Meskipun sering kali dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian atau basa-basi, pertanyaan seperti “Kapan nikah?” atau “Kapan punya anak?” bisa memberikan tekanan psikologis dan sosial bagi individu yang merasa belum memenuhi ekspektasi sosial.
PELAKITA.ID – Hari Raya Idulfitri adalah momen yang dinantikan oleh umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Selain sebagai waktu untuk bersilaturahmi dan mempererat hubungan keluarga, Lebaran juga memiliki berbagai tradisi unik yang telah mengakar dalam budaya masyarakat. Salah satu fenomena yang hampir selalu terjadi di setiap pertemuan keluarga adalah budaya “tanya-tanya.”
Pertanyaan seperti “Kapan nikah?”, “Sudah punya anak?”, “Kapan lulus?”, dan “Kerja di mana sekarang?” sering kali muncul dalam obrolan, baik dari kerabat dekat maupun jauh.
Meskipun tampak seperti basa-basi yang wajar, tidak sedikit orang yang merasa tidak nyaman dengan pertanyaan semacam ini.
Mengapa budaya ini begitu kuat di Indonesia? Apa dampaknya bagi individu yang menerima pertanyaan tersebut? Dan bagaimana cara menyikapinya agar tidak menimbulkan ketegangan sosial?
Artikel ini akan mengupas lebih dalam fenomena budaya bertanya tentang kehidupan pribadi saat Lebaran, faktor sosial yang melatarbelakanginya, serta dampaknya terhadap individu dan hubungan sosial dalam masyarakat.
Budaya Basa-Basi atau Tekanan Sosial?
Dalam masyarakat Indonesia yang masih memegang erat nilai kekeluargaan dan kolektivitas, kehidupan individu sering kali dianggap sebagai bagian dari komunitasnya.
Oleh karena itu, perkembangan pribadi seseorang baik dalam hal pendidikan, pekerjaan, maupun pernikahan menjadi sesuatu yang menarik untuk dibicarakan dalam lingkup keluarga besar.
Secara sosial, bertanya tentang kehidupan pribadi seseorang sering dianggap sebagai bentuk perhatian dan kepedulian. Namun, dalam praktiknya, pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi tekanan sosial terselubung.
Menurut perspektif sosiologi, budaya kolektivisme di Indonesia menyebabkan ekspektasi sosial yang tinggi terhadap pencapaian seseorang.
Misalnya, dalam banyak keluarga, menikah dan memiliki anak dianggap sebagai pencapaian penting yang menandakan kedewasaan seseorang. Begitu pula dengan pekerjaan dan pendidikan, yang sering kali dijadikan ukuran keberhasilan individu.
Di sisi lain, pertanyaan-pertanyaan tersebut juga mencerminkan norma sosial yang masih kuat, seperti anggapan bahwa menikah di usia tertentu adalah kewajiban atau bahwa seseorang harus segera memiliki anak setelah menikah.
Hal ini bisa menimbulkan tekanan bagi individu yang belum memenuhi ekspektasi tersebut.
Dampak Psikologis dari Pertanyaan yang Berulang
Bagi sebagian orang, pertanyaan semacam “Kapan nikah?” atau “Kapan punya anak?” mungkin hanya dianggap sebagai candaan atau basa-basi. Namun, bagi individu yang sedang berjuang dengan masalah pribadi, pertanyaan ini bisa memberikan dampak psikologis yang cukup besar.
Meningkatkan Kecemasan dan Rasa Tidak Percaya Diri
Orang yang belum menikah atau belum mendapatkan pekerjaan yang dianggap “prestisius” mungkin merasa dirinya tertinggal dibandingkan dengan teman atau saudara lainnya. Hal ini bisa menimbulkan kecemasan, rasa tidak percaya diri, bahkan stres berkepanjangan.
Membebani Mental dan Emosional
Bagi pasangan yang sedang berusaha memiliki anak, pertanyaan “Sudah isi belum?” bisa menjadi pukulan emosional yang berat. Begitu pula bagi mahasiswa yang masih berjuang menyelesaikan studi, pertanyaan “Kapan lulus?” bisa menambah tekanan yang sudah ada.
Menciptakan Jarak dalam Hubungan Sosial
Beberapa orang mungkin memilih untuk menghindari pertemuan keluarga atau berkumpul dengan kerabat karena tidak ingin menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka merasa tidak nyaman. Akibatnya, hubungan kekeluargaan yang seharusnya erat bisa menjadi renggang.
Bagaimana Cara Menyikapi dengan Bijak?
Meskipun budaya ini sudah mengakar kuat dalam masyarakat, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan lebih bijak, baik oleh individu yang ditanya maupun oleh mereka yang bertanya.
Bagi yang Ditanya:
Menjawab dengan Santai dan Humor
Jika ingin menghindari ketegangan, jawablah dengan humor, seperti “Jodohnya masih nyasar di jalan, doain ya!” atau “Tesisnya belum jodoh sama dosen pembimbing.” Humor bisa membantu meredakan ketegangan dan mengalihkan pembicaraan.
Menegaskan Batasan dengan Sopan
Jika merasa terganggu, sampaikan dengan halus bahwa pertanyaan tersebut cukup pribadi. Misalnya, “Wah, itu pertanyaan yang agak sensitif buat aku. Gimana kalau kita ngobrolin hal lain?”
Mengubah Arah Pembicaraan
Jika tidak ingin menjawab, segera alihkan topik pembicaraan ke hal lain, seperti hobi baru, berita terkini, atau rencana liburan.
Bagi yang Bertanya:
Memahami bahwa Tidak Semua Orang Nyaman dengan Pertanyaan Pribadi
Sebelum bertanya, coba pikirkan apakah pertanyaan tersebut bisa membuat orang lain merasa tidak nyaman. Jika tidak terlalu penting, lebih baik tidak ditanyakan.
Menggantinya dengan Pertanyaan yang Lebih Netral
Alih-alih bertanya “Kapan nikah?”, lebih baik tanyakan hal lain seperti “Bagaimana kabarmu?”, “Apa kesibukanmu sekarang?”, atau “Ada cerita seru akhir-akhir ini?”
Menghargai Privasi Orang Lain
Tidak semua orang ingin membagikan detail kehidupannya. Menghargai privasi berarti memberi ruang bagi orang lain untuk menentukan sendiri apa yang ingin mereka bagikan.
Budaya bertanya soal kehidupan pribadi saat Lebaran merupakan fenomena yang sudah lama ada dalam masyarakat Indonesia.
Meskipun sering kali dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian atau basa-basi, pertanyaan seperti “Kapan nikah?” atau “Kapan punya anak?” bisa memberikan tekanan psikologis dan sosial bagi individu yang merasa belum memenuhi ekspektasi sosial.
Agar Lebaran tetap menjadi momen yang menyenangkan bagi semua orang, penting bagi kita untuk lebih bijak dalam bertanya dan lebih menghargai privasi orang lain.
Sementara itu, bagi yang ditanya, menghadapi pertanyaan dengan santai, humor, atau menetapkan batasan yang jelas bisa menjadi cara untuk menjaga kenyamanan diri.
Pada akhirnya, makna sejati dari silaturahmi adalah mempererat hubungan dan menciptakan kebahagiaan bersama, bukan menambah tekanan dalam kehidupan seseorang.
Jadi, di Lebaran berikutnya, mari kita lebih bijak dalam bertanya dan lebih fokus pada kebersamaan yang penuh makna.
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu pernah merasa tidak nyaman dengan pertanyaan seperti ini saat Lebaran? Bagaimana cara kamu menyikapinya?
___
Penulis Alifiah Sabila, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas
Tulisan ini merupakan tanggung jawab pribadi penulis.
Editor: K. Azis