PELAKITA.ID – Matahari belum menampakkan wajahnya, tapi handphone sudah meraung. Alarm berbunyi, grup chat kantor ramai.
Dengan mata setengah terbuka dan kopi yang belum sempat dingin, banyak pekerja memulai hari dengan kepala penuh to-do list dan notifikasi tak berujung. Di tengah baju kerja yang belum disetrika dan sarapan yang tertinggal, rutinitas pun dimulai: tergesa, tertekan, dan terus merasa tertinggal.
Inilah wajah dunia kerja modern—yang katanya fleksibel dan serba cepat, tapi justru menjebak manusia dalam siklus tekanan yang terus berulang.
Dunia kerja yang seharusnya membuka ruang bagi kreativitas dan keseimbangan, kini berubah menjadi medan stres yang nyaris tak ada ujungnya.
Jam kerja melebur tanpa batas, target terus bertambah, dan budaya “selalu siap sedia” perlahan mengikis batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Tekanan yang Dinormalisasi
Masalahnya bukan lagi soal individu yang tak sanggup bekerja keras, melainkan sistem yang memaksa orang untuk selalu “on”. Kita hidup di era di mana prestasi dinilai lebih tinggi daripada kesehatan, dan produktivitas lebih utama daripada kemanusiaan. Apakah ini harga yang harus dibayar demi kesuksesan?
Teknologi seharusnya memudahkan hidup. Email, aplikasi kolaborasi, hingga sistem kerja remote memberi kesan fleksibel, namun nyatanya menambah tekanan.
Studi American Psychological Association (APA) menyebutkan 62% pekerja merasa sulit benar-benar memutus koneksi dari pekerjaan setelah jam kerja, terutama dalam sistem kerja hybrid.
Budaya kerja bahkan ikut memperkuat tekanan itu. Lembur dianggap sebagai simbol dedikasi, sementara pulang tepat waktu dipandang kurang ambisius. Tak jarang pula karyawan menerima tugas tambahan di luar jobdesk tanpa pilihan.
Seperti yang diungkapkan Adinda (21): “Terkadang saya merasa tidak terima kalau dikasih kerjaan lain, karena itu bukan jobdesk saya. Walaupun pekerjaan saya sudah selesai, saya punya hak untuk rehat sejenak. Tapi malah disuruh mengerjakan pekerjaan lain.”
Fenomena semacam ini tak hanya menyita waktu, tapi juga melelahkan secara emosional. WHO bahkan telah mengakui burnout—kelelahan kronis akibat stres kerja—sebagai isu kesehatan global.
Laporan McKinsey Health Institute (2022) mencatat, hampir setengah dari pekerja milenial mengalami gejala burnout: kelelahan ekstrem, hilangnya motivasi, hingga rasa tidak berdaya menghadapi tugas.
Di Balik Ruang Kerja yang Instagramable
Sektor kreatif dan perusahaan rintisan sering dianggap lebih santai. Nyatanya, justru di ruang kerja yang tampak estetik dan santai itulah tekanan tak kalah mencekik. Minimnya struktur, ekspektasi multitasking, dan “semangat berjuang bersama” kerap menjadi pembenaran untuk bekerja melebihi jam normal—tanpa kompensasi.
Tekanan pun tak berhenti di tempat kerja. Ia ikut terbawa pulang, menggerogoti waktu istirahat dan menurunkan kualitas hidup. Wanty (21), pekerja di kota besar, berkata: “Pekerjaan lagi banyak biasanya pulang tengah malam, belum lagi pekerjaan rumah yang harus diberesin. Bisa sampai subuh baru istirahat. Tapi mau bagaimana lagi, capeknya harus aku tanggung.”
Stres berkepanjangan seperti ini memicu berbagai gangguan: kecemasan, insomnia, depresi. Dan ironisnya, perusahaan juga dirugikan—karena pekerja yang kelelahan justru jadi kurang produktif dalam jangka panjang.
Saatnya Berubah: Dari Mesin ke Manusia
Sebagian orang masih beranggapan bahwa tekanan adalah bagian dari “pembentukan karakter”. Tapi tekanan yang sehat berbeda dengan tekanan yang berlebihan. Yang pertama bisa mendorong pertumbuhan, sementara yang kedua meruntuhkan perlahan. Dunia kerja kita saat ini, sayangnya, lebih banyak menciptakan tekanan jenis kedua.
Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi sistem kerja yang menyakiti. Dunia kerja butuh reformasi, bukan hanya dari sisi kebijakan, tapi juga nilai-nilai yang menopangnya. Kinerja tak seharusnya hanya dinilai dari angka, tapi juga dari kesejahteraan manusia di baliknya.
Organisasi perlu berubah. Jam kerja fleksibel harus benar-benar memberi ruang istirahat. Program kesehatan mental bukan sekadar formalitas, tapi investasi. Manajer perlu dilatih untuk menciptakan ruang kerja yang suportif, bukan menekan.
Karena pada akhirnya, manusia bukan mesin. Kita butuh waktu untuk bernapas, untuk merasa, untuk hidup.
Editor Denun