PELAKITA.ID – Dalam workshop ‘Menulis Isu Desa-Kota’ yang digelar Pelakita.ID, penulis dan budayawan Moch Hasymi Ibrahim menyampaikan refleksi mendalam mengenai pentingnya penulisan warga (citizen journalism) sebagai bagian dari penguatan informasi publik.
Ia menyoroti pergeseran besar dalam dunia media—dari dominasi media arus utama ke peran signifikan warga biasa yang kini dapat menjadi penulis, pembuat berita, dan penyebar informasi melalui perangkat digital yang mereka genggam setiap hari.
Hasymi mengawali refleksinya dengan menekankan pentingnya membedakan antara public goods (kebutuhan publik) dan private goods (kepentingan pribadi).
Menurutnya, orientasi penulisan warga sebaiknya berangkat dari semangat mengangkat isu-isu publik, bukan sekadar mengikuti tren atau mengejar klik semata.
“Di era sekarang ini, semua orang bisa menjadi sumber sekaligus penulis dan pembuat berita,” ujar Hasymi.
Ia mengingat kembali masa-masa awal perkembangan jurnalisme warga atau citizen journalism di Indonesia, yang diadopsi dari praktik serupa di Korea Selatan melalui platform OhmyNews.
Kala itu, komunitas-komunitas lokal menggunakan kanal seperti Yahoo Groups untuk bertukar ide dan mempublikasikan tulisan-tulisan yang berangkat dari pengalaman nyata di lingkungan mereka.
Hasymi menyebut beberapa contoh, seperti tulisan-tulisan tentang Galesong yang ditulis secara konsisten oleh seorang warga hingga menjadi rujukan utama, atau kisah dari Toraja yang penuh dengan dinamika sosial dan budaya.
Ia menegaskan bahwa meskipun jurnalisme menuntut objektivitas, penulisan berbasis warga tetap sah membawa sudut pandang subjektif yang kuat—selama tidak menyesatkan.
Dalam praktiknya, ia menyoroti contoh sukses dari seorang warga Kompleks Gunungsari, Ibu Meta Sekar – akademisi Unhas, yang menulis dan mendokumentasikan perubahan lingkungan tempat tinggalnya, termasuk ketika pemerintah mengizinkan pembangunan hotel di tengah kawasan hunian.
Hasymi melihat ini sebagai bentuk nyata partisipasi warga dalam mengawal kebijakan publik lewat tulisan.

Dekat Lebih Berdampak
Hasymi kemudian menekankan pentingnya kedekatan isu dalam tulisan. Ia menyebut konsep proximity dalam ilmu komunikasi: isu-isu yang terjadi di sekitar kita lebih mudah menyentuh, menarik perhatian, dan mendorong aksi.
“Masalah di Bonggakaradeng, misalnya, tentang uang miliaran yang dihabiskan untuk lomba laga tedong, itu problem sosial yang kuat. Tapi kalau kita tak menulis, siapa yang akan tahu?”
Selain kedekatan, ia juga menggarisbawahi pentingnya nilai human interest.
Tulisan yang menyoroti warga terdampak banjir, misalnya, bisa diangkat menjadi narasi kuat dengan memasukkan sudut pandang korban dan mengaitkannya ke kebijakan atau problem struktural.
Antara Tantangan dan Peluang
Namun, di tengah perubahan teknologi dan kebiasaan konsumsi media, Hasymi juga mencermati tantangan yang dihadapi para jurnalis dan penulis warga. Saat ini, konten video—terutama pendek di platform seperti TikTok dan Instagram—lebih digemari.
Menurutnya, meski media berubah, narasi tetap menjadi jantung dari setiap karya komunikasi.
“Menulis masih penting, bahkan untuk bikin video kita butuh naskah. Jadi keterampilan menulis jangan ditinggalkan.”
Hasymi juga mengingatkan bahwa bila orientasi utama adalah klik dan viralitas, penulis bisa mudah frustrasi.
Oleh karena itu, ujar pria yang akrab disapa Kak Ami ini, ia mendorong untuk kembali ke basis awal: menulis dari lingkungan sekitar, menyuarakan suara warga, dan membangun kesadaran publik.
Di akhir refleksinya, Hasymi mengajak agar komunitas penulis warga tetap berpegang pada prinsip bahwa mereka bukan sekadar konsumen berita, tapi juga produsen pengetahuan.
“Kita ini media. Kita bisa menulis apa saja. Tapi fokus kita: masalah publik, masalah nyata di sekitar kita.”
Redaksi