Berlakukan penangkapan ikan terukur, Peneliti BRIN: Pemerintah harus dengar suara rakyat

  • Whatsapp
Dedi Adhuri, Ph.D. peneliti BRIN pada diskusi Koral Outlook 2022 (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Pelakita ID menjadi peserta KORAL Outlook 2022: Melihat Arah Kebijakan Kelautan dan Perikanan 2022, Rabu, 23/2/2022. Salah satu yang disorot adalah rencana pemberlakukan Permen Penangkapan Ikan Terukur yang disebut akan menguntungkan pengusaha besar dan asing.

Pembicara yang hadir adalah Dedi Supriadi Adhuri, Ph.D, peneliti BRIN, Dr Suhana dari Pandu Laut Nusantara, Susan Herawati dari Kiara serta Parid Ridwanuddin, manajer kampanye pesisir dan laut Walhi serta dimoderatori Edo Rahman dari Walhi Eknas.

Read More

Dedi yang juga antropolog tersebut menyatakan bahwa penentuan kebijakan seperti Permen Penangkapan Ikan Terukur perlu mempertimbangkan partisipasi dan realitas pada masyarakat atau nelayan kecil yang beragam terutama di sekiitar area Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).

Apa yang disebutkannya tersebut didasari kenyataan bahwa ndonesia punya laut dan sumberdaya yang cukup lumayan dalam konteks sektor perikanan.

“Kita tahu nelayan kecil mendominasi perikanan atau penangkapan ikan di Indonesia, jika defenisikan bahwa di bawah ukuran 10 groston sebagai batas defenisi nelayan kecil maka ada 96 persen kapal aktif di laut  adalah nelayan kecil,,” sebutnya.

“Mereka berkontribusi pada asupan protein pada kita semua, protein hewani kita. Juga harus diingat bahwa dibanidngkan dengan industri, kontribusi nelayan kecil dari segi persentase sebesar 80 persen produksi mereka untuk konsumsi domestik bukan untuk diekspor,” katanya.

“Merek kunci pengadaan pangan ikan,” tegasnya. Dedi menyebut bahwa karakteristik nelayan kita majemuk, termasuk obyek ikan tangkapan, jensi atau spesies dan wilayah penangkapan. “Masing-masing alat tangkap dan jenis boat berasosiasi dengan wilayah tertentu.”

Hal lain yang disorot Dedi adalah keberpihakan dan penentuan Permen perikanan terukur yang hanya ditekankan pada potensi saja.

Terkait potensi dan tantangan, Dedi menyebut data tahun 2016 yang disebut mencapai 12,5 juta ton pertahun. “Kalau masing-masing wlayah WPP, pada persepsi tertentu banyak yang sudah over exploited,” sebutnya.

Hal-hal lain yang disinggung Dedi adalah kondisi ekosistem pesisir dan laut yang rentan. Seperti mangrove dan terumbu karang. “Terkait mangrove misalnya, Indonesia adalah negara dengan tingkat deforestrasi yang hebat. Tingkat kemiskinan yang tinggi di pesisir, perubahan iklim, hingga Rob.”

Belum lagi infrastruktur pesisir yang banyak rusak karena perubahan iklim, di Pantura produksi garam terganggu karena cuaca yang ekstrem dan lain sebagainya.

“Yang penting adalah bagaimana mengoptimalkan potensi yang 12,5 juta, bagamana merehabilitasi terhadap sumberdaya ikan,” katanya.

“Bagaimana meningkatkan kualitas ekosistem terumbu karang dan mangrove dan kesejahteraan nelayan. Ini pertanyaan mendasar dan semua mesti pikirkan,” ujarnya.

Dia juga menyorot agenda reformative approach dalam pengelolaan perikanan yang dari pendekatan konvensional ke terukur.

“Ini bahasa Pemerintah, kalau kita lihat teori-teori yang ada adalah bagaimana conventional fisheries management. Ini basisnya single basis management, government based,” ucapnya.

Menurut dia, itu pun sarat masalah. “Bahwa siatem kuota, pada banyak research, ada kelemahan pada sistem kuota,” tambahnya.

“Kalau pendekatan baru seharusnya dalam dunia perikanan kita bicara Ecosystem Approach to Fisheries Management dengan mempertimbangkan komunitas, interest pada kapasitas komunitas yaitu tidak hanya mengatur perikanan tetapi mengatur seluruh ekosistem dan manusia,” paparnya.

Dia menyebut hal tersebut sembari menambahkan bahwa di setiap zona seperti WPP, ada pelaku industri, dan yang skala kecil. “Nelayan tradisional adalah masalah utama, karena identifikasi dan pendataan nelayan tradisional masih masalah kita,” tambahnya.

Yang juga tidak kalah pentingnya dicermati menurut Dedi adalah kapasitas nelayan dan kelembagaannya.

“Disebutkan dalam Rapermen itu, nelayan tradisional harus membentuk koperasi untuk dapat alokasi, padahal tingkat pendidikan mereka rendah, butuh faislitasi,” ucapnya.

“Meski sudah ada sosialisasi ke nelayan tetapi jumlah masih terbatas. Apalagi pengalaman masa lalu tentang koperasi yang tidak baik, kalau pun itu pilihannya, itu harus ada roadmap,” ujarnya.

Saat dimintai pernyataan penutup oleh moderator Edo Rahman dan jika dikaitkan Rapermen Perikanan atau Penangkapan Ikan Terukur itu, Dedi berharap Pemerintah mendengar suara hati rakyat.

 

Editor: K. Azis

Related posts