OBROLAN BILIK SEBELAH: ASLAN ABIDIN, teledor pada transformasi Sastra ke FIB

  • Whatsapp

DPRD Makassar

Bagaimana bisa mata pelajaran yang tidak mengajarkan ketakwaan kepada Tuhan malah capaian akhirnya adalah bertakwa kepada Tuhan?”

Aslan Abidin, alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Unhas

Read More

 

PELAKITA.ID – Sosok Aslan Abidin sebagai salah satu pilar Komunitas Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) berbagi pandangan terkait alas dan transformasi ‘Fakultas Sastra ke Ilmu Budaya’ Unhas.

Di grup WA Kolaborasi Alumi Unhas, jebolan Fakultas Sastra Unhas angkatan 91 yang juga dosen di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar ikut memberikan pandangannya.

Perihal, transformasi sastra dan ilmu budaya, dimana eksistensi FIB sebagaimana eksis saat ini di Kampus Unhas, menutut Aslan, tidak bisa dipisahkan dari beberapa anak cabang historis dan pemindaian makna berdimensi jangka panjang. Tak sekadar teks-teks tetapi konteks dalam pemaknaan luas.

Obrolan mengenai ‘sebelum dan setelah FIB Unhas’ saat ini bermula saat ada ekspektasi dari Harun Ar Rasyid, ketua harian IKA Unhas Wilayah Sulawesi Selatan tentang kerinduannya akan semakin banyaknya alumni FIB Unhas yang tampil melalui karya-karya seni, terutama sinematografi, atau minimal content creator.

 Lihat di sini hasil perbincangannya.

Nah, setelah postingan itu, Aslan Abidin memberikan tanggapannya untuk mulai dengan membaca masalah sederhana.

“Setelah Pak Mattulada, Ishak Ngeljaratan, Stanislaus Sandarupa, Sumarwati Kramadibrata Poli, Alwy Rachman pensiun, siapa yang dipersiapkan, direkrut dan disekolahkan untuk menggantikan mereka?” tanyanya.

Aslan bertanya. “Adakah upaya dari Unhas, setidaknya untuk mempertahankan kualitas intelektual setara atau lebih baik dari mereka?”

Dia menanyakan itu sekaitan dengan pembacaannya bahwa ada gejala dimana perguruan tinggi di Makassar seperti tidak mau memahami dan enggan masuk ke tuntan seperti itu .

“Universitas bukannya memperbanyak kegiatan ilmiah tetapi malah seperti yang trend belakangan. Lebih banyak menghadirkan pesan-pesan gaib, menghadirkan figur kondang medsos tanpa melibatkan sensor logis kita,” ucapnya.

Aslan menilai, secara umum, bangsa kita dominan tidak berpikir rasional.

“Sekolah sampai perguruan tinggi negeri tetapi kita tidak fokus membentuk peserta didik berpikir rasional sehingga berkarakter intelek. Bangsa kita lebih dominan berpikir gaib. Itu yang mesti serius diatasi,” ucapnya.

Dia menyebut, ada banyak penelitian yang dapat ditelusuri menunjukkan masalah ini. “Mulai dari PISA, rendahnya literasi, science dan matematika disebabkan bangsa kita terlalu banyak belajar agama dibanding belajar perihal rasional,” jelasnya.

PISA yang dimaksud adalah Penilai Sistem Pendidikan Anak sekolah dunia.

“Peringkat Indonesia dan negara-negara mayoritas Islam dengan fasilitas pendidikan bagus dan gratis berada di peringkat  rendah di dunia, seperti Qatar, Kuwait, Arab Saudi,” ujarnya.   “Kalau tak salah ingat, kita urutan 74. Di bawahnya Qatar, Kuwait, Arab Saudi.”

Terkait itu Ilham Hanafie, aktivis sastra Tamalanrea bertahun lalu menanggapi dengan realitas kesenian jauh sebelumnya.

“Dulu, saat masih marak pertujunjukan drama teater di TVRI, pernah ada dialog, di mana di dalamnya ada istilah budaya sogok-menyogok, budaya mencuri, budaya korupsi. Si bijak lantas meneriaki lawan bicaranya, budaya itu harus yang baik-baik,” ucapnya.

“Korupsi, sogok-menyogok dan lain sebagainya itu bukanlah budaya. Budaya itu positif,” ujarnya.

Lalu obrolan mengalir.

Tentang Ilmu Budaya

 Bagi Aslan, untuk memahami apa itu Ilmu Budaya, mengapa begitu banyak peristiwa sosial yang menggelikan, serta akan dibawa ke mana pesertanya didik, maka latar belakang ilmu budaya di dalamnya dapat dilihat dari teori kritisnya Mazhab Frankfurt.

“Tentang sebuah pengetahuan yang saking emansipatorisnya sampai bahkan mengkritik efek negatif ilmu pengetahuan,” tuturnya.

“Universitas dengan Fakultas Ilmu Budaya kemudian mengubah kurikulumnya berisi mata kuliah pascastrutural seperti dekonstruksi, pluralisme, feminisme, hegemoni, pascakolonial, pascamodern, dan sejenisnya,” urainya.

Dia menyebut itulah realitas universitas yang berubah tanpa konsep kuliah pascastructural atau dapat dapat dikatakan ikut-ikutan.

“Perihal ilmu budaya, ini adalah istilah sastra dari bahasa Sansekerta awalnya bermakna ‘ilmu budaya’. Tapi kata ‘sastra’ kemudian tereduksi seolah terkhusus ke karya sastra,” jelasnya.

Bersamaan dengan itu, lanjut Aslan, muncul istilah baru dari ilmu-ilmu kritis yang lebih emansipatoris dari Inggris seperti cultural theory dan cultural studies.

“Setelah UGM dan UI mengubah Fakultas Sastra menjadi Fakuktas Ilmu Budaya, banyak Fakultas Sastra juga ikutan. Sayangnya banyak juga yang berubah tanpa paham bahwa ilmu budaya atau cultural studies,” tegasnya.

“Bukan berarti belajar mengenai kebudayaan dalam artian etnosentris atau memuji-muji tradisi budaya lama. Tetapi belajar teori-teori kritis pascastruktural,” imbuhnya.

Antara fasilitas dan SDM

Bagi Aslan, jika menukik pada harapan Harun Ar Rasyid itu, tentang produktivitas kesenian, atau produk kebudayaan yang relevan dengan kebutuhan warga, sebenarnya Unhas secara fasilitas sudah sangat bagus.

“Saya kira masalahnya tinggal pada sumber daya manusianya. Misalnya, tidak mempersiapkan sumber daya manusia menghadapi perubahan,” ujarnya. Dia menyebut itu teledor.

“Seperti mengubah Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya tanpa mengirim dosen muda untuk belajar mengenai ilmu-ilmu baru tersebut. Sehingga perkembangannya sangat lamban,” ucapnya.

“Sampai sekarang Cultural Theory belum diajarkan dengan baik di FIB Unhas, meski dua tahun terakhir ada S2 Cultural Studies di sana,” ungkapnya.

Tentang menyapkan Fakultas Ilmu Budaya sesuai dengan kebutuhan dan arah pembangunan daerah misalnya, Aslan menyatakan bisa saja dan memang itu niscaya. “Tentu bisa. Terutama kalau menganggap semua ilmu sama penting untuk digunakan dalam memperbaiki kualitas manusia,” tambahnya.

Dia menyatakan itu saat Kamaruddin Azis bercerita tentang bagaimana persiapan SDM Kelautan saat dirintisnya proyek Marine Science Education Project yang dibiayai oleh ADB per tahun 1988. Ada persiapan dan peta jalan di dalamnya.

Aslan menanggapi dengan menyatakan universitas seperti UGM dan UI mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dengan memasukkan ilmu-ilmu baru itu menjadi mata kuliah.

“Beberapa universitas, sebutlah seperti Unhas, mengubah diri dengan motif berbeda. Unhas misalnya mengubah diri karena desakan Prodi Arkeologi Prodi Sejarah yang merasa bukan ‘Sastra’,” ucapnya.

“Saya ikut dan jadi pembicara di seminar persiapan perubahan FS menjadi FIB di Unhas. Terlihat jelas bahwa memang perubahannya bukan didasari konsep Cultural Theory,” papar Aslan.

Untuk memahami sejarah, landasan dan bagaimana alas dan tujuan transformasi seperti Fakultas Sastra menjadi FIB di Unhas, Aslan meminta anggoat grup untuk membaca disertasin Hendragunawan S. Thayf yang menyisir teori atau Mazhab Frankfurt.

“Bukunya tentang mazhab itu sudah diterbitkan Pustaka Pelajar,” lanjut Aslan.

“Jadi, sepertinya efek dari tidak dominannya cara berpikir rasional dalam institusi pendidikan kita sehingga lari ke hal-hal gaib,” sebutnya lagi berkaitan kondisi, praktik dan spirit pendidikan kesusastraan atau ilmu budidaya di Makassar termasuk di Unhas.

Disebutkan, para filsuf followers mazhab Frankfurt mengembangkan dan menerapkan sebuah filsafat yang dikenal dengan sebutan Teori Kritis.

Posisi dari teori kritis sendiri dalam bagan historikal filsafat, banyak mendapatkan pengaruh dari tiga doktrin besar, yaitu Marx, Freud, dan Hegel. Pemikiran yang paling banyak diketahui oleh orang-orang adalah pemikiran dari filsafat Karl Marx ketika mencetuskan teori kritis. Namun, pemikiran Marx tidak ditelan secara mentah oleh teori kritis, karena pemikiran Marx dinilai terlalu deterministik ekonomis. Pada akhirnya tersematkan julukan kaum Neo Marxisme pada madzhab Frankfurt (Bertens, 2014:255).

Pembaca sekalian, itu alternatif yang dikemukakan oleh Aslan untuk tindak lanjut, namun terkait hal-hal gaib itu oleh penilaian Aslan itu disambar Ostaf Al Mustafa.

“Jadi, kita dijejali dengan beragam hal irasional atau sebutan yang lazim disebut ‘halu’, tidak hanya pada hal yang amat kecil tetapi juga berhubungan dengan ratusan nyawa manusia,” sergahnya saat Aslan menyebut hal-hal gaib yang jadi konsideran di tengah kompleksitas kehidupan kota-desa.

“Orang-orang yang kita kenal atau pernah berinteraksi dengan kita tiba-tiba saja lenyap dari bumi tanpa ada sebab yang bisa diverifikasi!” tambahnya seperti ingin menegaskan bahwa banyak properti sejarah kesusastraan dan kebudayaan di perguruan tinggi yang tinggal kenangan.

Itu kalau tidak mau disebut menguap menjelma nama baru Fakultas Ilmu Budaya. Sementara di sisi lain ada upaya yang justru tidak punya ruh dan berpotensi disorientasi.

Konklusi

Menurut Aslan, ada dua poin yang bisa didiskusikan lebih jauh.  Pertama, kita memang tidak berpikir rasional dan berkarakter intelek. Inilah yang perlu menjadi atensi pribadi-pribadi mahasiswa, alumni hingga organisasi kampus yang sangat dibutuhkan oleh negara ini untuk hadir dalam membetulkan letak harapan perubahan ke depan.

Berpikir rasional artinya berpikir solutif, relevan dengan kebutuhan berkehidupan dan punya basis alasan.

Kedua, kita nampaknya dikuasai pemikiran gaib. Ini merasuk ke dalam aturan- aturan pembelajaran dari pusat. Contoh, capaian akhir pembelajaran Bahasa Indonesia adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Itu tentu tidak rasional. Bagaimana bisa mata pelajaran yang tidak mengajarkan ketakwaan kepada Tuhan malah capaian akhirnya adalah bertakwa kepada Tuhan?” ujar dia.

 

Editor: K. Azis

 

Related posts