Regulasi PCR: Proteksi atau Bisnis?

  • Whatsapp

DPRD Makassar

Raja Milyaniza Sari, mahasiswa program Doktor Ilmu Ekonomi Unhas membagikan perspektifnya tentang motif di balik ketentuan tes PCR untuk pengguna moda transportasi udara. Sungguhkah itu proteksi kesehatan penumpang atau ada misi ambil untung keuangan di baliknya? Mari simak paparannya. 

 

Read More

PELAKITA.ID – Dalam kurun waktu 2 tahun aturan perjalanan di era Pandemi Covid-19 terus mengalami perubahan.  Regulasi PCR adalah salah satu perubahan aturan yang banyak menuai kontroversi karena harga perolehannya yang relatif mahal dengan masa berlaku relatif singkat (2×24 jam).

Hal tersebut berarti bahwa dalam satu kali perjalanan pulang-pergi calon penumpang harus melakukan 2 kali tes PCR.  Tentu  ini  terasa sangat  berat  terutama  untuk  kalangan  ekonomi  menengah-kebawah yang terdesak berpergian karena masalah kesehatan, pendidikan ataupun keluarga.

Harga tes PCR di awal pandemi Covid -19 berkisar antara Rp. 1,8 – 2,5 juta, pada 5 Oktober 2020 diturunkan ke Rp 900 ribu dengan masa berlaku 2 x 24 jam.

Pada 11 Agustus 2021 tes PCR ditetapkan sebagai syarat wajib bagi penumpang pesawat terbang secara nasional, serta merta angka penjualan tiket pesawat turun drastis.

Aksi protes merebak baik karena kemerosotan ekonomi ataupun harga tes PCR yang bervariasi karena  pembiaran improvisasi harga tes PCR.

Harga tes PCR dijual berbeda sesuai kecepatan terbitnya surat keterangan hasil tes PCR, yaitu: Rp. 2 juta untuk ekspres (hasil tes PCR  tersedia dalam waktu 3 jam), Rp. 1,3 juta untuk sameday ((hasil tes PCR  tersedia dalam waktu 12 jam) dan Rp. 900 ribu untuk reguler ((hasil tes PCR  tersedia dalam 24 jam).

Pada 16 Agustus 2021 harga tes PCR kembali turun dikisaran harga Rp. 495 – 525 ribu, harga ini masih dinilai tinggi oleh usaha bisnis penerbangan  karena menyamai harga tiket rute tertentu, terlebih pada bulan yang sama beredar informasi bahwa pada harga Rp 300 ribu bisnis tes PCR sudah menguntungkan (ICW dan DPR).

Melihat berbagai kondisi akhirnya per 27 Oktober 2021 pemerintah kembali menurunkan harga tes PCR pada kisaran harga   Rp. 275 -300 ribu dengan masa berlaku 3 x 24 jam.

Apakah telah meredakan kekrisuhan? Jawaban ya – tidak, ada pihak yang merasa lega, ada yang merasa belum diperlakukan adil, ada yang menganggap pemerintah tidak rasional.

Ada juga yang merasa curiga karena rentang harga awal dan akhir PCR yang sangat tinggi, mungkinkah ada motif bisnis dari inkonsistensi kebijakan ini?

Kebijakan pengendalian COVID-19 memang bersifat sangat dinamis sesuai kondisi yang dihadapi atau akan dihadapi dengan target utama adalah pengendalian kasus COVID – 19 ke angka serendah mungkin sebagaimana yang disampaikan bahwa pemberlakuan tes PCR adalah untuk relaksasi aktivitas masyarakat.

Dengan kata lain, dengan menurunnya kecepatan maupun jumlah mobilitas masyarakat, diharapkan dapat mengendalikan penyebaran COVID-19.

Pemerintah sendiri menilai bahwa kebijakan ini telah membawa Indonesia pada penurunan kasus kematian COVID-19 yang cukup signifikan.

Adapun penerapannya pada moda transportasi pesawat terbang menurut Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito; mengacu pada kasus awal penularan sedangkan penetapan harga tes PCR adalah sesuai karena tiap tahapnya telah dievaluasi Kemenkes bersama BPKP untuk memberikan kepastian harga pada masyarakat sama sekali tidak ada motif bisnis.

Benarkah tidak ada motif bisnis?.

Untuk percaya, publik meminta transparansi komponen biaya tes PCR tiap tahapnya dan makin intens ketika beredar informasi (hasil analisis ICW) bahwa keuntungan tes PCR terhitung sejak penerapan aturan hingga penetapan harga akhir PCR ke kisaran Rp. 275 – 300 ribu mencapai angka Rp.10 Trilliun.

Dari sudut pandang ekonomi kecepatan dan mobilitas masyarakat akan turun drastis jika biaya yang diperuntukkan untuk kegiatan tersebut naik cukup tinggi. Kondisi yang menempatkan konsumen pada ketidakpastian dengan biaya tinggi akan berpengaruh pada preferensinya.

Prediksinya adalah preferensi terbesar akan berada akan berada pada menunda sampai harga kembali normal atau membatalkannya.

Adapun Transaksi yang terjadi hanyalah untuk kepentingan mendesak atau memberikan hasil sesuai apa yg dikorbankan,  dan biasanya transaksi seperti itu relatif kecil. Jika perubahan harga tidak cukup tinggi maka perubahan permintaan relatif rendah maka tujuan relaksasi aktivitas masyarakat seperti yang (proteksi) diharapkan tidak akan tercapai.

Jika penerapan harga tinggi dapat dipahami, pemerintah harus menjelaskan bagaimana pengelolaan keuntungannya. Issue Regulasi PCR menciptakan pasar bagi pihak tertentu cukup meresahkan. PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) sebagai pemain besar menjadi sorotan, terlebih jika dikaitkan dengan kepemikan saham PT tersebut. 

Muncul berbagai opini bahwa Regulasi PCR bukan kebijakan yang pro publik: publik atau masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, publik merasa kebijakan tersebut tidak realistik, tidak transparan dan salah sasaran serta tumpang tindih/kontra dengan kebijakan lainnya.

Regulasi PCR sebagai kebijakan cepat tanggap sama sekali  tidak melibatkan lembaga-terkait yang melindungi kepentingan publik (LBH misalnya), membuat kebijakan tersebut terkesan secara ekonomi menguntungkan pihak tertentu.

Jika tujuannya untuk relaksasi aktivitas mengapa hanya diterapkan pada transportasi udara sedangkan transportasi lainnya tidak? Padahal menurut beberapa ahli: pesawat terbang merupakan moda tranporasi yang paling aman karena memiliki filter udara dan waktu tempuh lebih singkat.

Kebijakan ini juga dinilai salah sasaran jika tujuannya adalah untuk mencegah masuknya varian baru Covid-19 yang notabene berasal dari luar Indonesia maka seharusnya tes PCR hanya menjadi syarat masuk ke Indonesia dan beraktivitas pada kawasan lalu lintas perjalanan luar luar negeri.

Beberapa kasus menarik lainnya adalah masih dibukanya pintu masuk dari negara yang telah terinfeksi varian baru (berdasarkan informasi para pekerja dari India masuk ke Indonesia) pada waktu yang sama begitu juga peniadaan fasilitas tes PCR di tingkat pelayanan kesehatan basis pertama (Puskesmas).

Harga tes PCR yang mahal membuat masyarakat tidak mampu melakukan tes PCR untuk kepentingan kesehatan.

Banyak penderita Covid-19 yang telah membaik namun diminta melakukan isolasi mandiri (masih terindikasi positif)  tidak mampu melakukan tes PCR mandiri, sebelum beraktivitas normal. Prediksinya adalah ada peningkatan kasus hanya saja tidak terdata.

Berdasarkan pengalaman di beberapa negara mengurangi mobilitas dalam kecepatan maupun jumlah di samping vaksin dan tes deteksi lebih memberikan dampak positif untuk menangulangi penyebaran virus yang cenderung bermutasi.

Namun, pemerintah harus lebih realistik, adil dan terbuka dalam penerapan kebijakan biaya tinggi dimana publik yang harus membayarnya berarti publik juga yang harus menikmati keuntungan tersebut.

Peringatan untuk publik adalah vaksin tidak menjamin seseorang akan kebal terhadap Covid-19  karena dominan berfungsi untuk meringankan gejala penyakit apabila terpapar Covid-19.

Seseorang yang telah divaksinasi masih berisiko menularkan dan tertular Covid-19. Terkait Swab antigen dan PCR, kedua tes tersebut tidak dapat memastikan seseorang sepenuhnya bebas dari Covid-19 karena selalu ada potensi tertular saat diperjalanan.

Langkah teraman adalah jaga kesehatan, hindari mudik dan perjalan tidak urgen, hindari kerumunan dan senantiasa patuh pada protokol kesehatan.

Untuk pemerintah sederhananya masyarakat masih terus menuntut dan menunggu transparansi terkait komponen biaya dan pemanfaatan keuntungan dari Regulasi tes PCR, semoga dapat disegerakan! untuk Indonesia lebih baik. (*)

 

 

Editor: K. Azis

Related posts