Menyoal Minat Studi Ilmu Kelautan di Perguruan Tinggi

  • Whatsapp
Ilustrasi pekerjaan bawah air, antara manusia dan robot (ilustrasi Pelakita.ID)

Kurikulum perlu diperbarui dengan pendekatan kolaboratif, di mana pelaku industri ikut memberikan masukan, bahkan menjadi bagian dari pengajar tamu atau pembimbing lapangan.

PELAKITA.ID – Ilmu kelautan seharusnya menjadi salah satu disiplin yang paling strategis di Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia.

Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, potensi ekosistem laut yang luar biasa, dan peluang ekonomi biru yang terus berkembang, kebutuhan akan sumber daya manusia unggul di bidang ini tak terbantahkan.

Namun ironisnya, jurusan Ilmu Kelautan di berbagai perguruan tinggi, termasuk di Universitas Hasanuddin (Unhas), masih menghadapi tantangan serius—mulai dari rendahnya minat calon mahasiswa, keterbatasan inovasi kurikulum, hingga keterputusan dengan dunia kerja.

Penilaian tersebut setelah penulis melakukan perbincangan dengan sejumlah dosen, praktisi kelautan dan bahkan mahasiswa dan alumni Ilmu Kelautan pada beberapa perguruan tinggi di Indonesia.  Kita sebut saja di Kota Makassar dan Maluku Utara.

Hasil obrolan secara rinci itu tak dibahas di sini demi menjaga nama baik perguruan tinggi dimaksud.

Apa yang bisa dilakukan?

Pada realitas di atas, penulis menganggap, di tulah pentingnya mengintegrasikan konsep “Link and Match” sebagai pendekatan strategis untuk membenahi dan menghidupkan kembali daya tarik serta relevansi disiplin Ilmu Kelautan.

Konsep ini mengacu pada upaya menyambungkan (link) pendidikan tinggi dengan dunia industri dan memastikan kesesuaian (match) antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan riil di lapangan kerja.

Ilmu Kelautan, sebagai salah satu pionir di kawasan timur Indonesia, memiliki peluang besar untuk menjadi pusat unggulan pendidikan dan riset kelautan. Namun agar tidak terjebak dalam sekadar keunggulan historis, dibutuhkan pembaruan cara pandang dan strategi pengajaran.

Dalam kerangka Link and Match, program studi tidak bisa hanya fokus pada teori dan laboratorium, tetapi harus membuka diri terhadap dinamika industri kelautan, teknologi baru, serta kebutuhan pembangunan pesisir dan laut yang berkelanjutan.

Salah satu penyebab rendahnya minat mahasiswa terhadap Ilmu Kelautan adalah kurangnya gambaran jelas mengenai prospek kerja.

Banyak yang mengira lulusan Ilmu Kelautan hanya akan bekerja di laboratorium atau menjadi peneliti akademik.

Padahal, sektor kelautan dan maritim sangat luas—mulai dari perikanan berkelanjutan, budi daya laut, teknologi oseanografi, pengelolaan kawasan konservasi, hingga ekowisata bahari dan industri energi terbarukan.

Sayangnya, peluang ini belum tersampaikan secara kuat dalam kurikulum maupun dalam narasi kampus. Kalau pun ada yang menganggap premis ini tak beralasan, atau mereka bilang sudah dilakukan, pertanyaannya apakah proses atau metode itu sudah dievaluasi dengan baik dengan melihat hasil akhir.

Perlu kemitraan aktif

Untuk itu, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) di manapun berada perlu membangun kemitraan aktif dengan pelaku industri, lembaga pemerintah, LSM lingkungan, startup teknologi laut, dan komunitas pesisir.

Kenapa disebut kemitraan aktif, sebab selama ini kemitraan hanya dilihat dari penandatangan MoU, komitmen dan janji tertulis tanpa road map kerjasama dan penghitungan atau pengalokasian sumber daya. Kita sebut saja, dana minim atau memang tak dianggarkan setelah MoU.

Pembaca sekalian, penulis ingin bilang, kurikulum perlu diperbarui dengan pendekatan kolaboratif, di mana pelaku industri ikut memberikan masukan, bahkan menjadi bagian dari pengajar tamu atau pembimbing lapangan.

Program magang, proyek penelitian terapan, kuliah lapangan bersama mitra, hingga sertifikasi keahlian berbasis praktik bisa menjadi jembatan antara dunia kampus dan dunia kerja.

Bagi mahasiswa, pendekatan ini sangat menguntungkan. Mereka tidak hanya mendapatkan pengalaman langsung di lapangan, tetapi juga memahami secara lebih nyata bagaimana ilmu yang mereka pelajari relevan dan dibutuhkan.

Mereka lebih siap secara mental dan teknis untuk memasuki dunia kerja, bahkan berpotensi menciptakan lapangan kerja sendiri di sektor kelautan yang terus berkembang.

Bagi dunia usaha dan masyarakat pesisir, Link and Match menghadirkan peluang mendapatkan sumber daya manusia yang tidak hanya paham teori, tetapi juga mampu bekerja secara efektif di lingkungan nyata.

Sementara itu, bagi perguruan tinggi berbasis maritim sebagai institusi pendidikan, strategi ini dapat memperkuat posisi sebagai penghasil lulusan unggul yang relevan dengan tantangan zaman.

Implementasi Link and Match dalam konteks Ilmu Kelautan bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk: forum rutin antara kampus dan industri, pembaruan kurikulum berbasis kebutuhan pasar, pendidikan sistem ganda (dual system), hingga pengakuan terhadap sertifikasi mikro berbasis kompetensi.

Bahkan, kerja sama dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan pesisir juga bisa menjadi bentuk konkret “matching” antara keilmuan dan kebutuhan pembangunan lokal.

Dengan menerapkan strategi Link and Match secara konsisten, disiplin Ilmu Kelautan bukan hanya akan tumbuh kembali sebagai pilihan favorit, tetapi juga berkontribusi nyata dalam mencetak generasi profesional kelautan yang siap menghadapi kompleksitas persoalan laut masa kini dan masa depan.

Karena laut bukan sekadar ruang belajar, tapi juga masa depan bangsa.

Penulis Denun, Alumni Kelautan Unhas 89