Wawancara Prof Muhammad Yusuf: 7 aspek pengembangan usaha peternakan Sulsel

  • Whatsapp
Prof Dr Ir Muhammad Yusuf dengan latar sapi Waggyu Jepang yang akan dikembangbiakkan di Gowa (dok: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

Inovasi Pemda Gowa dengan melibatkan swasta dalam mendorong peternakan terpadu, melibatkan Bumdes, intoduski sapi Wagyu Jepang, memanfaatkan fasilitas rumah potong hewan Tamarunang hingga introduksi ternak sapi  perah adalah contoh baik dalam membangun potensi peternakan daerah.

Prof Dr Ir Muhammad Yusuf, Guru Besar Fapet-Unhas

Read More

_____
PELAKITA.ID – Terobosan usaha dan investasi peternakan terutama sapi di Sulawesi Selatan membutuhkan inovasi kebijakan daerah.

Inovasi itu meliputi pemenuhan bibit unggul mudah dan murah, transformasi kapasitas peternak, pengembangan kolaborasi pembiayaan serta penguatan kapasitas peternak, hingga aparatur OPD dan unit usaha.

Poin-poin itu disampaikan Guru Besar Produksi Ternak Fakultas Peternakan Unhas Prof Dr Ir Muhammad Yusuf Mappiasse kepada Pelakita.ID, 24/12/2022.

Pembaca sekalian, tahun 2022 akan segera berakhir, pandemi disebut telah berakhir, ke depan, peluang pengembangan usaha peternakan sungguh sangat besar. Restoran, rumah makan, warung kulner sudah menggeliat, dan tentu kita tidak ada suasana defisit daging bukan?

Lalu, sudah siapkah para peternak atau pelaku usaha peternakan kita?

Bagaimana dengan rencana program peternakan intensif yang sedang dikembangkan di Kabupaten Gowa, dimana Pemda akan bekerjasama dengan Cimory Bogor untuk produksi peternakan daging dan susu di dataran tinggi seperti Malino? Realistiskah?

Mengapa banyak program peternakan daerah gagal? Layu sebelum berkembang?

Mengapa rencana lahan 5  ribu hektar di Seko untuk lahan peternakan tak kunjung dimanfaatkan oleh PT Sulsel Citra Indonesia (Perseroda) dan PT Widodo Makmur Unggas?  Lalu, Masih ingat program 1 KK satu sapi di Takalar?

Bisakah Sulsel meningkatkan produksi sapinya setelah pandemi berakhir di tahun depan?

Jika dibandingkan produksi ternak sapi per provinsi di Jawa dan Sulsel, Pelakita.ID mencatat, produksi daging sapi Sulawesi Selatan masih rendah. Tahun 2019 hingga 2021 adalah 17.926 ton, lalu turun menjadi 15.596 ton dan bertahan di angka 15.994 di tahun 2021.

Bandingkan dengan produksi sapi nasional pada tahun yang sama 504.802 ton, 453.418 ton dan 437.783 ton.  Ada pengurangan produksi sejak masuknya pandemi di 2020.

Bandingkan dengan Jawa Barat yang mencapai angka 79 ribu di 2019, 809 ribu di 2020 dan 64 ribu di 2021 atau terbesar  103 ribu ton di 2019, lalu 91 ribu ton di 2022 serta 93 ribu di 2021.

Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang berada di Pulau Jawa dengan luas wilayah mencapai 37.087,92 km2 sementara Sulsel mencapai  46.717,48 km2.

Ruang lingkup peternakan

Dalam perjalanan dari Pinrang ke Makassar bersama pengurus IKA Wilayah Sulawesi Selatan, pria kelahiran Bone dan tumbuh besar di Kolaka ini berbagi pandangan terkait potensi pengembangan peternakan di Sulawesi Selatan serta apa saja yang menjadi kendala dan solusi yang bisa ditempuh.

Prof Uchu, begitu sebutannya menyatakan potensi pengemgangan hewan ternak di Sulawesi Selatan sangat besar dan beragam. Mulai dari sapi, ayam, kerbau, kambing hingga babi. Selain itu, buangan hewan puun dapat menyuburkan tanah.

“Bisa menjadi pupuk alami, bahan biogas,” ucapnya.

“Itu pula yang pernah kami tawarkan untuk dikembangkan di Kalimantan Timur, kita pernah tawarkan konsep peternakan terpadu, hulu hilir, dari penyediaan bibit sapi hingga produksi biogas,” ucapnya Prof Uchu.

Sayangnya, Prof Uchu menyebut gagasan itu tak terealisasi karena perubahan kebijakan daerah setempat.

Meski demikian, dia mengaku tetap antusias mendorong kiranya para pihak terutama pemerintah daerah di Sulawesi Selatan yang mempunyai area peternakan yang selama kini luas namun ‘idle’, punya potensi pertanian dan perkebunan yang luas untuk juga memberi atensi pada pengembangan usaha peternakan.

Hal yang disebutnya harus diseriusi sebab ke depan, kebutuhan daging terutama daging sapi sungguhlah besar. Selama ini, kebutuhan daging sapi kerap dipasok dari luar negeri hal yang menurut Prof Uchu berpotensi membawa persoalan.

“Pengalaman saya selama lima tahun bekerja di peternakan intensif di Jepang menjadi pertimbangan bahwa kita pun di Sulsel bisa melakukan hal sama. Yang pasti tidak boleh setengah-setengah. Hulu hilirnya harus disiapkan, perlu komitmen serius,” ujarnya.

Prof Uchu menyatakan, dimensi kegiatan berternak di antaranya melalui pemberian makanan, pemuliaan, atau pengembangbiakan bibit untuk mencari sifat-sifat unggul, pemeliharaan, penjagaan kesehatan dan pemanfaatan hasil.

Disebutkan peternakan sejauh ini dapat dibedakan menjadi peternakan ekstensif atau intensif, dan terdapat juga peternakan semi intensif yang menggabungkan keduanya.

“Untuk skala usaha seperti di Pinrang, Gowa atau Bone yang mempunyai lahan luas, kedua model peternakan tersebut sangat memungkinkan mengingat daya dukung kawasan dan ketersediaan sumberdaya air dan pakan,” kata pria yang pernah bekerja pada usaha peternakan di Jepang dan menurutnya mengadopsi konsep terpadu.

Menurutnya, berbeda dengan usaha intensif, dalam peternakan ekstensif, hewan dibiarkan berkeliaran dan mencari makan sendiri, kadang di lahan yang luas, dan kadang dengan pengawasan agar tidak dimangsa.

“Dalam peternakan intensif, terutama peternakan pabrik yang umum di negara-negara maju termasuk Jepang, hewan dikandangkan dalam gedung berkepadatan tinggi, makanannya dibawa dari luar, dan hidupnya diatur agar memiliki produksi dan efisiensi tinggi,” ucapnya.

7 aspek

Menurut Prof Yusuf, tumbuhnya usaha peternakan di Sulawesi Selatan terutama di daerah-daerah dengan areal padang atau lahan peternakan luas sangat bergantung pada setidaknya 7 aspek atau pertimbangan.

Pertama, pengambil kebijakan daerah seperti Wali Kota atau Buoati harus melahirkan kebijakan inovatif daerah dan dikawal sungguh-sungguh.

Apa yang dilakukan oleh Pemeirntah Gowa dengan mendorong peternakan terpadu, melibatkan Bumdes, mengintroduksi sapi Wagy Jepang untuk dikembangbiakkan, memanfaatkan fasilitas rumah potong hewan hingga peternakan sapi untuk produksi susu menurut Prof Uchu merupakan contoh baik dalam membangun potensi daerah.

Selama ini, katanya, tidak banyak inovasi kebijakan terkait peternakan di Sulsel.

“Kita malah lebih sering mendapat kiriman ternak dari NTT, termasuk daging sapi dari luar negeri,” katanya.

“Kita melihat lemahnya kebijakan daerah yang menjadikan peternakan sebagai program utama,” imbuhnya.

Tidak banyak daerah, yang punya semacam program terobosan terkait kebijakan pembangunan  subsektor peternakan secara intensif. Salah satu alasan daerah adalah terbatasnya anggaran daerah untuk itu,” ucapnya.

Hal itu, lanjut Prof Uchu, memberi kesan kurang baik bagi tumbuhnya investasi melalui intervensi investor peternakan dari luar.

“Praktis tidak ada yang betul-betul serius untuk memaksimalkan potensi daerah  bidang peternakan ini. Padahal jika ingin yang lebih fokus pada usaha intensif yang tak harus lahan luas bisa juga, “ ujarnya.

“Daerah perlu semacam pilot proyek peternakan, budget tak harus besar kalau memang sedang kesulitan keuangan tetapi bisa memulai dengan skala kecil namun jelas arahnya,” ucapnya.

Hal kedua, yang disampaikan Prof Uchu adalah terbatasnya kapasitas peternak di daerah sehingga perlu transfer kapasitas teknis dan manajerial.

“Sebagai contoh, mereka tidak begitu tertarik atau aktif untuk menyuskeskan inseminasi buatan.  Program ini  lebih banyak menyita waktu dan tenaga aparat pemerintah ketimbang peternaknya sendiri, baik dalam pemantauan birahi ternak maupun penanganannya,” ucapnya.

“Kadang mereka diikutkan pelatihan, pelatihan teknik inseminasi buatan, tapi kalau sudah kembali ke rumah, lupa tugasnya,” ujarnya.

Prof Uchu menyebut Pinrang sebenarnya pernah punya program bagus terkait inseminasi

namanya ‘Pelan itu Bagus’ yang diluncurkan semasa Bupati Andi Aslam Patonangi. Setidaknya menjadi contoh bahwa daerah memang harus punya atensi ke sana.

Aspek ketiga yang menjadi catatannya adalah penguatan kelembagaan peternak di tingkat desa atau komunitas.

“Sebenarnya ada juga organisasi peternak, tetapi memang tidak seperti kalau bicara Gapoktan, atau nelayan, petambak, atau pengelola irigasi pertanian. Kelompok peternakan ini juga ada, tapi kemampuan berjejaring, kreativitas usaha belum bisa seperti organisasi kelompok petani atau Gapoktan,” sebutnya.

“Perlu pelibatan lembaga pendamping seperti LSM atau perusahaan tertentu yang berpengalaman,” ujarnya.

“Memang kalau saya melihat kebijakan-kebijakan itu tidak sampai pada siapa di bawah, pada cara pandang peternak, atau masyarakat luas.  Cara pandang peternak kita memang perlu dibenahi,” ucapnya.

Dia menyebut itu sembari menambahkan bahwa upapa inovatif seperti pelibatan Cimory Bogor itu baik namun tetap perlu transformasi kapasitas.

“Pemda Gowa sudah mantap dengan budget-nya tetapi anggaplah peternak di sana masih nol terkait pendekatan peternakan sapi perah, ini hal baru,” ucapnya.

Terkait kelembagaan, Prof Uchu menyebut Bumdes pun tidak bisa jalan sendiri atau ditinggalkan OPD atau SKPD.

“Pelibatan Bumdes itu harus direspon ooleh bidang atau OPD terkait. Terus terang juga, saya belum melihat kemampuan OPD mengelola usaha seperti Cimory atau peternakan susu itu. Itu yang harus dilatih juga,” tambahnya.

Yang keempat adalah networking peternak atau pengelola melalui pemagangan. “Perlu magang ke Pulau Jawa kalau mau paham teknis peternakan sapi perah. Ini harus dibimbing oleh perusahaan besar di sana. Perlu ada supervisor atau pihak mitra yang bisa isi gap di sini,” jelasnya.

Hal kelima yang disampaikan Yusuf adalah memaksimalkan anggaran atau biaya program atau budget pilot project.

“Program harus utuh dari sisi ketersediaan anggaran, hulu hilirnya. Tidak boleh setengah-setengah. Ini juga saya bisa lihat dari beberapa unit seperti Maiwa Breeding Farm yang juga masih perlu kapasitas tambahan seperti ketersediaan dana sehingga semua yang telah direncanakan bisa jalan bersamaan atau terpenuhi,” tuturnya.

Yang keenam adalah riset yang berkesinambungan.

“Peternakan adalah kerja-kerja terpadu, ini hanya bisa jalan bagus kalau misalnya tersedia benih, tersedia bibit, tersedia pakan yang baik hingga bisa mengantisipasi jika ada penyakit. Ini hanya bisa dengan riset,” tambahnya.

Apa yang bisa dilakukan terkait riset? Prof Yusuf menyebut Pemda bisa saja membangun kerjasama dengan perguruan tinggi dan membuka akses untuk terhubung dengan donor.

“Dengan riset yang baik, kita bisa membantu Pemda atau siapapun untuk menentukan alokasi input yang pas, apa yang mau dicapai dan persoalan apa yang bisa diselesaikan, baik secara timeline maupun denga  siapa bisa bekerjasama,” tuturnya.

Poin ketujuh yang disampaikan Prof Uchu adalah penyiapan sistem atau mekanisme terpadu di hilir seperti akses ke rumah potong yang sigap dengan produksi ternak.

“Tanpa rumah potong yang baik, efektif, dan terhubung dengan daerah produksi maka pasokan daging bisa terhambat atau tak sampai ke pasar yang membutuhkan,” ujarnya.

“Harus ada sistem yang memungkinkan, perlu komunikasi antara produser, unit rumah potong hewan dan penanganan hewan ternak yang siap potong termasuk dengan kelembagaan seperti Bumdes itu,” pungkas salah satu konsultan untuk PT BULS atau Berdikari United Livestock ini.

Dia berharap RPH seperti Antang di Makassar serta Tamarunang Gowa bisa dijalankan lebih profsionel, moderen dan responsif dengan kebutuhan pelanggan atau pasar.

 

Editor: K. Azis

 

Related posts