Boedi Oetomo, Pemantik Kebangkitan – Sebuah Puisi Sejarah

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Generasi muda hari ini adalah generasi dengan akses pengetahuan yang melimpah, tapi mungkin banyak yang minim  idealisme yang menjadikan pengetahuan hanya menjadi komoditas, bukan cahaya.

PELAKITA.ID – Pada pagi yang nyaris tak disebut dalam lembar-lembar kisah heroik bangsa, lahir getar pertama dari detak kebangkitan nasional.

Bukan dari suara meriam atau genderang perang, tetapi dari percakapan pelan di lorong-lorong sekolah kedokteran, dari pena yang menari di atas kertas, dari hati muda yang letih menjadi bangsa yang dibungkam.

Pagi itu, di tanggal 20 Mei 1908, sejarah Indonesia diam-diam berubah arah. Sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo didirikan—dan dari sanalah cahaya pertama kebangsaan dinyalakan.

Boedi Oetomo bukan sekadar organisasi, ia adalah tafsir awal atas mimpi tentang tanah air yang merdeka.

Didirikan oleh sekelompok pelajar STOVIA—Sekolah Kedokteran Bumiputera di Batavia—yang dipelopori oleh seorang mahasiswa tahun ketiga bernama Soetomo, organisasi ini menjadi tonggak pertama bangkitnya kesadaran nasional di tengah tirani kolonial Belanda yang telah mencengkeram nusantara selama lebih dari tiga abad.

Soetomo, pemuda kelahiran Nganjuk tahun 1888, bukan hanya seorang calon dokter, ia adalah anak muda yang terjaga. Dalam pikirannya bersemayam dua hal: pengetahuan dan gelisah.

Pengetahuan yang ia peroleh dari pendidikan Barat yang menjadikannya modern dalam nalar, dan kegelisahan yang tumbuh dari kenyataan sosial bangsanya yang miskin, terbelakang, dan terjajah. Ia menyadari, pendidikan tidak cukup bila tidak disertai organisasi.

Maka bersama teman-teman seperjuangannya seperti Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeradji Tirtonegoro, Soetomo menggagas Boedi Oetomo, yang dalam bahasa sansekerta berarti “budi yang luhur”, sebagai kendaraan perjuangan kaum terpelajar.

Boedi Oetomo lahir dari ilham yang lebih besar dari sekadar semangat muda. Ia adalah anak zaman dari lahirnya politik etis—suatu kebijakan kolonial yang muncul setelah desakan kaum etis Belanda, seperti Van Deventer, agar negeri jajahan diberikan perhatian lebih, terutama dalam bidang pendidikan.

Sebaliknya, Boedi Oetomo tidak sekadar menerima hadiah dari politik etis, ia melampauinya. Ia menjadikan pendidikan sebagai benih kesadaran nasional. Ia menjadikan ilmu sebagai jalan menuju kebebasan.

Pada awalnya, Boedi Oetomo tidak berbicara politik secara terbuka. Ia lebih fokus pada kemajuan kebudayaan, pendidikan, dan perbaikan sosial masyarakat pribumi.

Di balik sikap moderat itu, sesungguhnya bersembunyi nyala yang tak mungkin lagi dipadamkan: bahwa pribumi—yang selama ini dipinggirkan—telah menyadari dirinya sebagai bangsa. Ini bukan lagi gerakan etnis Jawa semata, tetapi awal dari gagasan Indonesia modern.

Pada Kongres Pertama Boedi Oetomo yang digelar di Yogyakarta, bulan Oktober 1908, dikumandangkan seruan untuk mempersatukan kaum bumiputera yang tercerai-berai oleh batas budaya, bahasa, dan kepentingan lokal.

Di sana lahir semangat persatuan, jauh sebelum Sumpah Pemuda 1928 menyuarakannya dengan lantang. Boedi Oetomo menjadi benih yang mengakar dalam sejarah pergerakan nasional.

Sejarawan Ong Hok Ham pernah menyatakan bahwa Boedi Oetomo adalah awal dari politik berbasis nasionalitas. “Boedi Oetomo tidak membawa senjata, tapi ia membawa kesadaran.

Ia tidak menggulingkan kekuasaan, tetapi menggoyahkan dasar legitimasi kolonial dengan pengetahuan dan martabat.” Itulah kekuatan paling dalam dari organisasi ini: ia menyalakan akal dan hati.

Pada masa-masa awal berdirinya, Boedi Oetomo memang didominasi oleh priyayi dan kaum terdidik. Kritik datang dari berbagai kalangan karena dianggap terlalu elitis dan kurang9 merangkul massa. Namun dari situlah sejarah belajar, bahwa perjuangan membutuhkan keberanian untuk memperluas basis sosial.

Boedi Oetomo menjadi pemantik, dan dari kobaran itu lahirlah organisasi-organisasi lain: Sarekat Islam (1912), Indische Partij (1912), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), hingga akhirnya Partai Nasional Indonesia (1927) yang dengan tegas menyuarakan kemerdekaan penuh.

Boedi Oetomo mungkin tidak memproklamirkan revolusi, tetapi ia membuka pintu bagi segala kemungkinan. Dan lebih dari itu, ia memberikan kepada kita satu pelajaran paling berharga: bahwa kebangkitan tidak selalu dimulai dari jalanan yang bising, kadang ia tumbuh dalam diam, dalam renungan dan bacaan, dalam pertemuan kecil yang penuh keyakinan.

Ia tumbuh dari hati muda yang mencintai bangsanya, bukan dengan benci, tetapi dengan tekad untuk memperbaikinya.

Kini, lebih dari seabad sejak kelahirannya, kita mengenang Boedi Oetomo bukan hanya sebagai catatan sejarah, melainkan sebagai cermin bagi zaman kita.

Apakah kita masih menyimpan budi yang utama dalam kehidupan berbangsa hari ini? Apakah pendidikan kita masih mencetak pemuda yang terjaga seperti Soetomo, atau sekadar manusia-manusia birokratis yang terjebak dalam gelar dan gengsi?

Di tengah zaman digital yang seakan melaju tanpa arah, di tengah generasi muda yang sering tercerabut dari akar sejarahnya, kita membutuhkan kembali ruh Boedi Oetomo.

Ruh yang percaya bahwa ilmu harus berpihak kepada rakyat. Bahwa budi pekerti adalah pilar dari pembangunan. Bahwa masa depan bangsa bukan ditentukan oleh kekuatan luar, tetapi oleh keteguhan hati dalam.

Boedi Oetomo adalah puisi pertama dalam kitab besar bernama Indonesia. Sebuah puisi yang ditulis dengan cita dan cinta. Cita tentang negeri yang merdeka, dan cinta kepada tanah tempat kita berpijak.

Ia mengajarkan kita bahwa perjuangan adalah kewajiban moral, bukan sekadar pilihan politik. Bahwa menjadi Indonesia, adalah pilihan sadar yang penuh tanggung jawab.

Hari ini, ketika tanggal 20 Mei dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sejatinya kita sedang diajak untuk bertanya: sudahkah kita bangkit?

Atau masihkah kita terlelap dalam ketidakpedulian dan kebanggaan palsu?

Generasi muda hari ini adalah generasi dengan akses pengetahuan yang melimpah, tapi mungkin banyak yang minim  idealisme yang menjadikan pengetahuan hanya menjadi komoditas, bukan cahaya.

Karena itu, marilah kita hidupkan kembali semangat Boedi Oetomo, bukan hanya dalam seremoni, tetapi dalam tindakan.

Dalam ruang kelas yang membebaskan, dalam media sosial yang mencerahkan, dalam ruang publik yang mempersatukan, dalam karya-karya yang membangun peradaban. Karena kebangkitan sejati bukan hanya mengenang, tetapi melanjutkan.

Boedi Oetomo mungkin telah menjadi nama dalam buku sejarah, tapi semangatnya adalah warisan yang tak pernah mati. Sebab selama masih ada anak muda yang berani bermimpi untuk bangsanya, Boedi Oetomo akan selalu hidup—di dada kita, di langkah kita, dan di masa depan yang kita ciptakan bersama.

Selamat !Hari Kebangkitan Nasional!

Penulis: Muliadi Saleh
Editor: Denun