Perjalanan Goenawan Monoharto, Berbagai Peran dalam Sebuket Puisi

  • Whatsapp
Penuulis (kiri) bersama Goenawan Monoharto (dokL Istimewa)

Penulis, Rusdin Tompo adalah Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan

PELAKITA.ID – Diminta memberi kata pengantar untuk seseorang yang lebih “senior”, sungguh membuat saya semula tidak yakin, apa bisa. Saya tidak terlalu percaya diri menulis kata pengantar untuk buku kumpulan puisi karena tidak punya basic teori terkait puisi dan sastra secara umum.

Bacaan buku-buku puisi saya juga cuma standar, hanya beberapa. Bahkan di antara ‘hanya’ beberapa itu, tak semua saya pahami. Namun saya membaca saja, menikmati keindahan bahasanya, dan mencoba menangkap pesan di balik teksnya, sembari masuk ke dalam labirin imajinasi penulisnya.

Itu pula yang saya lakukan terhadap buku puisi berjudul Menawar Mawar dari Jendela Kamar, yang ditulis Goenawan Monoharto.Beruntung, penulisnya tak menuntut banyak.

Ia hanya meminta saya membuat tulisan apresiasi atas buku ini, yang merupakan buku terakhir dari trilogi buku puisinya, Percakapan Tengah Malam Sangat Sunyi, dan Energi Air Mata.

Judul buku ini diambil dari salah satu puisinya, meski tidak persis lariknya sama. Puisi yang saya maksudkan itu, bertarikh 24 Juni 2024:

jendela kamar menawar mawar
sepetik kuntum untukmu
kala tidur sepinggir mimpi
membawa kabar aku padamu

Larik aslinya berbunyi, jendela kamar menawar mawar, yang kemudian diutak-atik secara kreatif menjadi Menawar Mawar dari Jendela Kamar.

Pada larik asli, sebagaimana terdapat dalam puisi di atas, terasa rasa kepenyairannya. Sedangkan, setelah dipermak menjadi judul buku, terasa puitisnya.

Keduanya sah saja, karena merupakan otoritas penulis, yang empunya buku. Yang tidak berubah adalah objeknya, yakni mawar, bunga dengan keindahan yang banyak sekali menjadi sumber inspirasi.

Bukan mawar kalau tidak berduri, ungkapan yang terkesan sudah seharusnya, tapi sejatinya sarat nilai filosofis.

Ada sejumlah penulis, penyair, filsuf, cendekia, dan tokoh ternama yang menggunakan mawar sebagai ungkapan bijaknya.

Dale Carnegie, seorang penulis dan pengajar, mengatakan kita semua bermimpi mengenai beberapa taman mawar di atas cakrawala daripada menikmati mawar yang mekar di luar jendela kita hari ini.

Rabindranath Tagore, penyair, filsuf dan penerima Nobel Sastra tahun 1913, berpesan bahwa cinta tanpa nilai-nilai luhur kehidupan laksana mawar tanpa siraman air.

Sementara penyair dan jurnalis asal Jerman, Heinrich Heine, menulis siapapun yang meraih mawar dengan tangan kosong, tidak boleh mengeluh bahwa duri menyakitinya.

Anne Bronte, novelis Inggris mengingatkan, tapi dia, yang tidak berani memahami duri itu, seharusnya tidak pernah mendambakan mawar.

Penyair dan sufi, Maulana Jalaluddin Rumi, mengatakan, segala sesuatu akan menunggu, tiba waktunya. Tak ada mawar yang mekar sebelum waktunya. Tak ada matahari, terbit sebelum waktunya. Tunggulah. Segala apa yang akan jadi milikmu akan datang kepadamu.

Mawar itu pula yang jadi objek judul buku Pak Goen. Mawar yang menawarkan keindahan dalam tangkapan lensa dan pandangan mata telanjang. Walau mawar di sini hanya simbolik dari godaan nikmat kehidupan, bukan makna yang sebenarnya.

Bagaimana tidak, dalam makna denotatif saja, mawar yang merupakan tumbuhan golongan tingkat tinggi, punya lebih dari 100 jenis. Bunga yang berasal dari Eropa Timur, China, dan Timur Tengah ini punya warna, corak, dan pola yang terlihat pada kelopaknya.

Jadi, jangan membayangkan mawar seperti yang biasa kita jumpai di halaman rumah, dengan warna merah, kuning, putih, atau ungu. Coba imajinasikan seperti apa rupa jenis-jenis mawar ini: eden, double delight, musk, sunsprite, talitha, putri, mega putih, wild rose, pet austin, hybrid tea, knock out, dan grandifora.

 

***

Ada pula mawar hasil persilangan yang dikenal sebelum Abad XVII, yang disebut old garden rose. Sementara modern garden rose, yang berkelopak ganda, sudah dikenal sejak tahun 1867. Apakah mawar-mawar itu yang ditawar dari jendela kamar?

Bagi seorang Goenawan Monoharto, objek yang kuat itu perlu. Sebagai fotografer, lensanya akan diarahkan agar menemukan angel yang unik.

Sebagai jurnalis, objek sebagai peristiwa selalu juga punya daya tarik. Begitupun sebagai penyair, peristiwa puitis akan direkonstruksi menjadi larik-larik yang dirangkum menjadi satu karya puisi. Dan tampaknya, ia memainkan berbagai peran itu dalam puisi-puisinya.

Ia mengajak kita ke Losari, Toraja, Kyoto, Manhattan, hingga Yerusalem. Ia berkisah, sesekali dalam bahasa Makassar, yang kita pahami, layaknya obrolan di kafe atau warkop.

Ia mengajak kita merawat tradisi, seperti rambu solo’, ma’badong, tunrung pakanjara, dan pakarena. Ia tak hanya menawarkan secangkir kopi untuk diseruput dalam puisinya, tapi juga menyodorkan biji-biji kopi sebagai uluran persahabatan dalam kehidupan nyata.

Diplomasi biji kopi ini, terasa ganjil, tapi tetap jadi pengingat, sebagaimana kita membaca buku-buku terbitan de La Macca.

Secara iseng, saya menelaah angka-angka dalam buku puisi ini. Secara kuantitas, terdapat 9 kali kata “mawar” muncul, dan 7 kali frasa “jendela kamar” digunakan.

Puisi pertama yang ditampilkan Pak Goen, bertanggal 25 Maret 2023, atau hanya berselang 4 hari dari tanggal lahirnya, 21 Maret 1957. Sedangkan puisi terakhir yang disertakan dalam buku, yakni bertanggal 25 Juni 2024.

Secara keseluruhan, puisi-puisi ini dibuat dalam rentang waktu 15 bulan. Walau, tidak tiap hari yang bersangkutan menulis puisi. Namun, dalam pengakuannya, kadang dalam sehari ada beberapa puisi tercipta.

Total keseluruhan puisi dalam buku ini berjumlah 87 puisi. Sungguh di usia 67 tahun, ia masih sangat produktif menulis puisi. Sebuah disiplin yang cukup terjaga.
 
selembar kartu pos dari negerimu
di ujung negeri berantah aku tunggu
salju memang belum cair semua
ranting sudah menampak daun muda
bagaimana keadaanmu di masa tua

Ada yang secara teks, kontekstual dan visual menarik dicermati dalam buku puisi ini. Kata HALELUYA—yang ditulis dalam huruf kapital dan ditempatkan di bagian tengah—muncul setelah puisi ke-34, dan masih ada 53 puisi selanjutnya.

Ini semacam ekstase penulis yang berteriak di puncak kemanusiaannya sebagai hamba. Penulis, dalam perjalanan usianya telah melakoni beragam pekerjaan dan profesi.

Sebagai jurnalis, fotografer, pemain teater, aktor film, penyair, penerbit, dan lain-lain. Belum lagi peran sebagai orangtua, suami, atasan, sahabat, dan peran sosial lainnya.

Sebagai orang yang hidup di kota, masyarakat urban, yang multi-kultur, persentuhan lintas budaya dan agama merupakan sesuatu yang tidak terelakkan.

Puisi bertanggal 24 Desember 2023 seperti melawan polemik dan berani bersikap: jane salam dari umar / selamat natal untukmu. Ungkapan yang kerap menimbulkan kontroversi setiap menjelang Natal.

Nah, terkait dengan Natal ini, yang jatuh pada tanggal 25 Desember, sepanjang hari itu, dan sehari sesudahnya, atau pada tanggal 26 Desember 2023, Goenawan sama sekali tak menulis puisi. Apakah karena ia sibuk menerima tamu, atau lagi khusyuk beribadah?

Puisi-puisi yang dibuat seputar Natal ini, terasa spiritualitas dan religiusitasnya.

Puisi-puisi dalam buku ini juga menampakkan hubungan personal dan emosional penulis dengan beberapa orang. Juga sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan terhadap orang-orang yang namanya disebut dalam puisi.

Ada di antara mereka yang sudah wafat, diabadikan, tapi tidak sebagai obituari. Mereka adalah Riri Satria, Frans Nadjira, dan Joko Pinurbo. Ada pula nama-nama lain disebut, sebagai pertanda bahwa ia punya kesan tertentu dengan mereka.

Puisi oleh penulis dijadikan sebagai arsip ingatan, dan dokumen persahabatan, yang bukan sekadar album kenangan.

Di luar itu, sebagai pemain teater dan aktor, ia juga menghadirkan sosok-sosok imajinatif yang berjarak dengan kita, antara lain Ronin, Avatar, dan Eloi. Ronin merupakan sebutan untuk samurai yang kehilangan atau terpisah dari tuannya pada masa feodal Jepang, antara tahun 1185-1868.

Dalam budaya populer, Ronin didramatisasi sebagai samurai tak bertuan, yang mengembara mencari jalan samurai sejati. Avatar, merupakan film fiksi ilmiah nan epik karya sutradara James Cameron. Latar cerita Avatar pada Abad XXII di Pandora, di mana manusia yang datang ke sana untuk tujuan menjajah dan menjarah sumber daya alamnya.

Sementara Eloi merupakan salah satu dari dua ras pascamanusia fiksi dalam novel karya HG Wells, berjudul The Time Machine. Novel tahun 1895 ini menggambarkan spesies manusia yang terbagi dua, Eloi dan Morlock.

Eloi menjalani kehidupan membosakan dan mudah di permukaan bumi. Sementara Morlock hidup di bawah tanah, merawat mesin, dan menyediakan makanan, pakaian, dan inventaris untuk Eloi.

Betapa jauhnya tafsir yang saya tulis. Padahal, puisi-puisi dalam buku ini simpel, dengan diksi sederhana, dan bait-bait yang relatif singkat. Terdapat 6 puisi yang hanya terdiri atas 2 baris, dan 9 puisi terdiri dari 3 baris, dan puisi-puisi lain yang mudah dihitung jumlah barisnya.

Puisi-puisi ini, kalau dibaca terasa punya kandungan puisi lama, tapi tidak persis seperti itu. Mungkin kegamangan itu pula sehingga Goenawan mengatakan, “Saya juga sangsi apakah yang ditulis dalam buku ini puisi atau syair….”

Bagi saya, kreativitas cenderung mengabaikan sekat-sekat itu. Toh buku puisi Menawar Mawar dari Jendela Kamar ini tetap punya daya pikat dan bisa dinikmati. []
*) Catatan untuk buku Menawar Mawar dari Jendela Kamar, karya Goenawan Monoharto, Penerbit De La Macca, Makassar, 2024