,3%) (Arisandi & Pradana, 2021).
Artinya, tujuh dari sepuluh mahasiswa Indonesia hidup dalam tekanan mental—dan sayangnya, banyak dari mereka yang tak tahu harus berbuat apa.
Antara Harapan dan Kecemasan
Bagi banyak mahasiswa baru, dunia kampus terasa seperti planet asing. Mereka tak hanya harus menyesuaikan diri dengan ritme belajar mandiri dan perkuliahan yang cepat, tetapi juga dengan kehidupan jauh dari rumah, lingkungan baru, serta teman-teman yang belum dikenal. Bila dulu guru di sekolah aktif mengarahkan, kini dosen hanya memberi isyarat. Mahasiswa harus aktif mengejar pemahaman.
Perubahan besar inilah yang menjadi pemicu stres bagi banyak mahasiswa baru. Mereka merasa terlempar dari zona nyaman ke dalam pusaran tuntutan yang tak berkesudahan.
Mereka tidak hanya dituntut untuk sukses secara akademik, tetapi juga diharapkan bisa langsung menyesuaikan diri secara sosial dan emosional.
Mental yang Tergerus
Stres akademik bukanlah hal sepele. Bila dibiarkan, ia bisa menjadi batu sandungan besar bagi perjalanan akademik dan kesehatan mental mahasiswa.
Gejala stres akademik tak hanya dirasakan secara fisik—seperti nyeri otot atau gangguan tidur—tetapi juga secara emosional, seperti rasa cemas, mudah marah, atau perasaan tidak berguna. Bahkan perilaku mahasiswa bisa berubah: menjadi lebih pendiam, impulsif, atau menarik diri dari lingkungan sosial.
Dalam jangka panjang, stres yang tidak ditangani dapat menurunkan kualitas akademik, memicu depresi, dan bahkan menyebabkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Ini bukan narasi dramatis; ini kenyataan yang tercermin dalam laporan dan survei nasional.

Koping yang Sering Terlupakan
Koping adalah kemampuan seseorang untuk mengatasi situasi menekan. Strategi koping terbagi menjadi dua: problem-focused coping dan emotion-focused coping (Agustiningsih, 2019).
Strategi pertama melibatkan usaha menyelesaikan masalah secara langsung, misalnya dengan membuat jadwal, berkonsultasi dengan dosen, atau mengatur ulang prioritas. Sementara strategi kedua lebih kepada meredakan emosi, seperti meditasi, curhat, atau menerima kondisi apa adanya.
Sayangnya, banyak mahasiswa baru belum memahami bahwa mereka bisa memilih cara menghadapi tekanan. Banyak yang justru memilih diam, memendam, atau bahkan melarikan diri ke perilaku maladaptif seperti isolasi sosial, tidur berlebihan, atau pelarian ekstrem lainnya.
Kita Tidak Boleh Diam
Mengabaikan masalah ini bukan hanya lalai, tapi juga berbahaya. Data Riset Kesehatan Dasar (2018) menunjukkan bahwa 9,8% masyarakat Indonesia usia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, termasuk stres dan depresi—dan kampus bukan zona bebas dari statistik ini.
Mahasiswa baru harus dibekali bukan hanya dengan modul akademik, tetapi juga pelatihan manajemen stres. Fakultas perlu menyediakan layanan konseling yang mudah diakses dan tidak distigmatisasi. Senior bisa dilibatkan dalam program mentoring emosional. Bahkan mata kuliah pengembangan diri bisa menjadi ruang aman untuk membahas kesehatan mental.
Menjadi Telinga yang Mendengar, Bukan Lidah yang Menghakimi
Tidak semua stres harus dilawan dengan logika. Terkadang, yang dibutuhkan mahasiswa hanyalah tempat untuk bercerita. Sayangnya, budaya akademik kita sering kali terlalu kaku. Mahasiswa yang mengeluh dianggap lemah; yang menangis dianggap tidak tahan banting. Ini harus diubah.
Sebagai sesama mahasiswa, dosen, atau bagian dari sistem pendidikan, kita semua bisa menjadi telinga yang mendengar. Kita tidak harus selalu memberi solusi. Cukup hadir. Cukup bertanya, “Kamu baik-baik saja?” bisa menyelamatkan seseorang dari malam gelap yang tak terlihat.
Sebuah Harapan dalam Sunyi
Stres adalah bagian dari hidup, tapi bukan berarti harus dibiarkan menguasai hidup. Mahasiswa baru sedang menjalani masa transisi terpenting dalam hidup—bahagia, takut, bingung, stres—karena itu semua adalah bagian dari proses bertumbuh.
Dan bagi kita yang pernah ada di posisi mereka, mari bantu mereka menavigasi permasalahan ini. Karena siapa tahu, di balik senyum yang mereka tunjukkan di lorong kampus, sedang ada hati yang berjuang sendirian.
Editor: Denun