PELAKITA.ID – Di tengah derasnya arus perubahan sosial, teknologi, dan kebijakan pendidikan, perguruan tinggi tidak bisa lagi hanya menjadi ruang transfer ilmu.
Ia harus hadir sebagai ruang kolaborasi, tempat tumbuhnya pemikiran kritis, dan wadah pembelajaran seumur hidup.
Dalam konteks itu, membangun ekosistem komunikasi yang sehat dan terstruktur menjadi keharusan. Bukan hanya untuk kelancaran manajemen, tetapi untuk memastikan bahwa nilai-nilai akademik dapat hidup dan tumbuh dalam keseharian kampus.
Ekosistem komunikasi mencakup seluruh proses, kanal, pelaku, dan nilai yang mengatur pertukaran informasi serta makna dalam institusi pendidikan.
Di kampus, komunikasi bukan hanya urusan antara dosen dan mahasiswa, tetapi juga melibatkan tenaga kependidikan, pimpinan, alumni, mitra eksternal seperti pemerintah dan dunia usaha, bahkan masyarakat luas.
Kanal komunikasi bisa sangat beragam—mulai dari rapat dan surat edaran hingga media sosial, podcast, atau diskusi daring yang informal. Jika semua elemen ini bekerja secara selaras, kampus bisa berkembang sebagai komunitas pengetahuan yang hidup, reflektif, dan partisipatif.
Universitas Hasanuddin (Unhas), sebagai salah satu perguruan tinggi terkemuka di Kawasan Timur Indonesia, telah menunjukkan sejumlah inisiatif dalam membangun komunikasi yang strategis dan terbuka. Namun, tantangannya tetap besar.
Dalam beberapa momen, dinamika internal yang kompleks serta keterbatasan kanal komunikasi membuat informasi menjadi bias atau bahkan tidak sampai ke sasaran.
Salah paham antara sivitas akademika, lambatnya respons terhadap aspirasi mahasiswa, atau kurangnya informasi tentang kebijakan strategis adalah contoh nyata yang menunjukkan perlunya pembenahan ekosistem komunikasi.
Komunikasi yang sehat sangat penting untuk mencegah distorsi informasi dan disinformasi. Tanpa kanal yang jelas dan terbuka, kabar burung atau spekulasi sering kali mendahului fakta.
Dalam situasi seperti ini, kredibilitas institusi bisa terancam hanya karena miskomunikasi.
Perguruan tinggi memerlukan sistem komunikasi yang bisa merespons cepat, tepat, dan empatik—bukan sekadar informatif, tetapi juga membangun kepercayaan.
Selain itu, komunikasi yang kuat menjadi kunci dalam mendukung transformasi akademik.
Unhas, misalnya, tengah menjalani berbagai inisiatif transformasi melalui digitalisasi layanan, penguatan riset interdisipliner, serta pengembangan kolaborasi global.
Semua langkah ini memerlukan pemahaman bersama dan keterlibatan aktif dari berbagai pihak.
Tanpa komunikasi yang menjembatani lintas kepentingan dan perspektif, transformasi bisa terhambat oleh resistensi, kesalahpahaman, atau bahkan apatisme.
Di sisi lain, kampus juga perlu menjadi ruang yang inklusif. Mahasiswa datang dari latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan psikologis yang berbeda.
Komunikasi yang terbuka dan suportif menjadi jembatan untuk menciptakan rasa memiliki dan kenyamanan di lingkungan kampus.
Ketika mahasiswa merasa didengar, dosen merasa dihargai, dan staf merasa dilibatkan, maka tumbuhlah budaya akademik yang sehat dan berdaya.
Penting pula bagi perguruan tinggi untuk menjaga dan merawat citra serta identitas institusinya. Dalam era digital, narasi tentang kampus tidak hanya dibangun oleh pimpinan atau dokumen resmi, tetapi juga oleh unggahan mahasiswa, cerita alumni, dan interaksi kampus di ruang publik.
Unhas, sebagai contoh, memiliki kekayaan sejarah dan kontribusi nyata dalam pembangunan daerah. Namun, tanpa strategi komunikasi yang konsisten dan adaptif, cerita-cerita ini bisa tenggelam di tengah gempuran informasi global yang bergerak cepat.
Kampus yang mampu berkomunikasi secara efektif juga akan lebih mudah membangun dan memperkuat jejaring kolaborasi.
Unhas yang memiliki alumni tersebar di berbagai sektor dan daerah, perlu memastikan bahwa saluran komunikasi dengan mereka tetap terjaga.
Ini bukan hanya soal menjaga hubungan emosional, tetapi membuka peluang nyata untuk sinergi dalam riset, program pengabdian, dan peningkatan mutu lulusan.
Membangun ekosistem komunikasi tentu tidak bisa dilakukan dalam semalam. Ia menuntut peta jalan yang jelas, mulai dari kebijakan komunikasi institusional, peningkatan literasi komunikasi sivitas akademika, pengembangan platform internal yang interaktif, hingga mekanisme dialog yang partisipatif.
Unhas dapat mengambil langkah-langkah konkret seperti membentuk unit komunikasi strategis lintas fakultas, mendorong keterbukaan pimpinan melalui forum daring, dan menghadirkan ruang dialog antar generasi yang saling mendengarkan.
Lebih dari sekadar alat bantu, komunikasi adalah jantung dari kehidupan akademik. Tanpa komunikasi yang sehat, kampus bisa menjadi menara gading yang sunyi—penuh ilmu tapi miskin interaksi.
Sebaliknya, dengan ekosistem komunikasi yang hidup, perguruan tinggi dapat menjadi medan dialog lintas generasi, ruang bertemunya ide-ide besar, dan tempat tumbuhnya kolaborasi yang memberi makna bagi masa depan.
Iya ya, betul juga.