Dalam pandangan Fanon, lumpenproletariat bukan korban pasif, melainkan agen pembebasan potensial—mampu membentuk kembali kehidupan politik ketika dimobilisasi dalam perjuangan bersama demi keadilan dan martabat.
PELAKITA.ID – Istilah “Lumpenproletariat” berasal dari Karl Marx dan Friedrich Engels, yang secara harfiah berarti “proletariat compang-camping” atau “kelas bawah yang terpinggirkan.”
Istilah ini merujuk pada segmen masyarakat yang hidup di luar kelas pekerja terorganisasi—mereka yang tidak terlibat langsung dalam proses produksi dan terlepas dari struktur kerja formal.
Kelompok ini sering bertahan hidup melalui strategi informal seperti berdagang di jalanan, memulung, atau pekerjaan serabutan lainnya. Mereka hidup di pinggiran sistem kapitalis, dibentuk oleh kemiskinan, keterasingan, dan ketiadaan akses stabil terhadap pekerjaan maupun jaminan sosial.
Dalam pemikiran Marxis klasik, lumpenproletariat menggambarkan elemen masyarakat yang tersingkir—pengemis, penjahat, pekerja seks, dan gelandangan—yang menurut Marx, tidak memiliki kesadaran kelas maupun potensi revolusioner.
Karena tidak terikat pada alat produksi, Marx memandang mereka sebagai kelas yang “berbahaya secara sosial,” mudah dimanipulasi oleh elit atau kekuatan reaksioner. Berbeda dengan proletariat terorganisasi yang memiliki kesadaran politik dan dapat mengubah masyarakat, lumpenproletariat dianggap tidak memiliki arah—berjuang sekadar untuk bertahan hidup, bukan untuk perubahan sistemik.
Dalam karyanya The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte (1852), Marx menulis bahwa kelompok ini sering dimobilisasi untuk tujuan kontra-revolusi, bukan pembebasan. Namun, dalam studi perkotaan dan pembangunan kontemporer, istilah ini telah direinterpretasi melampaui makna peyoratifnya.
Saat ini, lumpenproletariat juga mencakup pekerja informal—pedagang kaki lima, pengemudi ojek, pemulung, serta warga miskin kota yang tinggal di kawasan kumuh atau tempat penampungan sementara.
Meskipun tidak menjadi bagian dari produksi kapitalis formal, mereka menopang ekonomi sehari-hari kota melalui kerja-kerja yang sering kali tak terlihat.
Kelas ini mewujudkan apa yang disebut banyak sarjana sebagai “kelas yang terpinggirkan” dari globalisasi: mereka yang hidup di ruang kapitalis namun secara struktural ditolak dari akses terhadap manfaatnya.
Ketahanan dan kreativitas informal mereka menantang batasan tentang apa yang dianggap sebagai “kerja produktif.”
Dalam teori kritis dan pascakolonial, pemikir seperti Frantz Fanon menawarkan reinterpretasi radikal terhadap konsep ini.
Dalam The Wretched of the Earth, Fanon berpendapat bahwa dalam masyarakat terjajah, kelas terpinggirkan ini justru dapat menjadi kekuatan revolusioner.
Karena tidak memiliki apa-apa untuk dipertahankan dan tidak berkepentingan dengan kelangsungan tatanan kolonial, mereka dapat bertindak sebagai garda depan transformasi politik.
Dalam pandangan Fanon, lumpenproletariat bukan korban pasif, melainkan agen pembebasan potensial—mampu membentuk kembali kehidupan politik ketika dimobilisasi dalam perjuangan bersama demi keadilan dan martabat.
Jika diterapkan pada konteks – perkotaan Indonesia—khususnya kota-kota seperti Makassar— konsep ini menemukan relevansi barunya.
Pedagang kaki lima, ojek pangkalan, nelayan kecil, dan pemulung membentuk tulang punggung kehidupan sehari-hari di kota, meskipun mereka sering terpinggirkan dari perlindungan sosial dan representasi politik.
Praktik harian mereka—menjual, mengangkut, memperbaiki, memulung—merupakan bentuk perlawanan dan adaptasi terhadap struktur kota yang timpang.
Tantangan bagi para akademisi dan pembuat kebijakan adalah melampaui pandangan bahwa kelompok-kelompok ini sekadar “bertahan hidup,” dan mulai mengakui mereka sebagai warga dengan hak, pengetahuan, dan agensi.
Dengan demikian, reformasi perkotaan dan tata kelola partisipatif dapat membantu mentransformasi eksistensi lumpen menjadi pembebasan kolektif—sebuah langkah menuju terwujudnya hak atas kota bagi semua.
Tamarunang, 12/10/2025
