Tantangan dalam pembahasan rancangan UU masyarakat adat menurut AMAN

  • Whatsapp
Suasana perayaan 22 tahun AMAN (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berbagi pandangan bahwa saat bicara terkait keindonesiaan dan kebinekaan maka cermin utama ada di masyarakat adat, semua ada di sana.

“Pertama, bicara terkait filosofi demokrasi. Bagi Indonesia yang menganut dua hal, yaitu penghormatan terhadap hak individu dan juga tradisi demokrasi komunitarian. Itu ada di masyarakat adat,” katanya.

Read More

“Kedua, bicara tentang kedaulatan. Bicara tentang kedaulatan maka sebenarnya kedaulatan itu, baik dalam hal agraria dan pangan, ada di masyarakat adat. Pandemi Covid-19 membuktikan hal itu,” lanjutnya.

“Ketiga, kalau kita hendak melihat bagaimana 200 tahun ke depan dengan kekhasannya, maka alat utama untuk sampai ke sana adalah dengan mengakui, menghormati, melindungi hak masyarakat adat melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat,” tambahnya.

Menurut Arman, RUU Masyarakat adat ini sudah masuk dalam periode keempat dalam Prolegnas. Pertama kali masuk ke dalam Prolegnas 2013-2014. Waktu itu nomenklatur dari RUU itu adalah RUU pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

“Pada waktu itu sudah ada pansus yang ketuanya berasal dari Fraksi Demokrat. Sayangnya kemudian dalam proses pembahasannya pemerintah tidak secara sungguh-sungguh sehingga gagal ditetapkan,” terangnya.

Kemudian di Prolegnas 2014-2019, RUU Masyarakat Adat masuk sebagai inisiatif DPR. Sebelum masuk Prolegnas ketika itu, ada komitmen kuta dari pemerintahan Jokowi – JK waktu yang tercermin dalam Nawacita Jokowi-JK.

Salah satu yang dibahas di sana adalah bagaimana membahas RUU Masyarakat Adat menjadi undang-undang.

“Tetapi sayang kemudian sampai masa akhir sidang 2019, RUU ini gagal ditetapkan karena pemerintah tidak menyerahkan DIM kepada DPR sebagai salah satu syarat pembahasan RUU Masyarakat Adat,” katanya.

Bahkan pada waktu itu ada kemunduran dari sisi legislasi karena ada surat dari Mendagri Tjahyo Kumolo, di bulan April 2019 yang menyurati Mensesneg Pratikno, yang menyatakan RUU Masyarakat Adat belum penting disahkan, karena dua alasan. “Pertama karena sudah banyak peraturan yang mengatur masyarakat adat. Kedua argumentasi ekonomi,” katanya.

Argumentasi pertama ada benarnya. Memang terdapat sekitar 25 regulasi yang mengatur masyarakat adat. Namun keberadaan sedemikian banyak uu sektoral ini semakin menyulitkan masyarakat adat untuk menikmati hak tradisionalnya. Setiap UU memiliki cara pandang tersendiri tentang masyarakat adat, baik dari segi kriteria maupun objek hak yang diatur.

Kemudian argumentasi ekonomi. Terdapat kekhawatiran bahwa lahirnya UU Masyarakat Adat akan membebani APBN dan akan mengganggu investasi. Sebuah kajian terkait valuasi ekonomi masyarakat yang telah dilakukan AMAN sebenarnya bisa menjawab hal itu.

Arman menyebutkan bahwa ada tiga hal mendasar dari kesimpulan valuasi ekonomi itu.

“Pertama, masyarakat adat bisa mandiri secara ekonomi tanpa kehadiran investasi sekalipun, asalkan negara hadir mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat.  Kedua, dapat memicu geliat ekonomi karena sebenarnya dengan pengakuan hak masyarakat adat itu terdapat modalitas yang dimiliki masyarakat adat untuk mengelola wilayah adatnya,” paparnya.

“Ketiga, bisa menjamin kepastian dan keamanan investasi. Masyarakat adat jika diakui, dihormati secara holistik dengan UU Masyarakat Adat, maka itu bisa menjamin kepastian hukum, tidak hanya kepada masyarakat adat tetapi juga kepada investasi, karena jelas dengan siapa akan berhubungan ketika ada proses-proses pembangunan di sana,” katanya.

RUU Masyarakat adat juga masuk dalam Prolegnas 2021, namun kali ini ada yang berbeda dengan sebelumnya. Kalau sebelumnya tidak ada penolakan secara eksplisit dari DPR, namun untuk saat ini Fraksi Golkar dalam rapat antara Baleg dengan pemerintah secara tegas menolak pembahasan RUU Masyarakat Adat dalam prolegnas prioritas 2021.

Alasannya bahwa sudah ada banyak UU yang mengatur dan sudah ada UU Cipta Kerja yang dianggap sudah cukup bagi masyarakat adat.

“Kita belum tahu kondisi mendatang karena cengkeraman kekuasaan begitu besar, ada banyak perdebatan RUU ini. Tantangannya adalah bagaimana mengakomodasi semua kepentingan itu tanpa melupakan substansi terhadap keadilan bagi masyarakat di dalam proses-proses pembangunan, karena keadilan dalam konteks demokrasi itu berangkat dari filosofi ‘dari, oleh dan untuk rakyat’,” urainya.

“Saya kira apa pun proses yang ingin dilalui itu harus berimplikasi dan memberi kemanfaatan bagi seluruh bangsa dan masyarakat adat,” tandasnya.

 

Related posts