Obrolan Bilik Sebelah #14: Ujung telunjuk pada banjir Metro Mamminasata

  • Whatsapp
Ilustrasi banjir di Metro Mamminasata (dok: istimewa)

DPRD Makassar

“Barter kebijakan melalui eksploitasi sumber daya alam di Indonesia bukan barang langka. Apalagi jelang Pemilu dan Pemilukada.”

Nurdin Amir 

Read More

PELAKITA.ID – Obrolan Bilik Sebelah seri ke #14 terkait banjir sungguh panjang. Admin terhuyung-huyung mengumpulkan remah jejak penggeledahan alumni Unhas terkait mengapa banjir di semetro Mamminasata, siapa terdampak, bertanggung jawab dan apa mesti dilakukan.

Meski demikian, telah ditelusuri pendapat informatif, juga tajam, kritis, dan menukik. Ada pula yang  hangat ‘suam-suam kuku’ dan juga menawarkan solusi. Tidak semua dipungut tetapi tentu sangat berarti bagi anggota grup dan untuk siapa pendapat itu diutarakan.

Begitulah sosodara.

Nasrul, alumni Unhas yang saat ini berdomisili di Sinjai tak luput mengikuti timeline banjir di Makassar dan sekitarnya, kita sebut saja kawasan Metro Mamminasata.

“Apakah ini nasi sudah menjadi bubur? Atau menjadi Bassang? Bagaimana solusi dan antisipasi ke depan?” tanyanya.

Abbas Hadi menanggapi. “Kalau saya wali kota, saat-saat seperti inilah saya akan selalu muncul di tengah rakyat saya agar rakyat saya leluasa ‘mengkata-katai’ saya.” Maksud dia inilah kesempatan yang pas untuk melihat pada isu apa, pada masalah apa warga tersangkut-paut dan perlu solusi.

Untuk melihat asal-muasal persoalan banjir yang mengurung Makassar, Sungguminasa, Takalar, Maros, Syamsir Anchi menuliskan: kebutuhan lahan pertanian kalah dengan lahan perumahan sehingga yang terjadi adalah pembangunan perumahan ketimbang perlindungan kawasan resapan air atau apa yang disebut ‘watershed’.  

Marwan Hussein bilang, pembangunan perumahan atau peruntukan apapun dalam kawasan urban harus mempunyai kajian.

“Ya mesti survei dan kajian dulu sebelum perumusan strateginya,” sebutnya.  Dia menyebut contoh di luar Kota Makassar seperti di Kawasan Manggarupi di Gowa:

“Kawasan sekitar Bukit Manggarupi adalah wilayah banjir yang paling cepat karena dikepung perumahan yang amat cepat pertumbuhannya,” sebutnya.

Hal serupa juga menjadi ancaman bagi kota-kota lain seperti Watampone, Sungguminasa hingga Galesong di Takalar.

“Ini hambatan pengembangan Kota Watampone, Sungguminasa dan Galesong karena akan berhadapan dengan lahan berpengairan teknis yang produktif,” ucapnya.

Peringatan dini dan eskalasi banjir

Informasi tentang hujan yang lebat dan potensi bencana sudah dikabarkan Badan Meteorologi dan Geofisika sekira dua hari sebelumnya.

“Hujan lebat hingga sore hari akan bertemu dengan pasang tertinggi hari ini menyebabkan kemungkinan terjadinya genangan dan banjir, semua SKPD segera mempersiapkan diri,” tulis Ema Husain sesuai peringatan Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto.

Gambar yang dikirimkan Ema Husain

Masih pagi di tanggal 13 Februari 2023 itu, apa yang disampaikan Ema itu langsung dibayar kontan oleh sastrawan summa lawyer, Ilham Hanafie.

“Rumah saya di Jalan Kapten Tendean, Ujungpandang Baru, sudah 40 tahun belum pernah kebanjiran. Baru pagi ini air sampai masuk ke rumah dan semua kamar tidur, setinggi 15 centimieter, kondisi sekarang. Ada apa ya?,” tanyanya.

Banjri di Tendean dibalas Marwan Hussien dengan mengirimkan video Losari yang bergolak.  Pantai dikurung luapan air, Losari penuh air.

Meski demikian, dia juga mengucap syukur. “Alhamdulillah, aliran air di jalan depan rumah masih deras ke arah Kanal Sinrijala. Kanal Pa’baeng baeng, ampun mi kesian. Sinrijala masih berfungsi baik ke kanal Pampang-Sungai Tallo,” tulisnya.

Kandayya, Syamsul ‘Ancu’ Bahri anggota grup lainnya menimpai. “Permukaan air laut sudah mulai naik, ini banjir di Jalan Maipa. Rumah saya sudah juga kemasukan air, bro,” sambutnya.

Terkait informasi Marwan dan Kak Ancu itu, admin mengecek WAG Keluarga Kakatua II dan Kanal. “Masukmi air di rumahnya mama di Kakatua Kanal.”

Telunjuk alumni

Aslan Abidin, budayawan alumni Fakultas Sastra Unhas yang kini mengabdi pendidikan di UNM memberikan pandangannya atas musibah banjir Makassar dan sekitarnya itu.

“Periksa diri. Apakah diri sebagai pejabat memang serius mau mencegah dan mengatasi banjir yang sudah terbukti terjadi di setiap musim hujan,” tulisnya.

Menurutnya,  bukan hanya sebar instruksi saat sudah banjir atau mendatangi korban banjir mengenakan sepatu bot dan payung memberi bantuan makanan instan.

Dia menyampaikan itu dengan menyebut pula isu lain tentang pantai tempat air ketika pasang yang terus-menerus ditimbun dan disebut reklamasi. “Menggadaikan nasib tidak kebanjiran dan merusak laut dengan kamuflase masjid puluhan kubah mini,” tulisnya.

Bagi dia, bencana banjir menyengsarakan rakyat, tak bisa dijadikan bancakan pencitraan untuk memanipulasi simpati dan suara masyarakat dalam pemilu untuk merebut kekuasaan politik berikutnya.

Pandangan Aslan itu disambut Ostaf dengan penilaian adanya pengrusakan sistematis kota.

“Dengan kubah-kubah yang sepenuhnya bukanlah penanda sebuah kota dipenuhi orang-orang bertakwa. Laut sudah dirusak, hingga kemudian mereka mulai sibuk mengepulkan doa agar selamat dari bencana tahunan. Perilaku macam apa itu?” tanyanya.

Obrolan berlanjut pada gejala dan peristiwa banjir hebat yang melanda Metro Makassar atau Mamminasata itu. Disebut demikian sebab kawasan seperti Takalar, Maros, Gowa setali tiga uang dengan Makassar meski Makassar paling hebat.

Sarat kepentingan

Terkait program pembangunan, implikasi sosial dan lingkungan, Anwar Ilyas, anggota grup melihatnya dari sisi keberlanjutan kepemimpinan. Dia menyebut pemangku kepempimpinan di Makassar yang mungkin tidak punya interest atau tidak berkesinambungn.

“Sebab juga mungkin tidak tersedia infrasturuktur yang memadai dan mengikat untuk keberlangsungan fokus atau tujuan untuk kemana Makassar yang seharusnya?” tanyanya.

Kamaruddin Azis, menanggapi ini poin menarik dan menebalkan pernyataan: “Keberlangsungan leader, kebijakan, tentang prioritas. Ini challenges kita. Dokumen perencanaan belum bisa jadi panduan,” sebutnya.

Tentang kebijakan dan fakta banjir yang mendera ini, Nurdin Amir tak kalah sengit.

“Reklamasi dibangun untuk kepentingan elit dan pemodal, tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan orang lain. Sebelum CPI dibangun, menggusur. Siapa yang nikmati. ya pemodal, bukan anak bangsa kita,” sebutnya.

Dia menegaskan, dampak terhadap reklamasi saat ini sangat besar. Bagaimana tambang pasir laut di wilayah Takalar sangat berdampak pada pemukiman warga di pesisir, abrasi dan rumah hancur. “Ruang tangkap nelayan rusak.. Siapa yang nikmati reklamasi?” tanyanya.

Terkait itu, admin menyebut pengalaman di Singapura dimana ada penggeseran nelayan ke ruang hidup, dibuatkan apartemen, rusun, tidak sekadar pindah. Ada fasilitasi yang efektif.

Meski demikian, tantangan untuk konteks Makassar adalah bagaimana mungkin nelayan di pulau-pulau mau dibawa ke apartemen dan rusun.

“Kehidupannya di laut dan di pesisir. Ini harus dijaga, bukan disingkirkan seperti saat sekarang ini. Itu ruang hidup. Sama seperti petani, jika sumber air mereka dirusak untuk pentingan investasi atau tambang sama halnya merusak hidup mereka,” tanggap Nurdin.

Dia menilai cerita perbaikan lingkungan oleh pemerintah hanya omong kosong. “Alasan perbaikan kesejahteraan masyarakat kemudian eskploitasi sumber daya alam dan selalu menafikan masalah lingkungan,” sebutnya.

Banjir dan macet di Kota Makassar (dok: istimewa)

“Barter kebijakan melalui ekploitasu sumber daya alam di Indonesia bukan barang langka. Apalagi jelang Pemilu dan Pemilukada,” tulisnya.

Beberapa penyebab

Pandangan ‘teduh’ datang dari Syamsir Anchi. “Hari ini maaf, temanya adalah “hukum air”, berarti juga hukum alam, selalu mencari tempat terendah, lalu tertinggi. Banjir atau genangan atau ‘bonang’ bahasa Makassarnya sudah menjadi hukum alam,” jelasnya.

“Bahwa air tak salah memilih jalannya, hanya kita terkadang kurang menyadari bahwa air adalah sumber kehidupan sejak dari bayi hingga kini, overload air adalah proses pembacaan agar kita bijak mencermati persoalan air.

“Karena sesama warga komplek kadang bersitegang karena air atau warga komplek yang satu dengan komplek lainnya karena kiriman air. Pembicaraan ini menyiratkan kita harus fokus bicara darat dulu baru maritim,” ungkapnya seraya memberi emoticon ngakak.

 Dia bilang demikian sebab obrolan mengenai budaya maritim tuk kunjung usai, kita lebih tertaring – setidaknya – untuk saat ini bahwa banjir seungguhnya berkorelasi dengan hasrtat membangun yang terus menerus digeber.

Nah, sosodara, menurut Nasrul, persoalan banjir tidak bisa dipisahkan dari ketersediaan kawasan peresap air atau watershed itu.  “Resapan air juga banyak yang berkurang akibat laju pembangunan,” sebutnya.

Marwan lantas menjawab lagi dengan menyebut bagaimana kota seperti Sunggguminasa berdenyut dalam kondisi nyaris pengelolaan atau penataan drainase.

Apa yang dikatakan Marwan itu bisa diuji dengan melihat perempatan Jalan Malino – Poros Takalar yang terdapat genangan air tanpa solusi persis dibelokan ke arah Malino. “Jangan lupa, Kota Sungguminasa dibangun oleh warganya yang nyaris tanpa drainase, bahkan di jalan porosnya,” tulisnya. Jalan itu jalan negara.

“Yang aneh di kawasan Manggarupi ada drainase yang mengikuti ketinggian jalan, sehingga air tidak tersambung, mundur lagi arahnya!” seru Ostaf.

Ilham pun menyimpulkan, daerah tangkapan air Makassar dengan pembangunan kompleks perumahan yang oleh Marwan Hussein diurai sebagai turbulensi bertemunya titik jenuh porositas ruang terbuka hijau pada bentang alam wilayah Mamminasata.

“Kedua, karena kegagalan sistem drainase eksisting wilayah Mamminasata, ketiga karena air laut pasang tertinggi di Selat Makassar kala musim barat serta suburnya budi daya beton di Makassar,” sebutnya.

Obrolan sampai pada analogi Firaun yang disebut menggambarkan korelasi penasehat, perencana, dan masuknya pengusaha. “Apakah kolaborasi model Fir’aun, Haman, dan Qarun juga terjadi di masa kini?”

Muara obrolan dan rekomendasi

Pendapat mengemuka pada kenyataan bahwa reklamasi sudah berjalan atau telah nampak eksesnya. “Ada baiknya Pemrov dan Pemkot duduk satu meja untk membicarakan, karena di situ ada komitmen investor untuk jatah kalangan pemerintah daerah,” tulis Ilham, S.S, M.Si.

Pendek cerita, Ilham menuliskan, wajah pesisir Makassar ini membentang dari perbatasan Maros dan Takalar, setidaknya ada konsep atau planning yang sudah tersaji baik d dokumen perencanaan Pemkot.

“Alangkah elok kalau ahli tata kota di grup ini mennyajikan,” harap Ilham, alumni Sastra Unhas ini.

Saat berita OBS ini ditulis, Laode M Syarief tertangkap layar admin memberi komentar terkait kewenangan daerah, kanal dalam kota.  Poinnya tetap sama seperti diberitakan di Twitter dan media online. “Selokan dalam kota tanggung jawab Pemkot.”

“Momentumnya sekarang membicarakan masukan warga terkait planning, karena baik Pemkot maupun Provinsi sementara membahas agenda perencanaan tahunan. Ada partisipasi warga atau stakeholders yang diamanahkan dalam aturan mengenai perencanaan,” urainya.

“Save daerah serapan!” tegas Ilham.  Tentang perencanaan dan arahnya ini, Ostaf menyebut ‘ada kampus-kampus seberang’ yang ikut mengakuisisi peran alumni Unhas.

Obrolan menjadi menarik sebab akademisi Unhas yang juga ada di grup M Iksan ikut bicara.

“Karena air melintas tidak mengenal batas administrasi, maka bencana banjir diselesaikan secara integratif dan komprehensif. tentunya BBWS Pompengan menjadi leading sector dari integrasi ini,” sebutnya.

“Tata kelola air harus diatur dengan keterpaduan, agar supaya ketika musim.hujan kita bisa menyimpan air untuk kepentingan pada musim kemarau. Pendekatan water sensitive cities, pada wilayah-wilayah yang krisis air pada musim hujan dan kemarau,” ungkapnya.

Dia juga menilai, curah hujan yang terjadi di Makassar bisa diselesaikan dengan sistem drainase eksisting saat ini.

“Tapi curah hujan di daerah lain yang berbatasan dengan Kota Makassar atau wilayah yang dilintasi Sungai Jeneberang harus juga diperhitungkan ketika masuk ke Makassar ditambah dengan volume air gelombang pasang,” tambahnya.

Menurut Iksan, inilah yang patut diperhitungkan ketika terjadi curah hujan serempak plus pasang.

“Makassar tidak memiliki kemampuan anggaran yang cukup untuk integrasi ini. Makassar adalah muara Jeneberang dan Tallo.  Makassar juga berbatasan dengan bentang alam pesisir. Jadi dukungan semua pihak untuk menyelesaikan permasalahan banjir lintas sektor dan lintas level pemerintahan,” tandasnya.

Apa yang disampaikan Iksan itu ditanggapi Nurdin Amir.

“Air juga ada kaitannya dengan hulu yang sudah rusak. Ini penting dipikirkan soal penanggulangannya juga. Mitigasi bencana bukan hanya soal kesiapan dalam menangani jika terjadi bencana,” sebutnya.

“Tapi juga soal penanganan hulu yang sudah krisis. Baik hulu wilayah Kabupaten Gowa maupun Maros kalau kita bicara Mamminasata. Tentu sama halnya dengan yang terjadi di daerah lain di Sulsel,” jelas Nurdin.

Marwan Hussein berharap Pemprov menggalang Pemkot dan Pemda hinterland kawasan Mamminasata untuk menggagas strategi penanggulangan banjir kawasan mamminasata bersama balai air Jeneberang untuk diajukan ke Kementerian.

“Agar pihak balai tidak lagi beralasan ketiadaan anggaran untuk melaksanakan aksi aksi preventif banjir. Masa’ setiap tahun warga Mamminasata harus menderita kerugian akibat banjir. Inflasi laten dong?” tanyanya.

Sosodara, pembaca sekalian, setelah tunjuk menunjuk pemicu atau sumbu persoalan banjir di Metro Mamminasata, panel Admin menuliskan beberapa rekomendasi.

Pertama, hebatnya banjir Makassar karena curah hujan tinggi, merupakan bagian dari dampak perubahan iklim global dan dipengaruhi juga oleh kebijakan pengelolaan kawasan hutan, tanah, air di kawasan Metro Mamminasata – Makassar, Sungguminasa, Maros dan Takalar.

Kedua, hebatnya banjir pada beberapa titik kota Makassar yang tidak lazim tidak bisa dipisahkan dengan gairah membangun, atau laju pembangunan perumahan dan kapasitas para pihak menangani tata kelola drainase.

Ketiga, jika banjir hebat terjadi, maka pasti ada faktor pengungkit dan daya dukung kapasitas sistem yang ada. Makassar, Gowa dan Maros punya waduh Nipa-nipa, waduk yang disebut hanya menampung 20 sampai 30 persen limpahan daerah di sekitanya ini tentu sangat rentan jika hujan terus menerus.  Perlu memperluas daerah resapan, atau memperbanyak waduh seperti Balang Tonjong dan Nipanipa berikutnya.

Keempat, Pemprov, Pemkot dan segenap pihak segara buat langkah dengan memberi bantuan untuk korban terdampak banjir, segera konsolidasi dan mengecek simpul masalah.

Kelima, segala data informasi, rekam jejak, agenda, program terkait pembangunan di Metro Mamminasata perlu segera direviu.

Keenam, seperti saran M Zukficar Mochtar, maka perlu membangun Early Warning System (EWS) yang melibatkan publik di Metro Mamminasata, sehingga jauh sebelum banjir atau bencana, sudah ada mekanisme untuk siap-siap, evaluasi, distribusi bantuan, antisipasi sekolah, rumkit, dan lain-lain.

Gaes, pendek obrolan, mari segera konsolidasi dan koordinasi pengeolaan ruang Metro Mamminasata. Jika tidak, maka banjir Metro Mamminasata bisa menggangu kelancaran proyek-proyek strategis nasional di Sulawesi Selatan, Makassar New Port hingga Kereta Api Sulawesi.

 

Editor: K. Azis

 

Related posts