Kolom Muliadi Saleh | Spiritualitas Versus Moralitas – Bagian 7

  • Whatsapp
Ir Muliadi Saleh (Ilustrasi Pelakita.ID)

Paradoks dalam Pengamalan Islam, Antara Cahaya dan Bayangan

PELAKITA.ID – Islam datang sebagai rahmat bagi semesta alam, menghadirkan tuntunan yang harmonis antara ibadah dan akhlak, antara ritual dan makna. Namun, dalam perjalanan sejarah, sering kali manusia terjebak dalam paradoks yang menjauhkan mereka dari esensi agama itu sendiri.

Mereka yang terlihat begitu taat dalam ibadah kadang masih berbuat zalim.

Mereka yang rajin mengaji, kadang masih menebarkan kebencian. Mereka yang berpuasa demi menahan diri dari hawa nafsu, justru menjadikan Ramadhan sebagai ajang pesta kuliner.

Paradoks ini bukan sekadar fenomena kecil, melainkan gejala sosial yang nyata. Studi sosiologis menunjukkan bahwa di negara-negara dengan mayoritas Muslim, tingkat religiositas tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan integritas sosial.

Dalam indeks persepsi korupsi global, misalnya, beberapa negara Muslim masih bergelut dengan tingginya angka korupsi, meskipun kesadaran beragama di sana cukup kuat.

Fenomena ini menandakan adanya jurang antara pengamalan ritual dan nilai-nilai moral yang seharusnya melekat dalam kehidupan sehari-hari.

Di bulan Ramadhan, paradoks ini semakin nyata. Puasa yang pada hakikatnya bertujuan menumbuhkan kesabaran dan empati, justru sering berujung pada konsumsi yang berlebihan.

Sebuah laporan dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menunjukkan bahwa di beberapa negara mayoritas Muslim, tingkat pemborosan makanan justru meningkat selama Ramadhan.

Ironisnya, di saat sebagian orang menikmati hidangan berlimpah, masih ada yang harus berpuasa bukan karena ibadah, tetapi karena ketidakmampuan membeli makanan.

Selain itu, semangat berbagi yang meningkat selama bulan suci sering kali tidak sepenuhnya didasari ketulusan. Sedekah dan bantuan sosial menjadi ajang pencitraan, terutama di era media sosial.

Kamera menangkap setiap momen kebaikan, tetapi keikhlasan sering kali menghilang di balik lensa. Islam mengajarkan bahwa tangan kanan yang memberi sebaiknya tidak diketahui oleh tangan kiri, namun kini, amalan kebaikan justru dipamerkan demi pengakuan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa spiritualitas tidak selalu beriringan dengan moralitas. Ibadah menjadi rutinitas, tetapi tidak membentuk karakter. Ritual dijalankan, tetapi esensinya terlupakan. Di masjid, doa-doa mengalir begitu indah, tetapi di luar masjid, transaksi dipenuhi ketidakjujuran.

Lalu, bagaimana agar paradoks ini tidak menjadi kebiasaan? Jawabannya adalah dengan kembali kepada Islam yang autentik—Islam yang tidak hanya berfokus pada aspek ritual, tetapi juga membangun kepribadian yang luhur. Ibadah seharusnya bukan hanya menjadi kewajiban yang dijalankan, tetapi juga jalan untuk memperbaiki diri.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan puasanya dari makan dan minum.” (HR. Bukhari).

Hadis ini dengan jelas menegaskan bahwa ibadah bukan sekadar menahan diri dari yang bersifat fisik, tetapi juga harus berdampak pada perilaku dan moral.

Kunci utama dalam menghindari paradoks beragama adalah dengan menghubungkan ibadah dengan akhlak. Shalat yang dilakukan lima kali sehari seharusnya melatih kedisiplinan dan kejujuran.

Puasa seharusnya melahirkan empati dan kesederhanaan. Membaca Al-Qur’an bukan hanya tentang melantunkan ayat, tetapi juga memahami dan mengamalkannya.

Dalam Islam, kesalehan bukan diukur dari seberapa sering seseorang beribadah, tetapi bagaimana ibadah itu tercermin dalam sikap dan perilaku.

Seorang Muslim yang sejati adalah dia yang tidak hanya taat kepada Allah dalam sujudnya, tetapi juga dalam keadilannya terhadap sesama manusia.

Pada akhirnya, Islam bukan hanya tentang apa yang dilakukan di atas sajadah, tetapi juga tentang bagaimana seseorang memperlakukan orang lain setelah ia bangkit dari sujudnya.

Islam yang indah adalah Islam yang diterjemahkan dalam kejujuran, kasih sayang, dan integritas.

Tanpa itu, ibadah hanya akan menjadi seremonial kosong yang kehilangan ruhnya, dan paradoks akan terus menjadi bayangan yang membayangi cahaya kebenaran.

-Moel’S@19032025-