Ema Husain, Perlawanan Kelas Perempuan hingga Menangkal Kanker Payudara

  • Whatsapp
Ki-ka, Anshar Saud, penulis, Notaris Burhanuddin dan Ema Husain (dok: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

Hilang semangat, jantung berdebar kencang, lutut serasa tidak bisa kugerakkan untuk meninggalkan rumah sakit. Dokter bilang saya gejala kanker stadium 3.

Husaimah ‘Ema’ Husain

PELAKITA.ID – Husaimah Husain yang akrab disapa Ema, duduk di sudut PlazGozz Café Pettarani. Penulis, dosen Farmasi Unhas Anshar Saud, Rusna Herawati alumni Komunikasi Fisip UH dan pengurus IKA Unhas Sulsel, takzim mendengar ceritanya.

Di ruangan sekira empat kali lima meter itu dia nampak bersemangat.

Ema bercerita tentang banyak hal. Tentang ayahnya yang polisi meski anak-anaknya tak tertarik masuk Kepolisian dan memilih menjadi Sarjana Hukum dan Arsitek.

Juga tentang pengalamannya pertama kali melamar Lembaga Bantuan Hukum di Makassar di tahun 93 hingga kisah perjuangannya menyaru menjadi sebagai pekerja pabrik pengolahan udang hingga bisa mengetahui lika-liku kehidupan sebagai pekerja perempuan dan seberapa aman dari sisi ekonomi.

“Kasihan mereka yang bekerja memotong udang tanpa kaos tangan,” kata dia.

Juga tentang kisah heroik investigasinya terkait status hukum lahan yang diklaim oleh perusahaan besar di kampung halamannya, Soppeng.

Dia datang ke sana untuk pengumpulan data, informasi dan membangun pertemanan dengan warga.

Tentang perjuangan mencari kamar kecil di rumah panggung dan dari situ dia bisa memotret sudut demi sudut kawasan yang disengketakan itu hingga berujung pada datangnya Komnas HAM ke Soppeng demi pembelaan dan penyelamatan hak-hak petani desa.

“Saat itu, Adnan Buyung Azis yang jadi koordinatornya,” ungkapnya.

Adnan yang dimaksud adalah salah satu pilar LBH Makassar di tahun 90-an. Juga tentang kepemimpinan Mappainawang Yusuf dan Rudiyanto Andi Asapa sebagai ketua LBH di masanya.

Dia juga mengisahkan kebandelannya menolak halus harapan ayahnya untuk jadi polisi dengan pergi menonton penjual obat di naung rindang pohon Karebosi Makassar.

“Saya dicari saat tes,” kenangnya sembari tertawa.

Banyak hal dibeberkan.

Satu kisah heroiknya sebagai perempuan aktivis LSM adalah tentang cara dia mengelabui aparat hingga bisa memasang spanduk “Presiden Habibie Meresmikan Proyek Bermasalah” di Sulawesi Selatan tahun 90-an akhir.

“Saat itu, saya bilang ke aparat kalau datang dari satu desa di Maros, desa di gunung. Ingin melihat seperti apa itu Habibie,” kenangnya.

“Lalu kami masuk ke dalam dengan spanduk terlilit di badan, lalu kita bentangkan. Ada almarhumah Nawal saat itu,” kenangnya.

Dampak dari situ adalah seorang pejabat kepolisian daerah dicopot karena gagal mencegah pemasangan spanduk.

Dia juga bercerita tentang suka duka bekerja di LBH Makassar, tentang pengalamannya bersidang di Mahkamah Agung, magang di YLBHI di Jakarta Pusat, hingga perjuangannya melawan kanker payudara yang sempat menggerogoti pikiran, nyaris putus asa dan bagaimana menemukan jalan keluar layaknya sebuah mukjizat.

Melawan kanker kayudara

Penulis bercerita tentang tetangga rumah di Tamarunang yang meninggal karena kanker payudara.

Kanker payudara merupakan ancaman yang mengincar banyak perempuan, muda, tua.

Di Indonesia saja, diperkirakan ada 65.858 kasus kanker payudara pada perempuan yang muncul pada tahun 2020 menurut Global Cancer Observatory.

Terkait itu, Ema menceritakan pengalamannya sebagai penyintas kanker ganas itu.

Dia menyebut seperti hilang semangat kala itu.

“Jantung berdebar kencang, lutut serasa tidak bisa kugerakkan untuk meninggalkan rumah sakit. Dokter bilang saya gejala kanker ganas,” kata dia seraya membetulkan letak duduknya.

“Saya diperiksa oleh dokter yang membuka praktek dekat RS Grestelina kala itu.”

Dia juga bercerita tentang lertemuannnya dengan kak Asdar Muis kala itu yang saling menyemangati atas penyakit yang diderita, sepenggal cerita lucu antara Ema dan Kak Asdar.

“Tiba – tiba kak Asdar mau balik karena sudah bosan menunggu panggilan no antriannya, saya menawarkan nomor antrian saya , baku tukar maki kaka, janganmi pulang maka saja sambil berjalan bersama istrinya. Banyak semangat yang di sampaikan kak Asdar, Al Fatihah buat Kaka Asdar,” kenang Ema.

Terkait vonis kanker yang didapnya, keluarga Ema tak tinggal diam. Keluarga bersepakat untuk bersama menghadapi penyakit ini, yang dalam bayangannya penyakit yang mematikan.

“Termasuk menyiapkan dana hingga 150 juga demi persiapan operasi bertahap. Saya dikasih tahu hingga tiga kali,” ucap anak sulung dari delapan bersauara itu.

“Keluarga sepakat, iya, kita siapkan uang.”

“Sebelum operasi salah satu kakak ipar saya yang berdomisili di Kalimantan menyarankan waktu itu mencari bawang Dayak,” kata dia tentang upaya keluarga dan dirinya menyiapkan operasi itu.

Bawang Dayak (dok: NusantaraNews.Net)

Dia juga bercerita tentang motivasi dari seorang Andi Darussalam Tabusalla – Innalillahi – yang selalu menyemangatinya untuk kuat dan optimis.

“Bagaimanapun, saya terus semangat, teman-teman memotivasi untuk terus semangat,” kata dia.

“Saya pulang ke rumah, mencari tahu, googling, cari informasi tentang jalan penyembuhan sembari menunggu operasi pertama,” kenangnya.

Kala itu, Ema menyebut dada sebelah kiri ditandai dengan spidol meski di dada kanan ada juga semacam bintik yang patut diwaspadai.

“Yang namanya pertolongan kita tidak tahu dari mana saja,” kata Ema.

“Tiba-tiba adik saya mendapat informasi melalui medsos seorang petani Bawang Dayak di Palu yang mengabarkan kalau ada Bawang Dayak yang hendak dijual, Saya pikir harganya akan mahal, mencapai ratusan ribu atau jutaan,” kata dia.

Pendek cerita, kata Ema, Bawang Dayak tiba di rumah. “Saat itu, kami transfer, barang tiba,” katanya.

“Mulailah Mama Aji dan adik adik saya meracik sesuai anjuran Kaka Ipar yang di Kalimantan. Saya mulai mengkonsumsi bawang sambil proses pengobatan dokter juga berjalan termasuk persiapan operasi,” ucapnya.

“Saya ingat hari itu Selasa, saya konsumsi, isi batang, direbus dan dikonsumsi, hari Kamis saya akan dioperasi,” kata Ema.

Dia naik kamar operasi di RS Wahidin Sudirohusodo, di tahun 2010-an. Selesai. Lancar.

“Ira sempat bawa itu yang dilepas dari hasil operasi, setelah diperiksa rupanya nampak ungu semua akar-akarnya,” ujarnya bersemangat. Ira yang dimaksud adalah Husmirah, adiknya yang arsitek.

“Lalu dicek oleh dokter, dokter bilang maaf ya bu, duduk saja, tidak perlu baring dan dokter menemukan keanehan dengan pada payudara yang akan dioperasi, payudara sebelah kiri saya berubah warna menjadi keunguan seperti lebam, waktu itu saya berpikir positif bahwa mungkin bekas spidol yang diberikan sebagai penanda letak benjolan dan seperti matinya sel-sel di sekitar titik operasi,” kisah Ema.

“Ibu punya nasar?” kata dokter.

Dokter seperti penasaran dengan kondisi area payudara Ema. Seperti doa yang terkabul.

“Saya hanya ingin sembuh dok, dan bisa kasih makan anak-anak yatim,” balas Ema.

“Kalau lihat kondisinya ini sudah bisa disebut kondisi jinak, tak lagi ganas,” kata dokter. Mendengar itu, Ema tanpa sadar seperti menerjang dan memeluk Sang Dokter.

Belakangan, Ema tanya ibunya, apakah dia punya nasar terkait pengobatan Ema. “Ibu bilang ada nasar beli kambing untuk dibawa ke panti asuhan di Parepare sebagai pengganti nyawa, passelle nyawa nak,” ujar Ema menirukan Mama Ajinya.

Dia mengaku sempat mengkonsumsi bawang daya hingga tiga bulan, cek ke dokter dan merasa kembali normal. “Jadi hanya sekali operasi itu,” ujarnya.

Bawang Dayak (sumber: TransKerja)

Bertahun-tahun kemudian, Ema menjadi supersibuk, superaktif, dia kini terus menjadi aktivis perempuan bahkan tergabung sebagai koordinator Saya Perampuan Anti Korupsi Sulawesi Selatan.

Aktivis LBH Makassar di masanya itu, kini menjadi narasumber, resource person untuk advokasi perempuan.

Dia juga aktif membantu sejumlah pemerintahan daerah seperti Gowa, Soppeng, Maros, Makassar untuk pendidikan politik warga hingga menjadi konsultan pemberdayaan kelompok perempuan rentan, anak-anak, disabilitas dan menjadi pejuang untuk sistem perencanaan inklusi di tanah air.

Perbincangan kami terhenti. Tiga telepon masuk, dua yang dia sebut, satu datang dari aktivis Unhas tahun 90-an, satunya lagi pejabat penting di salah satu pemerintahan kabupaten di Sulsel.

Sebagian sisi Pettarani berangsur gelap, saya dan Anshar Saud pamit sekira pukul 8 malam.  Saya dijemput istri, Ansar pergi mengambil kucing Persia miliknya yang sedang perawatan.

Suasana PlazGozz semakin ramai. Maklum, pukul 10 malam akan digelar nonton bareng tim Indonesia melawan Irak demi memperebutkan tempat ketiga Piala Asia usia 20.

Penulis, Denun
Tamarunang, 3/5/2024

 

 

Related posts