Islam dan Kapitalisme: Sebuah Kedekatan dengan Batasan Moral

  • Whatsapp

PELAKITA.ID – Perspektif Islam dalam ekonomi sering kali dianggap lebih dekat dengan kapitalisme dibandingkan sosialisme karena beberapa alasan mendasar. Namun, ekonomi Islam juga memiliki prinsip tersendiri yang membedakannya dari kapitalisme murni.

Islam tidak menolak kepemilikan pribadi atau kebebasan ekonomi, tetapi menetapkan batasan moral agar keseimbangan sosial tetap terjaga.

Islam mengakui dan mendorong kepemilikan pribadi. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain…” (QS. An-Nisa: 32).

Ini sejalan dengan kapitalisme yang menghormati hak individu atas kepemilikan aset dan bisnis. Sebaliknya, sosialisme lebih menekankan kepemilikan kolektif atau kontrol negara atas sumber daya ekonomi, yang bertentangan dengan prinsip Islam.

Kebebasan berusaha dan berdagang juga menjadi salah satu pilar ekonomi Islam. Nabi Muhammad ﷺ sendiri adalah seorang pedagang, dan banyak sahabatnya sukses sebagai pengusaha.

Dalam Islam, mencari rezeki melalui usaha halal merupakan ibadah, sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seseorang yang dikerjakan dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (jujur dan adil).” (HR. Ahmad).

Prinsip ini mirip dengan kapitalisme yang menekankan inisiatif individu dan kebebasan ekonomi. Sebaliknya, sosialisme cenderung membatasi kebebasan ekonomi dengan peran negara yang lebih dominan dalam mengatur pasar.

Mekanisme pasar dan harga dalam Islam juga sejalan dengan kapitalisme. Rasulullah ﷺ pernah menolak intervensi harga dengan alasan bahwa harga ditentukan oleh Allah melalui dinamika pasar: “Sesungguhnya Allah-lah yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki…” (HR. Abu Dawud).

Kapitalisme juga menekankan bahwa harga ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Sebaliknya, sosialisme lebih mengandalkan kebijakan pemerintah dalam menetapkan harga, yang dapat mengekang kebebasan ekonomi.

Islam tidak mengajarkan konsep kesetaraan mutlak dalam kepemilikan ekonomi. Dalam Islam, ada pengakuan terhadap perbedaan tingkat ekonomi antara individu.

Kekayaan tidak harus dibagi rata seperti dalam sosialisme, melainkan digunakan untuk membantu yang membutuhkan melalui zakat, infaq, dan sedekah. Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS. At-Taubah: 103).

Berbeda dengan sosialisme yang mengutamakan pemerataan kekayaan melalui kepemilikan negara atas sumber daya ekonomi, Islam tetap mengakui adanya perbedaan kelas ekonomi selama ada keseimbangan dalam distribusi melalui mekanisme sosial.

Salah satu perbedaan mendasar antara Islam dan kapitalisme adalah larangan terhadap riba. Islam melarang riba (bunga), tetapi tetap membolehkan keuntungan bisnis selama dilakukan secara adil dan transparan.

Dalam kapitalisme, keuntungan adalah motivasi utama, meskipun praktik riba diperbolehkan. Sementara itu, sosialisme sering kali membatasi pencarian keuntungan individu dengan kontrol negara atas berbagai sektor ekonomi.

Dari berbagai prinsip di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam lebih dekat ke kapitalisme karena sama-sama mengakui kepemilikan pribadi, kebebasan berusaha, mekanisme pasar, dan perbedaan tingkat ekonomi.

Namun, Islam juga memiliki batasan moral dan aturan sosial yang menghindarkan sistem ekonomi dari eksploitasi dan ketimpangan ekstrem, yang sering menjadi kelemahan kapitalisme murni.

Islam bukan kapitalisme atau sosialisme dalam bentuk ekstrem, tetapi lebih merupakan sistem ekonomi berbasis etika yang menggabungkan kebebasan ekonomi dengan keadilan sosial.

Editor: Denun