PELAKITA.ID – Di atas Selat Lampah, Natuna, Kepulauan Riau, matahari bersinar terik ketika seorang perempuan paruh baya tiba-tiba berseru dengan suara lantang.
“Kalian tidak takut buaya?” tanyanya kepada tiga pria yang sedang berdiri di atas rakit persegi berukuran dua kali dua meter. Salah satu dari mereka tengah menarik tali yang terikat pada pagar Pelabuhan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di sisi selatan Pulau Natuna. Mereka baru saja selesai memasang lampu tanda di laut dan bersiap kembali ke daratan.
“Takut, Bu!” jawab mereka serempak.
“Pastikan kalian selalu pakai pelampung saat bekerja di laut, biar aman,” lanjutnya penuh perhatian.
Tiga pria itu adalah pekerja di salah satu sentra usaha kelautan dan perikanan yang didirikan untuk mengembangkan sektor perikanan di perbatasan. Natuna sendiri merupakan satu dari tiga belas lokasi strategis yang terus dikembangkan sebagai SKPT.
Sang perempuan kemudian meraih segelas kopi hitam di sebelahnya, menyesapnya perlahan, lalu berdiri dan meregangkan tubuhnya. Meski cuaca cukup panas, awan tipis yang menggantung di langit Selat Lampah serta semilir angin Laut Natuna membuat suasana terasa lebih nyaman. Berdiri dengan kacamata bulatnya, ia menatap langit yang memberikan keteduhan.
“Laut kita ini rawan, tapi sangat vital bagi masa depan bangsa,” ucapnya penuh makna.
Menurutnya, membangun kawasan perbatasan seperti SKPT bukan sekadar soal mengembangkan ekonomi lokal. Ada begitu banyak kepentingan yang saling terkait, dan semuanya harus diurus dengan tekad yang kuat.
“Kita harus berani menjaga laut kita dari incaran nelayan asing yang makin nekat,” tambahnya lirih.
Perempuan itu adalah Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan yang membawa angin segar dalam pemerintahan Jokowi-JK. Sejak awal, ia memahami visi Presiden yang menempatkan laut sebagai masa depan bangsa. Ia pun merumuskan tiga pilar kebijakan: kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan.
Pemikirannya terhadap laut dan pesisir Indonesia bukan sekadar wacana, melainkan refleksi mendalam yang kemudian diterjemahkan dalam kebijakan konkret di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Mulai dari membangun kawasan perbatasan, memberantas pencurian ikan oleh kapal asing, mengontrol perdagangan benih lobster, hingga mendorong budidaya perikanan yang berkelanjutan.
Ia juga menaruh perhatian besar pada isu lingkungan seperti sampah plastik dan destructive fishing, serta mendorong kolaborasi dalam pengembangan SKPT.
Bagi Susi, SKPT bukan hanya infrastruktur, melainkan strategi untuk memperkuat kedaulatan dan ekonomi maritim Indonesia. Dengan adanya SKPT, ekspor ikan tidak harus lagi melalui Jakarta, Surabaya, atau Makassar, tetapi bisa langsung dari lokasi strategis ini ke negara-negara tujuan seperti Australia, Jepang, dan Singapura.
Ia berharap pemerintah daerah dapat mendukung penuh inisiatif ini dengan mengalokasikan sumber daya dan menyederhanakan regulasi.
Pengembangan sektor kelautan, menurutnya, bukan hanya tentang produksi, tetapi juga tentang efisiensi rantai pasok. Ia kerap menyuarakan perlunya infrastruktur seperti airstrip atau bandara kecil di daerah perbatasan seperti Saumlaki (Maluku), Rote Ndao (NTT), dan Sebatik (Kalimantan Utara) agar pengiriman hasil laut lebih cepat dan efisien.
“Pulau-pulau terluar bisa menjadi pusat peternakan juga, bukan? Kambing, ayam, atau apa saja,” katanya suatu kali, menegaskan gagasan tentang pengembangan wilayah perbatasan dengan berbagai alternatif usaha.
Pemikiran Susi Pudjiastuti lahir dari pengalaman panjangnya sebagai pelaku usaha perikanan. Ia paham betul bagaimana ekosistem laut bekerja, bagaimana eksploitasi berlebihan dapat menyebabkan stok ikan menurun drastis. Itulah mengapa ia begitu vokal menentang praktik penangkapan ikan yang merusak dan mendorong upaya konservasi.
Di Pulau Hatta, Maluku, saat menghadiri Pesta Sail Banda 2017, ia mengingatkan bahwa tanpa pengelolaan yang bijak, stok lobster, kerapu, teripang, tuna, hingga hiu bisa habis dalam waktu singkat.
“Kalau tidak dikendalikan, sumber daya laut kita bisa habis,” tegasnya.
Prinsip ini kemudian berkembang menjadi gagasan besar yang disebut ‘Susinisasi’—yakni pendekatan efisiensi dan efektivitas dalam tata kelola sektor kelautan.
Salah satu bentuk Susinisasi adalah reformasi dalam penggunaan anggaran. Misalnya, pengurangan biaya perjalanan dinas dan rapat-rapat di hotel, serta perampingan nomenklatur anggaran agar lebih relevan dengan kebutuhan zaman. Dalam program bantuan perikanan, ia menegaskan bahwa 80% dana harus langsung dinikmati nelayan, sementara hanya 20% dialokasikan untuk kegiatan pendukung.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti perlunya koordinasi antarinstansi dalam pembangunan infrastruktur perikanan. Menurutnya, pengadaan kapal ikan misalnya, tidak boleh terhambat oleh birokrasi yang lamban. DPR RI sendiri mendukung penuh program ini, dan Susi berharap program ini dapat terus berlanjut dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Dalam ranah budidaya perikanan, ia mengutamakan prinsip keberlanjutan. Pestisida dan pakan ikan yang tidak ramah lingkungan harus dikurangi, sementara penggunaan pakan lokal harus lebih didorong.
“Pakan mandiri atau pakan buatan dalam negeri harus jadi prioritas,” ucapnya dalam sebuah pertemuan dengan ILUNI.
Sementara dalam pengawasan sumber daya kelautan, Susi mendorong pemanfaatan teknologi seperti pemantauan satelit dan pesawat patroli untuk mengawasi perairan perbatasan. Sayangnya, upaya pengadaan pesawat untuk keperluan ini sempat terhenti di tengah jalan. Namun, ia tetap percaya bahwa investasi dalam pengawasan perbatasan adalah keharusan.
Susinisasi juga mencakup reformasi birokrasi, termasuk usulan ‘Golden Handshake’ (GHS), yaitu skema pensiun dini dengan kompensasi. Meski belum terealisasi, ia percaya bahwa jika diterapkan secara nasional, kebijakan ini dapat meningkatkan efisiensi dan kinerja ASN.
Salah satu metode uniknya dalam mengelola kementerian adalah ‘Retreat KKP’—pertemuan tahunan bagi jajaran KKP untuk membahas isu-isu strategis, menyusun rencana kerja, dan mengevaluasi kinerja. Dalam forum ini, transparansi dan diskusi terbuka menjadi kunci.
“Ternyata di Rapat Terbatas, Presiden mengingatkan para Menteri agar tidak boleh dibohongi oleh bawahannya,” ujarnya suatu kali, menirukan pesan Presiden Jokowi.
Komitmen Susi terhadap reformasi birokrasi juga terlihat dalam upayanya menyederhanakan administrasi di KKP. Salah satunya adalah kebijakan ‘one website policy’, yang menyatukan semua informasi dalam satu portal agar lebih efisien.
Dengan segala gebrakannya, Susi Pudjiastuti telah menunjukkan bahwa kepemimpinan yang visioner dan berani dapat membawa perubahan nyata.
“Kita harus bekerja dengan hati, dengan semangat. Jika kita bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan dengan benar, kita akan menjadi bagian dari bangsa yang bahagia,” tutupnya.