Perspektif Prof Munasik atas Praktik Konservasi Karang di Indonesia

  • Whatsapp

PELAKITA.ID – Indonesia memiliki kekayaan laut yang luar biasa sebagai bagian dari Coral Triangle, wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Namun, perubahan lingkungan dan aktivitas manusia terus mengancam ekosistem ini.

Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Ekologi Laut Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Prof.Dr. Munasik, M.Sc, pada pelaksanaan seminar Konservasi Biodiversitas dan Deklarasi Adopsi Karang Indonesia, Kamis, 27/2/2025 di Unhas Hotel and Convention.

Prof Munasik telah menjadi sosok inspiratif dalam upaya pelestarian ekosistem laut di Indonesia dan meraih gelar guru besar untuk kajian “Desain Ekologis Pintar untuk Restorasi Terumbu Karang Indonesia” .

Pengalaman dan perspektifnya tentang ikhtiar konservasi di Karimun Jawa sebagai bagian dari program konservasi karang patut jadi cerminan bersama.

Tantangan Ekosistem Terumbu Karang

Menurutnya, salah satu ancaman utama bagi terumbu karang adalah gelombang panas laut (marine heatwave) yang sering terjadi bersamaan dengan fenomena El Niño.

Suhu air yang meningkat dapat menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching), di mana karang kehilangan warna alaminya dan berisiko mati jika kondisi ini berlangsung lama.

”Selain itu, aktivitas manusia seperti penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan memperparah kerusakan ekosistem bawah laut,” ujar alumni Ilmu dan Teknologi Kelautan Undip generasi pertama ini.

“Jika kita mau jujur, jika ekosistem ini rusak dan habis, maka kita akan kelaparan. Laut adalah sumber kehidupan kita, terutama bagi masyarakat pesisir,” kata dia.

Untuk mengatasi kerusakan ini, dikatakan, berbagai organisasi dan komunitas telah melakukan upaya restorasi.

”Beberapa proyek konservasi di Indonesia meliputi Yayasan Orang Laut di Papua, Coral Restoration Foundation di Manado, Mars Coral Restoration di Pulau Badi dan Pulau Ba, serta Yayasan Misool yang fokus pada pengurangan plastic,” ungkapnya.

Di Jepara, Prof. Munasik dan timnya mengembangkan teknologi Artificial Reef bernama Artificial P. Teknologi ini menggunakan bahan ramah lingkungan seperti fly ash bottom ash, yang mengurangi penggunaan pasir dan semen dalam struktur buatan untuk restorasi karang.

“Kami melakukan penelitian tentang substrat buatan untuk restorasi terumbu karang. Artificial reef ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika deployment tidak tepat, bisa merusak ekosistem yang masih hidup,” ujar Munasik.

Transplantasi dan Rekrutmen Alami

Disampaikan, metode transplantasi karang kini semakin berkembang. Awalnya dianggap hanya sebagai solusi sementara, namun penelitian menunjukkan bahwa transplantasi dapat menjadi pemicu terbentuknya habitat baru.

”Selain itu, rekrutmen alami juga didorong untuk meningkatkan regenerasi karang dengan cara menyediakan substrat buatan bagi larva karang agar bisa menempel dan tumbuh menjadi ekosistem yang sehat,” sebutnya.

Di Karimunjawa, disampaikan Munasik, kelompok nelayan Omah Karang turut berperan dalam konservasi berbasis masyarakat.

”Mereka bahkan belajar bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan wisatawan asing yang tertarik pada program adopsi karang dan ekowisata,” ucapnya.

“Mereka ini luar biasa. Dengan semangat yang ada, mereka belajar bahasa asing agar bisa menjelaskan tentang konservasi kepada wisatawan,” kata Prof. Munasik.

Ekowisata dan Kesadaran Masyarakat

Wisata konservasi karang menjadi strategi penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat. Paket wisata konservasi ini mencakup adopsi baby coral, dokumentasi foto/video, serta pengalaman langsung menanam karang di laut.

”Program Summer Course juga rutin diadakan untuk mahasiswa asing, seperti dari  kampus di Jepang, agar mereka dapat memahami lebih dalam ekosistem laut Indonesia,” ungkapnya.

“Mahasiswa dari luar negeri sangat antusias. Mereka bahkan rela membayar 10 hingga 12 juta rupiah per orang untuk mendapatkan pengalaman ini,” ungkapnya.

Kolaborasi dan Masa Depan Konservasi

Dia menyatakan, keberhasilan program konservasi tidak hanya bergantung pada komunitas lokal, tetapi juga pada sinergi antara pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat.

Menurut Prof. Munasik, jika diibaratkan sebagai sebuah orkestra, maka perguruan tinggi berperan sebagai dirigen yang mengharmonisasi antara pemerintah, komunitas lokal, dan sektor swasta.

”Dengan kolaborasi yang kuat, restorasi dan pelestarian terumbu karang di Indonesia dapat terus berkembang, memastikan bahwa kekayaan laut ini tetap lestari untuk generasi mendatang,”pungkasnya.

Editor Denun