PELAKITA.ID – Pertemuan sejumlah gubernur dengan Menteri Keuangan beberapa waktu lalu berakhir tanpa hasil menggembirakan. Harapan agar dana pembangunan daerah tidak dipangkas pupus begitu saja. Pemerintah pusat tetap pada keputusannya untuk melakukan efisiensi anggaran nasional.
Kebijakan ini bukan tanpa alasan. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 menunjukkan tekanan berat.
Pemerintah harus menanggung beban pelunasan cicilan utang negara—baik pokok maupun bunga—yang mencapai sekitar 30 persen dari total APBN sebesar Rp 3.621 triliun.
Total anggaran untuk pembayaran utang mencapai Rp 1.353,2 triliun, terdiri dari Rp 800,3 triliun untuk pokok dan Rp 552,9 triliun untuk bunga utang. Kondisi ini merupakan konsekuensi dari kebijakan fiskal dan pembiayaan yang diwariskan oleh rezim sebelumnya.
Efisiensi menjadi pilihan logis. Wajar jika pemerintah pusat memangkas alokasi transfer ke daerah (TKD) sebagai bagian dari pengetatan anggaran. Namun, yang dikhawatirkan, pemangkasan ini justru dibalas oleh sebagian pemerintah daerah dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga ratusan persen.
Tanggapan Ni’matulah RB
“Kasihan rakyat kecil yang pendapatannya pas-pasan. Jangan bebankan mereka hanya karena transfer dari pusat berkurang,” ujar Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Selatan, Ni’matullah RB saat ditemui di Hometwon Kopizone, Ahad, 12 Oktober 2025.
Ni’matullah memandang langkah para gubernur yang menemui Menteri Keuangan untuk meminta tambahan dana pembangunan seharusnya diimbangi dengan sikap lebih tegas dan kreatif.
“Para kepala daerah itu mestinya tidak perlu merengek agar dana mereka tidak dipotong. Buat saja kesepakatan bersama untuk menyampaikan nada protes dan melawan kebijakan itu,” tegasnya.
Menurutnya, kepala daerah harus berani keluar dari ketergantungan fiskal terhadap pusat dan mulai menggali potensi ekonomi daerah secara lebih kreatif.
“Kalau tahu kondisi keuangan negara sedang sulit, mestinya mereka lebih inovatif, efisien, dan ketat dalam pengalokasian sumber daya,” lanjut Ni’matullah.
Ia juga menyoroti pentingnya memastikan visi dan misi pembangunan daerah disusun berdasarkan kapasitas riil yang tersedia dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Dengan begitu, arah pembangunan tidak menjadi kehendak personal kepala daerah, melainkan manifestasi dari rencana kerja kolektif.
Lebih jauh, Ni’matullah menilai kondisi pemerintahan di banyak daerah saat ini menunjukkan degradasi kapasitas kepemimpinan. Banyak kepala daerah yang pasif menghadapi guncangan sosial politik dan tekanan fiskal, bahkan cenderung tidak memahami kaidah dasar perencanaan pembangunan.
“Bisa jadi ini imbas dari politik Pilkada, di mana yang terpilih acap kali bukan yang paling paham soal tata kelola pemerintahan, melainkan yang paling kuat secara elektoral,” ujarnya.
Dengan kondisi fiskal yang kian sempit, pesan Ni’matullah menjadi peringatan penting: daerah harus lebih berani dan kreatif, bukan hanya menunggu belas kasihan dari pusat.
“Pembangunan yang tangguh dan berkelanjutan hanya mungkin terjadi bila daerah mampu berdiri di atas kakinya sendiri—dengan visi, kepemimpinan, dan inovasi,” pungkas pria yang akrab disapa Ketua Besar itu.
Redaksi
