Catatan konferensi Sustainable and Responsible Seafood 2022: Budidaya udang dan dampak perubahan iklim

  • Whatsapp
Bodhiya Wijaya Mulya (tengah) setelah sesi paparan bersama narasumber dan moderator (dok: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

Di tahun 2017, total produksi udang secara global mencapai 4,2 juta ton. Angka ini meningkat lebih dari 3 kali lipat dibanding pada tahun 2000 yang hanya 1,2 juta ton.

___
PELAKITA.ID – Pada sesi perubahan iklim dan budidaya udang, tampil Bodhiya Wijaya Mulya, Chief Operating Officer pada QED Research Consulting.

Dia bercerita hasil risetnya berkaitan potensi budidaya udang dan ancaman perubahan iklim. Menarik untuk disimak.

Read More

Bodhyo adalah ahli bidang monitoring, evaluasi, dan learning dan berpengalaman meriset selama 12 tahun serta 8 tahun pada program pembangunan internasional. Dia pernah bekerja untuk KPK hingga Yayasan Plan International.

QED-RC adalah perusahaan konsultan riset strategis yang menyediakan one stop service terkait riset dan data. Didirikan pada tahun 2013 dengan visi untuk mendukung klien dengan data yang andal dan akurat untuk mengambil keputusan yang tepat.

Dia bersama QED-RC telah meriset 10 perusahaan eksportir atau pemrosesan udang berskala menengah sampai besar.

Dia menyatakan, bisnis udang merupakan salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat secara global.  Di tahun 2017, total produksi udang secara global mencapai 4,2 juta ton. Angka ini meningkat lebih dari 3 kali lipat dibanding pada tahun 2000 yang hanya 1,2 juta ton saja

Vannamei vs monodon

Dalam paparannya, Bodhiya menyebutkan, Litopenaeus vannamei(whiteleg shrimp), mendominasi pangsa pasar dengan nilai USD 14 juta.

“Adapun jenis udang yang paling banyak diperdagangkan adalah L. vannamei yang mendominasi pangsa pasar dengan nilai sebesar USD 14 juta,” ungkap Bodhiya.

Disebutkan, laporan BCG pada tahun 2019 memperkirakan demand atas udang akan terus meningkat dengan China dan USA sebagai pasar utama.

“Indonesia menguasai 12 persen pasar udang secara global. Indonesia saat ini berada di urutan ketiga sebagai produser udang terbesar di dunia,” sebutnya.

Bodhiya menyebut, dari sisi ekspor, BCG melaporkan Indonesia mengekspor 220.000  hingga 260.000 ton per tahun. Di mana lebih dari 80 persen ekspor itu ditujukan ke USA, Jepang, dan Uni Eropa.

“Ekspor udang Indonesia didominasi jenis L.vannamei dengan kisaran 70 hingga 80 persen sementara P.monodon saat ini berada di kisaran 20 hingga 30 persen,” ungkapnya.

Permintaan dari pasar lokal sendiri masih cukup menjanjikan di mana 40% produksi udang di Indonesia diserap oleh pasar lokal. Perikanan berkontribusi sebanyak 2% dari produk domestic bruto, sementara sektor udang berkontribusi sebanyak 15 persen di dalam industri perikanan

“Sektor udang sendiri terpusat di beberapa provinsi antara lain Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Sulawesi Selatan,” imbuhnya.

Di Jawa Timur, jenis L.vannamei mendominasi dengan perbandingan 80 persen sementara P.monodon 20 persen.

“Kondisi ini berbanding terbalik dengan Sulawesi Selatan di mana L vannamei dibudidayakan oleh 56 persen rumah tangga sementara P.monodon berkisar di angka 44 persen,” sebutnya.

Kondisi ini dapat dipahami karena L.vannamei cocok dibudidayakan secara intensif sementara harga lahan di Jawa Timur terbilang mahal. Sementara di Sulawesi Selatan harga tanah dapat dikatakan lebih terjangkau (Sutas 2018)

Udang dan perubahan iklim

Bodhiya menyebut bisnis Udang dapat dikatakan sangat bergantung pada kondisi air, sama seperti manusia yang secara langsung maupun tidak langsung bergantung pada lautan dan cryosphere.

“Udang yang termasuk dalam kelompok krustasea sangat bergantung pada lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Tidak seperti mamalia yang memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi sehingga dapat dikatakan perubahan iklim berdampak serius pada budidaya udang,” terangnya.

Ada beberapa dampak perubahan iklim bagi udang menurut Badhiyo. Pertama, di sisi petambak sangat terasa, seperti perubahan PH dan kadar oksigen turun.

Kedua, kegagalan panen di petampak otomatis akan membawa kerugian di sisi pemroses dan eksportir. Ketiga, kegagalan panen di petampak otomatis akan membawa kerugian di sisi pemroses dan eksportir

Keempat, curah hujan yang tinggi membawa dampak perubahan PH dan turunnya kadar oksigen yang pada akhirnya berdampak pada kematian udang

Kelima, hujan lebat sangat berdampak pada bisnis udang dimana konversi pakan akan menurun

Keenam, udang jadi lebih mudah terkena penyakit yang mana berujung pada kematian udang

Dia menyatakan, penurunan ph air laut dan salinitas air dapat membawa dampak negatif pada larva udang.

“Curah hujan yang tinggi membawa dampak serius seperti banjir dan berubah-ubahnya parameter kualitas air yang tidak hanya merusak kolam namun meningkatkan peluang wabah penyakit,” ucapnya.

“Kekeringan yang berkepanjangan mengakibatkan gelombang panas yang berujung pada kematian udang. Banjir laut yang membuat tambak rusak. Banjir di daratan yang memutus jalur logistik dari tambak ke pabrik,” jelas Bodhiya.

Ditambahkan, meskipun dampak perubahan iklim lebih terasa langsung di sisi petambak.

“Namun dalam kondisi terburuk, perubahan Iklim dapat berdampak mengurangi penjualan eksportir dan pemroses udang hingga 25 hingga 50 persen,” tutur dia.

“Dampak tersebut paling sedikit terasa dua kali dalam setahun yakni pada saat puncak musim hujan dan musim kemarau,” tegasnya.

“Kami mencoba mengilustrasikan pada contoh sebuah perusahaan X dengan asumsi sebagai berikut Nilai EBIT dasar diambil dari perusahaan bersekala besar di angka Rp50 miliar. Lalu siklus budidaya udang diasumsikan 10 kali per tahun,” kata dia.

“Dampak dari perubahan iklim diasumsikan berdampak 5 bulan baik di musim kering ataupun penghujan dalam setahun, atau sekitar 42 persen siklus,” ujarnya.

Dia menjelaskan, pihaknya mencoba mengilustrasikan pada contoh sebuah perusahaan X dengan asumsi sebagai berikut. “Total biaya naik secara konstan setidaknya 3 persen per tahun, salah satunya disebabkan oleh kenaikan biaya listrik akibat perubahan iklim,” katanya.

“Inflasi diasumsikan konstan di angka 4 persen per tahun, WACC diasumsikan di angka 14,57 persen berdasarkan benchmark WACC untuk agribisnis di negara berkembang berdasarkan kurs lokal. Periode analisis dibatasi dalam 10 tahun saja. WACC diambil dari “Damodaran, A. 2022. Cost of equity and capital (updateable) – Emerging Market”,” paparnya.

“Terdapat 3 skenario berdasarkan hasil wawancara; worst case – Revenue terdampak sebesar 50% (32% per tahun), most likely – Revenue terdampak sebesar 20 persen (17 persen per tahun) dan Best case – Revenue terdampak sebesar 10 persen (12 persen per tahun),” tambahnya.

Di ujung paparannya Bodhiya menyimpulkan, udang tetap merupakan salah satu komoditas yang menjanjikan baik dari sisi profit maupun penyerapan tenaga kerja.

“Ancaman perubahan iklim dapat memengaruhi bisnis ini. Meski dampak saat ini belum signifikan akan tetapi bila dilihat secara gabungan maka potensi dampak yang dihasilkan cukup signifikan,” tutupnya.

 

Editor: K. Azis

Related posts