Cerita Gunung dan Keindahan yang Abadi

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

PELAKITA.ID – Dari kejauhan, gunung tampak seperti lukisan langit yang digoreskan tangan semesta. Warna birunya menyatu dengan cakrawala, menyibak batas antara bumi dan angkasa.

Berdiri kokoh, tegap, dan diam, ia menjadi simbol kekuatan yang tak terucapkan—penjaga waktu yang menyimpan rahasia ribuan tahun lamanya.

Dari jauh, ia terlihat tenang, hampir bisu, namun aura kebesarannya terasa bahkan sebelum langkah kaki pertama memijak tanah di kakinya.

Gunung bukan sekadar gundukan tanah yang menjulang. Ia adalah kehidupan yang diam-diam bernapas dalam napas angin, dalam gemerisik ranting, dan dalam kabut yang menggantung manja di pucuk-pucuk puncaknya.

Saat kita mendekat, ia tak lagi sekadar biru; ia menjadi lukisan hidup. Hijau dedaunan yang berlapis-lapis menyambut, diselingi cokelat tanah, merah bunga yang menyembul dari semak, dan kuning daun yang gugur dalam sunyi. Semua warna berpadu bagai orkestra visual yang menggetarkan jiwa.

Gunung menyimpan cerita—bukan hanya tentang letusan atau gempa yang tercatat dalam buku sejarah, tetapi tentang jejak-jejak manusia yang datang membawa harapan, doa, rindu, bahkan luka.

Ada yang mendaki dengan semangat menaklukkan, ada pula yang datang membawa sunyi di dada, mencari ruang untuk pulang kepada dirinya sendiri. Gunung menyambut semuanya dengan pelukan dingin yang menenangkan.

Saat mendaki, setiap langkah adalah percakapan sunyi antara kaki dan bumi. Akar-akar yang melintang menjadi tantangan sekaligus pengingat bahwa keindahan tak pernah mudah diraih. Nafas tersengal, tubuh letih, namun hati terus digerakkan oleh bisikan lembut dari kejauhan—bahwa di atas sana, ada makna yang menanti untuk ditemukan.

Gunung tak hanya memberi pemandangan, ia menyuguhkan pengalaman spiritual. Ketika kabut menyelimuti jalur pendakian, rasa takut dan kagum menyatu. Gunung menunjukkan sisi misteriusnya: diam namun hidup, sepi namun bercerita.

Kabut itu seolah menyimpan pesan-pesan masa lalu—tentang suku-suku yang pernah bermukim di lerengnya, tentang doa-doa yang dibisikkan dalam senyap, tentang para pendaki yang tak pernah kembali, namun jiwanya menetap di antara cemara dan batu.

Namun ketika kabut menghilang dan matahari menyibak celah langit, gunung memperlihatkan wajah lainnya: wajah kejernihan dan keindahan yang memeluk hati.

Udara segar menusuk paru-paru, embun pagi membasahi kulit, dan suara burung menjadi kidung yang mengiringi langkah. Daun-daun menari bersama angin, air terjun bernyanyi dari kejauhan. Segalanya terasa hidup. Segalanya terasa hadir.

Gunung adalah tempat di mana manusia kembali menjadi kecil. Ia meruntuhkan kesombongan dan menyisakan kekaguman.

Kita mendaki dengan segala ambisi, namun ketika berdiri di puncaknya, yang tersisa hanyalah diam. Sebab hanya diam yang mampu mewakili rasa haru yang menyatu dengan langit saat mata memandang luasnya dunia dari atas sana.

Puncak bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari pemahaman. Di sana, kita tak menemukan kemenangan, tetapi perenungan—bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki waktu, memiliki jalan, memiliki ujian, dan memiliki tujuan. Gunung mengajarkan bahwa hidup adalah tentang proses; tentang ketekunan menapaki tanjakan, dan kesabaran saat harus berhenti dan menanti.

Tanpa mendekat, kita tak akan tahu bahwa di balik biru gunung itu ada pelangi yang tersembunyi. Tanpa menyentuh, kita tak akan tahu lembutnya embun yang menempel di ranting.

Tanpa mendaki, kita tak akan pernah tahu bahwa dalam sunyi gunung, ada nyanyian alam yang tak bisa ditulis dengan kata-kata.

Gunung, pada akhirnya, bukan hanya tempat untuk dilihat, didaki, atau difoto. Ia adalah pengalaman jiwa. Ia adalah altar tempat langit dan bumi bersujud bersama.

Ia adalah naskah alam yang dibacakan melalui desir angin, gerak rumput, dan detak jantung yang berpacu seiring tanjakan. Ia adalah guru diam yang mengajarkan makna keheningan, ketulusan, dan kerendahan hati.

Mereka yang pernah menapaki jalurnya akan membawa pulang lebih dari sekadar kenangan. Mereka membawa pulang rasa yang tak bisa dijelaskan—kecuali oleh mereka yang benar-benar pernah berjumpa dengan gunung, bukan sebagai objek wisata, melainkan sebagai sahabat jiwa.

Dan pada akhirnya, kita akan sadar:

Kita tidak mendaki untuk mengalahkan gunung.
Kita mendaki untuk mengenal diri sendiri,
untuk menyatu dengan semesta,
dan untuk menemukan kedamaian
dalam misteri dan keindahan yang abadi.

Moel, 10/5/2025