Hakikat Hak Asasi Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang Prima: Rumah Sakit sebagai Rahim Peradaban

  • Whatsapp
Ilustrasi

Tulisan Hakikat Hak Asasi Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang Prima: Rumah Sakit sebagai Rahim Peradaban ditulis oleh: Muliadi Saleh

PELAKITA.ID – Kesehatan bukan hanya soal bebas dari penyakit. Ia adalah keadaan seimbang antara raga, jiwa, dan lingkungan.

Dalam pandangan universal dan spiritual, kesehatan adalah hak paling dasar yang lahir bersama setiap insan, terpatri dalam tubuh sejak ruh ditiupkan ke dalam janin.

Hak ini melintasi batas agama, bangsa, dan warna kulit. Ia adalah hak asasi manusia—the fundamental right to life.

Hak atas kesehatan, sebagaimana dinyatakan dalam Universal Declaration of Human Rights (Pasal 25), mencakup “hak setiap orang atas standar hidup yang memadai untuk kesehatannya dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan, dan perawatan medis.”

Konstitusi Indonesia pun mengukuhkannya dalam Pasal 28H UUD 1945, bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan pelayanan kesehatan.”

Dalam Islam, hak atas kesehatan bukan semata hukum positif, tetapi nilai ilahiah yang ditegaskan oleh wahyu. Rasulullah saw. bersabda:

> “Tidak ada satu pun nikmat setelah keimanan yang lebih utama daripada kesehatan.”
(HR. Ibnu Majah)

Al-Qur’an pun mengisyaratkan pentingnya menjaga kesehatan:

> “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
(QS. Al-Baqarah: 195)

 

Rumah sakit, dalam konteks ini, bukan sekadar gedung dengan alat-alat canggih dan tenaga medis berseragam. Ia adalah pelita peradaban, rahim yang melahirkan kembali harapan manusia yang terbaring rapuh.

Rumah sakit adalah institusi yang tidak boleh semata dijalankan sebagai bisnis, melainkan sebagai misi kemanusiaan yang luhur—tempat bersemainya kasih sayang, ilmu pengetahuan, dan pelayanan prima.

Menurut Prof. Laksono Trisnantoro, pakar kebijakan kesehatan dari UGM, “Rumah sakit harus kembali ke jiwanya—bukan hanya tempat mengobati penyakit, tetapi pusat pembelajaran, pencegahan, dan keadilan kesehatan.”

Sayangnya, di banyak tempat, rumah sakit telah menjadi pabrik layanan, menjual kesehatan dalam satuan tarif dan paket. Mereka lupa, bahwa yang datang bukan hanya pasien, tapi manusia dengan luka yang juga bernama batin.

Pelayanan kesehatan yang prima harus memenuhi prinsip accessible, affordable, acceptable, dan quality (4A).

Pelayanan itu wajib menjangkau yang miskin, ramah kepada yang terpinggirkan, dan tidak diskriminatif. Seorang dokter sejatinya bukan sekadar ahli klinis, tapi pelayan kehidupan.

Perawat bukan hanya penjaga infus, tapi penjaga martabat manusia. Seperti kata dr. Cipto Mangunkusumo:

“Mengobati adalah ibadah. Setiap sentuhan adalah doa.”

Dari sinilah pentingnya penguatan etika dan nilai kemanusiaan dalam pelayanan. Dalam hadis riwayat Bukhari, Rasulullah saw. bersabda:

Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.”

Hadis ini adalah kompas bagi para pelayan kesehatan. Setiap tindakan medis bukan sekadar prosedur, tetapi pertolongan yang berpahala. Pelayanan yang tidak disertai empati adalah bangkai dari tanggung jawab moral.

Dalam kondisi Indonesia yang masih berjuang menghadirkan layanan kesehatan merata, peran pemerintah sangat krusial.

Data Kementerian Kesehatan RI (2024) menunjukkan bahwa rasio dokter umum di Indonesia baru mencapai 0,4 per 1.000 penduduk—jauh dari standar WHO yang idealnya 1 per 1.000. Ketimpangan layanan antara kota dan desa, antara Pulau Jawa dan kawasan timur Indonesia, masih menganga.

Ini bukan sekadar soal fasilitas, tapi soal komitmen terhadap hak hidup yang layak.

Rumah sakit dan klinik sejatinya adalah perpanjangan tangan Tuhan untuk menyembuhkan luka hamba-Nya. Ketika seorang pasien sembuh, bukan hanya tubuhnya yang pulih, tapi semesta kembali bernyanyi. Maka, setiap pemangku kepentingan di bidang kesehatan—dari menteri hingga satpam rumah sakit—memegang amanah yang mulia: menjaga kehidupan.

Mari kita kembali menghayati bahwa kesehatan adalah anugerah dan hak. Rumah sakit adalah taman rahmat, bukan pasar komersial.

IlustrasiPelayanan kesehatan harus bersandar pada cinta dan ilmu, bukan hanya pada laba. Sebab di setiap denyut nadi pasien, ada doa yang menggantung di langit: semoga pelayanan ini menjadi jalan menuju ridha-Nya.

— Moel’S@22042025

Bila Anda ingin menyertakan tulisan ini dalam publikasi atau menyusunnya jadi bagian dari kumpulan esai, saya bisa bantu buatkan format layout atau versi singkatnya juga. Mau lanjut ke situ?