Kolom Rusdin Tompo: Dr H Syahriar Tato dan Komunitas Makkareso – Makassar Creative Society

  • Whatsapp
Penulis (ujung kanan) bersama Dr Syahriar Tato dan kolega (dok: Istomewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Rusdin Tompo, Koordinator Satupena Sulawesi Selatan membagikan tulisannya terkait sosok Dr H Syahriar Tato. Mari simak.

***

Setelah melihat-lihat koleksi buku penyair M Anis Kaba di rumahnya, di Jalan Kelinci No 6 Bonto Lebang, Kecamatan Mamajang, saya, Rahmat Soni Daeng Romo, dan tuan rumah ngobrol ringan.

Read More

Saat itu, awal Juli 2016, masih dalam suasana Idulfitri, saya diajak Romo ke rumah pria yang selalu bertopi fedora itu. Saya memang sudah lama tertarik dengan ribuan koleksi bukunya yang terawat baik.

Sambil ditemani kopi hangat, saya bercerita tentang Komunitas Utan Kayu di Jakarta, yang pernah saya kunjungi saat mengikuti pelatihan jurnalisme radio, tahun 1998.

Di komunitas, yang antara lain dimotori oleh Goenawan Mohammad, seorang penyair dan tokoh pers nasional ini, terdapat galeri, teater, toko buku, dan Radio KBR 68H.

Di sini juga ada kantor Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Saya terobsesi dengan tempat atau komunitas seperti itu. Begitulah yang saya kemukakan kepada kedua teman diskusi saya hari itu.

Romo menyampakan, bahwa dia akan mencoba meneruskan ide ini kepada Bapak Syahriar Tato. Menurut Romo, siapa tahu beliau tertarik. Karena rumahnya besar dan cocok untuk aktivitas komunutas.

Rumah di Jalan Bau Mangga itu memang terbilang besar. Bayangkan, saking luasnya, rumahnya terhubung dari Bau Mangga II hingga Bau Mangga III.

Rumah itu juga pernah bakal jadi kampus Institut Kesenian Makassar (IKM), ketika Syahriar Tato sebagai Rektor IKM.

Dr Syahriar Tato, sebagaimana nama yang tertera pada judul tulisan ini, merupakan seorang pembelajar.

Dari deretan gelar akademik yang disandang lelaki kelahiran Pinrang, 21 Februari 1951 itu, tampak bahwa beliau sangat menikmati dunia pendidikan.

Nama lengkap penerima ASEAN Executive Award 2005 ini adalah Dr Ir Drs H Syahriar Tato, SH, SAB, S.Sn, MS, MH, MM, M.Ikom, IPM.

Syahriar Tato punya aktivitas seabrek. Dia seorang birokrat, pernah menjabat sebagai Plt Kadis Tata Ruang dan Permukiman (Tarkim) Provinsi Sulawesi Selatan, aktor peran dalam sejumlah film, di antaranya film “Silariang: Keabadian Cinta”, pemain sinetron, yang bisa dilihat dalam “Tukang Bubur Naik Haji”, dan pemain teater. Ketua Umum Persatuan Artis Film (PARFI) Sulawesi Selatan ini juga punya predikat sebagai penyair, dan akademisi yang sudah menerbitkan sejumlah buku.

Romo kemudian menyampaikan rencana pendirian sebuah komunitas, termasuk tempat untuk kegiatan komunitas itu kepada Bapak Syahriar Tato.

Di kediaman Dr Syahriar Tator bersama pilar Makkareso (dok: Istimewa)

Malam harinya, Romo mengontak saya. Dia katakan, Pak Syahriar bersedia, tapi rumahnya itu ditawarkan untuk disewa. Romo menyebut angkanya. Saya bilang, kalau disewa tidak bisa karena tidak ada duitnya.

Pagi harinya, Romo kembali menghubungi saya. Dikatakan, Pak Syahriar mau bertemu.

Kami lalu bikin janji akan bertemu pagi itu juga pukul 10 di Kafe Baca Jalan Adyaksa No 2.

Saat bertemu, Pak Syahriar menyampaikan bahwa di rumahnya tengah dirintis perpustakaan Juragan Jacky, mengambil nama tokoh yang dia perankan di salah satu program acara Celebes TV.

Kami lalu mendiskusikan rencana komunitas, konsep dan kegiatan serta namanya.

Saya mengutak-atik nama komunitas itu. Disepakati, namanya Makkareso, atau Makassar Creative Society. Meski kurang pas dengan akronimnya, tapi kata makkareso, yang dalam bahasa Bugis, berarti kerja keras itu, dirasa cocok. Enak disebutkan, dan punya makna dalam akar budaya kita.

Tak cukup satu jam kami di situ, konsep dan nama komunitas Makkareso berhasil dirumuskan di atas selembar kertas, sambil menikmati kopi susu buatan Rusdy Embas, pengelola Kafe Baca.

Pak Syahriar hari itu juga mengajak kami ke rumahnya, yang hanya berseberangan jalan dengan Kafe Baca.

Begitu tiba di rumahnya, Pak Syahriar mengajak kami masuk dari satu ruangan ke ruangan lain. Foto-foto dirinya dengan artis ternama dipajang dalam ukuran besar. Ada Luna Maya, Mathias Muchus dan lain-lain, termasuk foto-fotonya di luar negeri.

Ada rak-rak buku dengan koleksi buku dalam beragam genre.

Ada pula partisi bekas kegiatan festival cerita rakyat yang jadi semacam dekorasi ruangan, tapi informatif. Di lantai bawah ini, ada fasilitas 2 kamar mandi yang masing-masing dilengkapi bathtub.

Setelah melihat-lihat, kami gerak cepat membenahi segala hal yang diperlukan. Saya meminta tolong Nasrul, mendesain logo Makkareso, dan membuat spanduk besar yang akan di pasang di depan sebagai papan bicara.

Ruangan juga dicat dan ditambahkan instalasi listrik untuk keperluan colokan para pengunjung nantinya. Pak Syahriar memesan meja kursi untuk kafe.

Dr Syahriar Tato selalu antusias mendukung kerja-kerja seni dan kebudayaan (dok: Istimewa)

Saya membawa satu set meja dari rumah, juga perlengakapan dapur untuk kafe. Beruntung selama membenahi ruangan, tersedia Coca-Cola, kacang, dan kue kering, stok lebarannya tuan rumah hehehe.

Dalam konsep yang kami buat, komunitas ini memang juga akan mengelola kafe. Modal awalnya diberikan oleh Pak Syahriar, pengelolanya Romo.

Ada pula rencana perpustakaan dan taman baca, kegiatan diskusi (buku, film, media, fesyen, teater, dll), ada learning center untuk anak-anak. Kelas Kursus/workshop (public speaking, mode, menyanyi, film/teater, pertelevisian/radio, menulis kreatif). Ada ruang pertunjukkan (pentas musik, pemutaran film pendek/indi, dll), ruangan pameran, tempat penjualan kerajinan/produk kreatif, penerbitan.

Konsep kafe yang punya fasilitas hotspot/Wifi ini, meubelernya dari barang bekas (bekas peti, kaleng cat dan drum minyak), interior berisi lukisan teman-teman para pelukis, cover buku penulis/penerbit lokal, poster film yang menampilkan artis daerah Sulawesi Selatan, kerajinan tradisional, dan kata-kata bijak pappasang/paseng.

Menu yang disediakan merupakan penganan tradisional Bugis/Makassar. Juga ada tanaman hijau untuk mendukung program gerakan Makassar Ta’ Tidak Rantasa (MTR). Dibuat pula rencana launching Makkareso, yakni tanggal 23 Juli 2016.

Itulah konsep awalnya. Tidak semua rencana di Makkareso itu terlaksana.

Namun dari situ saya terhubung dengan banyak teman baru: perupa, pemain teater, sastrawan, dan pekerja seni lainnya.

Dari sedikit kegiatan Makkareso yang terlaksana, saya menganggap penting untuk berbagi cerita ini. Karena ini juga bagian dari remah-remah sejarah aktivitas sastra dan mungkin juga kesenian di Sulawesi Selatan.

Makkareso itu komunitas dengan hanya beberapa orang. Dr Syahriar Tato, Saya, Romo, Nasrul, Maysir Yulanwar, Idwar Anwar, M Amir Jaya, Abdul Hakim Hazbul, dan Daeng Mangeppe. Menyusul nanti ada Yudhistira Sukatanya dan Anil Hukma yang diajak berkolaborasi untuk beberapa kegiatan.

Cara kami memperkenalkan komunitas ini unik dan terbilang sederhana. Kalau menjelang sore, Romo akan menawarkan kopi susu untuk gelas kedua.

Dia juga sudah mempersiapkan gorengan. Kadang Edo (Idwar Anwar) membeli jalangkote untuk dimakan bersama. Mulailah teman-teman membaca puisi, lalu diposting di akun Facebook Makkareso dan akun medsos masing-masing.

Kegiatan ini menarik perhatian beberapa orang, termasuk Sri Rahmi, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.

Penulis bersama pilar Makkareso (dok: Istimewa)

Dari kegiatan ini, kami bisa membangun jejaring dan membuat kegiatan kerjasama.

Pada tanggal 26 September 2016, kami mengadakan bedah buku “La Galigo” karya Idwar Anwar di Graha Pena. Kegiatan ini mendapat dukungan dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Sulawesi Selatan.

Kami juga memperingati ‘1 Tahun Kepergian Rahman Arge” dengan mengadakan lomba baca puisi, esai, dan sketsa, pada tanggal 1 Oktober 2016. Juga ada bedah bukunya M Amir Jaya yang mendapat dukungan dari Balai Senator. Dr H Ajiep Padindang, anggota DPD RI, bahkan dua kali datang menghadiri acara bedah buku di Makkareso.

Memperingati HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2016, kami membuat acara “Sajak-Sajak Merdeka” berupa pembacaan puisi bertema nasionalisme.

Kami juga mengadakan “Jappa-Jokka Makkareso” di kampus STKIP YAPTI, Jeneponto. Di bawah rimbun rumpun bambu, kami berdiskusi dengan mahasiswa sembari membaca puisi. Berawal dari Makkareso-lah kami kemudian mengelola program acara “Pappasangta” di RRI Pro4 Makassar.

Memperingati setahun Makkareso, pada Hari Raya Idulfitri, bulan Juni 2017, saya mengajak teman-teman ke rumah mencicipi coto Makassar dan soto di rumah, Kompleks Anggrek, Minasa Upa.

Beberapa teman yang biasa hadir membaca puisi di RRI Pro4 juga diundang.

Sekali lagi, perlu saya sampaikan, dari kegiatan di komunitas Makkareso itu, saya mulai diajak dalam kegiatan-kegiatan kesenian. Berkat aktivitas sastra di Makkareso itu pula nama saya bisa masuk dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia 2017”. (*)

 

Makassar, 18 Maret 2024

Related posts