PELAKITA.ID – Saat ini, Kabupaten Pohuwato, di Gorontalo, dihadapkan pada berbagai tantangan besar. Anggaran daerah terus dipangkas, sementara perusahaan tambang skala besar, khususnya emas, bersiap untuk masuk.
“Dampaknya tentu tidak sederhana. Isu masyarakat, lingkungan, hingga keberlanjutan harus dipertimbangkan dengan saksama,” kata Kamaruddin Azis, founder Pelakita.ID yang juga sekretaris eksekutif The COMMIT Foundation.
Di tengah transisi pemerintahan Saipul H. Mbuinga, sebagai bupati baru terpilih, muncul berbagai pertanyaan besar.
Bagaimana menghadapi pengurangan sumber daya? Bagaimana menjaga keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam dan kepentingan rakyat?
Inilah yang menjadi sorotan dalam diskusi bersama Prof. Muhd Nur Sangadji, seorang akademisi dan pemikir strategis. Mari simak pandangan akademisi Fakultas Pertanian Univeritas Tadulako Palu, yang juga dosen Kepala Bapelitbang, Irfan Saleh, S.Pt, M.Si, semasa kuliah di Untad.
Di Mana Kita Sekarang?
Nur Sangadji menyebut dalam era yang penuh kesulitan ini, ada satu nasihat bijak yang patut direnungkan:
Ketika zaman sulit, lahirlah orang-orang cerdas. Orang-orang cerdas menciptakan keadaan yang lebih mudah. Namun, kemudahan melahirkan orang-orang malas, yang akhirnya menghasilkan orang-orang bodoh.
Pada akhirnya, orang-orang bodoh akan membuat negeri ini semakin terpuruk.
Maka, pertanyaannya: di tahap manakah kita berada saat ini? Dalam pemaparannya, Muhd Nur Sangadji menyinggung konsep 4R yang dikenalkan oleh Ramirez:
- Right – Hak
- Responsibility – Tanggung jawab
- Relationship – Hubungan
- Revenue – Pendapatan
“Sering kali, kita terjebak dalam kesalahan berpikir dengan menempatkan pendapatan sebagai prioritas utama, sementara hak, tanggung jawab, dan hubungan dikesampingkan. Padahal, keberlanjutan suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh keuntungan ekonomi, tetapi juga oleh keadilan sosial, integritas pemerintahan, dan keseimbangan ekologi,” ucapnya.
Menurut Nur, salah satu ancaman terbesar bagi negeri ini adalah meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah (civil disobedience).
“Jika masyarakat sudah tidak peduli, maka seolah negara ini tidak lagi memiliki makna. Oleh karena itu, membangun kembali kepercayaan publik menjadi agenda yang sangat penting, dan pintu masuknya adalah kebudayaan,” sebutnya.
Kebudayaan bukan hanya soal seni dan tradisi, tetapi juga mencerminkan habit (kebiasaan) dan identity (identitas). Pembangunan harus berbasis pada kebutuhan masyarakat (community need) dan kepekaan terhadap bencana (sensitivity to disaster), baik bencana alam maupun sosial.
Tanpa itu, kebijakan yang dibuat hanya akan menjadi konsep kosong tanpa implementasi nyata.
Dilema Pengelolaan Sumber Daya
“Sebagai contoh, mari kita lihat kondisi di Pohuwato, di mana 70% wilayahnya adalah hutan. Ada rencana pembukaan lahan sawah dalam skala besar, mencapai puluhan ribu hektare. Ini tentu bukan hal yang buruk, tetapi harus dipastikan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan tidak terabaikan. Tanpa perhitungan matang, bukannya membawa manfaat, langkah ini justru bisa menciptakan bencana lingkungan yang lebih besar,” terangnya.
Kata Nur, kondisi serupa juga terjadi di Morowali dan Morowali Utara. “Ada ungkapan dari Prabowo yang berbunyi, “Untuk apa jalan bagus kalau rakyat masih lapar?” Namun, kenyataannya lebih ironis—di beberapa daerah, rakyat tetap lapar dan jalan juga tetap buruk,” ucap Nur.
Persoalan ini bukan sekadar masalah infrastruktur, tetapi juga menyangkut otoritas dan tanggung jawab. Ada kebingungan antara kewenangan pusat dan daerah dalam mengelola sumber daya. Salah kelola ini menyebabkan berbagai kebijakan penting terbengkalai.
Solusi: Pendidikan dan Kepemimpinan Berkelanjutan
Di tengah segala tantangan ini, harapan tetap ada. Salah satu solusi menarik yang diajukan dalam diskusi adalah program beasiswa yang tidak membebani anggaran daerah.
“Ide ini berbasis pada integrasi riset mahasiswa dengan kebutuhan daerah. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana tambahan, tetapi tetap mendapatkan penelitian berkualitas yang diawasi oleh akademisi,” ujar Nur.
“Lebih dari itu, kesinambungan kepemimpinan menjadi aspek krusial. Prof. Muhd Nur Sangadji menekankan pentingnya kaderisasi di dalam pemerintahan. Pak Irfan, yang saat ini berada di Bappeda, diharapkan tidak berhenti di posisinya saat ini, tetapi melangkah lebih jauh, bahkan menjadi bupati di masa mendatang” tambahnya.
Seperti kisah Nabi Yusuf dalam Al-Qur’an, ketika ia ditawari posisi oleh raja, ia tidak ragu untuk berkata: “Tolong berikan saya posisi sebagai bendahara negara.”
Jadi, mengapa tidak? Jika seseorang memiliki kapasitas untuk membawa perubahan, maka ia harus siap mengambil tanggung jawab yang lebih besar.
Kesimpulan: Ekosistem yang Seimbang untuk Masa Depan
Pesan terakhir yang disampaikan dalam diskusi ini adalah tentang ekosistem. Hutan adalah bagian dari pertanian, dan pertanian adalah bagian dari kehidupan.
“Jika kita menghancurkan hutan tanpa perhitungan, maka sektor pertanian akan terdampak. Jika pertanian terganggu, maka kehidupan masyarakat pesisir pun akan terkena imbasnya,” sebutnya.
“Maka, menata pembangunan daerah bukan sekadar soal angka dan target, tetapi tentang memahami keterkaitan antar-sektor, membangun kepemimpinan yang berkelanjutan, serta memastikan kebijakan yang dibuat benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat,” ucap dia.
“Akhir kata, ini bukan hanya tantangan bagi Pak Irfan atau pemerintah daerah semata, tetapi juga bagi kita semua. Karena masa depan daerah, dan bangsa ini, ditentukan oleh bagaimana kita menyikapi hari ini,” pungkasnya.
Editor K. Azis