Wacana Ganti Nama Jalan Perintis Kemerdekaan Jadi Jalan Prof Ahmad Amiruddin

  • Whatsapp
Penulis bersama sejumlah aktor saat membincang ketokohan Prof Ahmad Amiruddin (dok: Istimewa)

Kampus Unhas pindah dari Baraya ke Tamalanrea berkat gagasannya yang cemerlang. Meski sempat ada kendala, akhirnya berdiri megah kampus merah di atas lahan seluas 220 ha.

PELAKITA.ID – “Perlu ini kita buat petisi atau deklarasi supaya mengganti nama Jalan Perintis Kemerdekaan menjadi Jalan Prof Ahmad Amiruddin.”

Ini wacana yang mengemuka dalam obrolan sebelum acara Peluncuran Buku “A. Amiruddin, Nakhoda dari Timur” yang dihelat di Unhas Hotel & Convention, Kampus Unhas, Tamalanrea, Makassar, Jumat, 7 Maret 2025.

Buku edisi revisi ini ditulis oleh M Dahlan Abubakar, Rudy Harahap, SM Noor, Baso Amir, dan Ridwan Effendy.

Saya, Hendra Sinadia dan Lexi M Budiman dari deHills Institute, serta Azhar Mattone dan Dr Fadli Andi Natsif terlibat dalam obrolan yang mengasyikkan itu.

Hendra Sinadia, senior saya di Fakultas Hukum Unhas (Angkatan 84), saya kenal ketika ikut dalam kepanitiaan Jazz Goes to Campus di tahun 1989. Hendra kini merupakan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesia Mining Association (IMA).

Lexi M Budiman, inisiator acara peluncuran buku ini merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran (Angkatan 86) dan FISIP (Angkatan 85). Lexi merupakan Eksekutif Produser dan Founder deHills Music Production.

Kalau Fadli Andi Natsif, juga kakak tingkat saya di Fakultas Hukum. Sedangkan Azhar Mattone, yang biasa disapa Pak Hans, merupakan alumni Fakultas Pertanian.

Duduk tak jauh dari kami, Prof Dr Andi Pangerang Moenta, Guru Besar Fakultas Hukum Unhas, dan Andi Wanua Tangke, seorang penulis produktif dan penerbit, alumni Fakultas Sastra.

Fadli Andi Natsif sempat menyampaikan tema obrolan kami ke Prof Andi Pangerang Moenta, lalu dibalas oleh Ketua Dewan Profesor Unhas itu bahwa hal yang sama pernah digagas. Hanya saja, tidak serius dilakukan.

“Diskusi tak resmi” ini berlanjut. Sedemikian serunya, sampai-sampai kami lebih memilih berdiri sambil ngobrol daripada duduk di ruangan yang ditata gaya banquet itu.

Kami yang ikut dalam diskusi bersepakat bahwa kontribusi Prof Ahmad Amiruddin bukan cuma bagi Universitas Hasanuddin (Unhas) tapi juga untuk Sulawesi Selatan dan Indonesia. Dalam buku setebal lebih 600 halaman itu, kisah hidup, perjalanan karier, rekam jejak, dan kesaksian sejumlah tokoh meneguhkan kontribusinya.

Prof Ahmad Amiruddin merupakan ahli kimia nuklir. Pria kelahiran Gilireng, Wajo, 25 Juli 1932 itu semasa hidupnya punya jabatan publik yang mentereng. Beliau merupakan Rektor Unhas (1973-1982), Gubernur Sulawesi Selatan, dua periode (1983-1988 dan 1988-1993), dan sebagai Wakil Ketua MPR RI (1993-1997).

Namun bukan karena jabatan itu nama gubernur sipil pertama di era Orde Baru itu perlu dijadikan sebagai nama jalan, melainkan karena kontribusinya bagi daerah ini. Sebab, ada banyak pejabat tapi sama sekali tak meninggalkan legacy, sebagaimana Prof Ahmad Amiruddin.

Tokoh kita ini, boleh dikata banyak menelorkan kader yang nanti kita kenal mereka sebagai intelektual, teknokrat, dan birokrat andal. Beliau merupakan seorang yang visioner, yang mumpuni dalam pemetaan dan penataan SDM, lembaga, dan kawasan.

Beliau banyak melakukan terobosan dan mengubah lanskap Kota Makassar, yang merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan.

Kampus Unhas pindah dari Baraya ke Tamalanrea berkat gagasannya yang cemerlang. Meski sempat ada kendala, akhirnya berdiri megah kampus merah di atas lahan seluas 220 ha.

Bukan hanya gedung dan fasilitas yang dibenahi, juga para pengajarnya, diberi akses dan fasilitas untuk meningkatkan pendidikan pada magister dan doktorak. Kerja sama dilakukan dengan kampus-kampus di manca negara.

Karena itu, saya dalam obrolan kami itu menyampaikan, perlu dikasi bunyi usulan tersebut dalam acara peluncuran buku, biar lebih banyak mendapat dukungan. Sebab, usulan bisa dilakukan oleh komunitas, dalam hal ini melalui IKA Unhas.

Usulan ini sejatinya tak hanya bertalian dengan penanda fisik, berupa nama jalan. Lebih daripada itu, terkait dengan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai, konsep kepemimpinan, dan visi besar Prof Ahmad Amiruddin.

Beliau mengembangkan kepemimpinan dengan visi strategis dan budaya kerja yang efektif. Beliau merupakan pelopor yang menempatkan Unhas sebagai instansi pertama di Indonesia yang gaji karyawannya dibayarkan melalui bank.

Beliau juga yang merintis pembangunan dan pengadaan rumah bagi dosen dan staf Unhas, sesuatu yang baru di Indonesia, kala itu. Perumahan dosen Unhas ini terdapat di Sunu, Antang, dan Tamalanrea.

Ketika menjadi Gubernur Sulawesi Selatan, yang ke-4, gebrakan juga dilakukan. Antara lain, memindahkan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan dari Jalan Jenderal Ahmad Yani ke Jalan Jenderal Urip Sumoharjo.

Yang fenomenal dari pemindahan ini, yakni karena lahan di atas kantor baru itu tadinya merupakan kompleks pekuburan Tionghoa, yang kemudian direlokasi ke Pannara, Antang.

Di masa beliau, juga dilakukan revitalisasi kawasan Benteng Somba Opu. Di atas area benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo, terdapat paviliun dan rumah-rumah adat miniatur Sulawesi Selatan atau Taman Mini Sulawesi Selatan.

Kebutuhan papan dan kesejahteraan pegawai Kantor Gubernur Sulawesi Selatan juga diperhatikan. Maka kepada mereka disediakan perumahan, mulai dari pegawai Golongan I hingga Eselon. Lengkap dengan fasilitas antar jemput pegawai, dari rumah ke kantor, pulang-pergi.

Tri Konsep

Prof Ahmad Amiruddin yang pernah punya posisi penting di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) itu terkenal dengan Tri Konsep Pembangunan Sulawesi Selatan.

Program inovasi yang diingat sebagai smart practice ini, terdiri dari perubahan pola pikir, pengwilayahan komoditas, dan petik-olah-jual.

Konsep ekonomi kawasan yang dikembangkan menempatkan daerah ini memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Juga Sulawesi Selatan berhasil sebagai lumbung pangan nasional.

Prestasi dan sejarah sudah diukir oleh intelektual-birokrat itu dan sudah menjadi memori kolektif bagi mereka yang besar di era 70-90an-para generasi Baby Boomers dan Generasi X. Namun, bagi Generasi Milenial dan setelahnya, perlu ada narasi dan literasi tentang sosok Prof Ahmad Amiruddin, penerima Medali Perjuangan Angkatan 45, Bintang Legiun Veteran, Satyalancana Wirya Karya, Santyalancana Pembangunan (koperasi), Santyalancana Pembangunan (pertanian), Bintang Mahaputra Utama, dan sederet penghargaan prestisius lainnya.

Sehingga sangatlah layak dan merupakan suatu penghormatan bila nama Prof Ahmad Amiruddin disematkan dan diabadikan mengganti nama Jalan Perintis Kemerdekaan.

Jalan ini membentang sejauh 11 kilometer, dari Jembatan Tello hingga Simpang Lima Bandara Internasional Sultan Hasanuddin.

Artinya, bila nanti sudah diganti maka mereka yang akan masuk Kota Makassar bakal melewati jalan itu bila tidak lewat tol, demikian pula sebaliknya.

Penggantian nama jalan ini membuat kita akan selalu menyebut dan mengingat nama Prof Ahmad Amiruddin, yang banyak berkontribusi, tak sebatas bagi kemajuan daerah, melainkan juga bagi bangsa dan negara ini. Semoga terwujud. (*)

___

Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)