David Harvey dan Warisannya dalam Pembangunan dan Inklusi Sosial

  • Whatsapp
David H. Harvey dan ilustrasi pesisir kota (dok: Istimewa)

Pembangunan kapitalis tidak pernah berlangsung secara merata di seluruh ruang. Beberapa wilayah memperoleh akumulasi modal, infrastruktur, dan peluang, sementara daerah lain terpinggirkan. Ketimpangan ini bukan kebetulan, melainkan merupakan ciri struktural dari kapitalisme.

David H. Harvey

PELAKITA.ID – David W. Harvey adalah seorang ahli geografi Marxis dan teoritikus sosial terkemuka yang berpengaruh besar dalam kajian perkotaan, geografi, ekonomi politik, sosiologi, perencanaan, dan keadilan lingkungan.

Ia dikenal luas karena kontribusinya dalam memahami bagaimana ruang, modal, kekuasaan, dan ketimpangan saling berkelindan dalam sistem kapitalisme global.

Melalui karya-karyanya, Harvey memberikan perangkat teoretis yang tajam untuk menganalisis hubungan antara struktur ekonomi dan bentuk-bentuk ketidakadilan sosial yang terjadi di ruang-ruang geografis.

Beberapa karya pentingnya antara lain Social Justice and the City (1973), The Condition of Postmodernity (1989), Spaces of Hope (2000), Spaces of Global Capitalism, serta Justice, Nature and the Geography of Difference. Buku-buku ini menjadi referensi penting dalam memahami keterkaitan antara pembangunan, keadilan sosial, dan dinamika kapitalisme global.

Gagasan Utama dan Pembelajaran dari David Harvey

1. Ketimpangan Geografis dalam Pembangunan

Harvey berpendapat bahwa pembangunan kapitalis tidak pernah berlangsung secara merata di seluruh ruang. Beberapa wilayah memperoleh akumulasi modal, infrastruktur, dan peluang, sementara daerah lain terpinggirkan. Ketimpangan ini bukan kebetulan, melainkan merupakan ciri struktural dari kapitalisme.

Karena itu, kebijakan pembangunan harus memperhatikan konteks wilayah, sejarah lokal, dan relasi kekuasaan. Inklusi sosial tidak cukup dengan mengentaskan kemiskinan, tetapi juga memastikan distribusi yang adil terhadap infrastruktur, layanan, dan akses publik.

2. Akumulasi Melalui Perampasan (Accumulation by Dispossession)

Konsep ini menjelaskan bahwa proses kapitalisme modern terus berlanjut melalui bentuk-bentuk perampasan baru—seperti privatisasi, komodifikasi sumber daya publik, dan penghilangan hak-hak masyarakat.

Harvey menegaskan bahwa perampasan bukan hanya terjadi dalam tahap awal kapitalisme, tetapi menjadi mekanisme berkelanjutan di era neoliberal.

Dalam konteks pembangunan, gagasan ini menjadi peringatan bahwa proyek-proyek yang meminggirkan masyarakat atau mengkomodifikasi layanan dasar dapat memperburuk ketimpangan sosial.

3. Keadilan Spasial (Spatial Justice)

Bagi Harvey, keadilan tidak hanya menyangkut distribusi ekonomi, tetapi juga bagaimana ruang diatur dan dimaknai. Ruang publik, transportasi, perumahan, dan lingkungan hidup merupakan cerminan relasi kekuasaan.

Karena itu, kebijakan pembangunan harus mempertimbangkan dimensi spasial—siapa yang mendapatkan akses, siapa yang tersisih, dan bagaimana ruang dibentuk untuk kepentingan tertentu.

4. Hak atas Kota (Right to the City)

Harvey turut mempopulerkan konsep “hak atas kota” yang menekankan bahwa warga kota memiliki hak kolektif untuk menentukan arah perkembangan lingkungannya.

Kota bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga ruang politik dan sosial di mana warga berhak ikut serta dalam pengambilan keputusan.

Gagasan ini menginspirasi gerakan sosial perkotaan di seluruh dunia untuk memperjuangkan partisipasi warga, transparansi, dan pemerataan manfaat pembangunan.

5. Kritik terhadap Neoliberalisme dan Globalisasi

Harvey adalah salah satu kritikus paling tajam terhadap kebijakan neoliberal yang mendorong privatisasi, deregulasi, dan pengurangan peran negara.

Ia menilai bahwa kebijakan semacam ini memperdalam ketimpangan sosial, melemahkan perlindungan sosial, dan mengecualikan kelompok rentan.

Dalam kerangka pembangunan, hal ini menegaskan perlunya keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial.

Warisan dalam Dunia Pembangunan dan Inklusi Sosial

Pemikiran Harvey meninggalkan jejak mendalam dalam teori dan praktik pembangunan.

Pertama, ia mengubah cara pandang akademisi dan perencana kota terhadap ruang. Kota tidak lagi dilihat sebagai ruang netral, melainkan sebagai arena perebutan kekuasaan dan modal.

Pemikirannya mendorong para ilmuwan dan praktisi pembangunan untuk memperhitungkan dimensi spasial dalam analisis ketimpangan dan eksklusi sosial.

Kedua, Harvey memperluas pemahaman tentang kemiskinan dan ketertinggalan. Ia menunjukkan bahwa kemiskinan tidak semata disebabkan oleh kurangnya pendapatan, tetapi juga oleh struktur spasial dan kelembagaan yang membatasi akses terhadap hak, sumber daya, dan layanan publik.

Pendekatan ini melahirkan gagasan pembangunan multidimensional yang mencakup aspek lingkungan, perumahan, dan geografi sosial.

Ketiga, melalui konsep “hak atas kota,” Harvey memberi dasar teoretis bagi gerakan sosial dan aktivisme perkotaan yang memperjuangkan hak atas perumahan, akses terhadap ruang publik, dan partisipasi dalam perencanaan kota.

Banyak organisasi masyarakat sipil dan lembaga perencana kota menggunakan pemikiran Harvey untuk menuntut kebijakan yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan.

Keempat, kritiknya terhadap paradigma pembangunan arus utama membantu memperkaya pendekatan alternatif seperti environmental justice, inclusive urbanism, dan pembangunan berkelanjutan.

Harvey menolak pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi otomatis membawa kesejahteraan, melainkan menuntut analisis kritis tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dari setiap kebijakan pembangunan.

Kelima, melalui analisis tentang “spatial fix” atau “solusi spasial,” Harvey menunjukkan bagaimana kapitalisme berusaha mengatasi krisisnya melalui investasi besar-besaran di infrastruktur dan pembangunan kota. Namun, solusi ini sering kali bersifat sementara dan justru menimbulkan ketimpangan baru.

Pemikiran ini menjadi pelajaran penting bagi perumus kebijakan agar mampu mengantisipasi dampak sosial dan ekologis dari proyek-proyek besar.

Pelajaran untuk Dunia Pembangunan Saat Ini

Dari karya-karya Harvey, terdapat sejumlah pelajaran penting bagi para pelaku pembangunan dan pembuat kebijakan masa kini:

  • Rancang kebijakan dengan keadilan spasial. Pastikan infrastruktur, transportasi, dan layanan publik dapat diakses secara adil, termasuk bagi masyarakat di wilayah terpencil.
  • Lindungi hak dan cegah perampasan. Hindari kebijakan yang menggusur atau memprivatisasi aset publik tanpa mekanisme perlindungan sosial.
  • Libatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Inklusi bukan sekadar bantuan, tetapi pemberdayaan dan partisipasi aktif.
  • Ukur ketimpangan secara multidimensi. Keadilan sosial tidak hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga dari akses terhadap ruang, layanan, dan representasi politik.
  • Seimbangkan pertumbuhan dan keadilan. Proyek-proyek besar harus dievaluasi tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga dampaknya terhadap lingkungan dan kelompok rentan.
  • Hubungkan teori dengan praktik. Pemikiran Harvey menegaskan bahwa teori kritis hanya bermakna bila diterapkan untuk memahami dan mengubah realitas sosial.

Kritik dan Batasan

Meskipun berpengaruh besar, pemikiran Harvey tidak luput dari kritik. Beberapa pengamat menilai analisis awalnya kurang memperhatikan dimensi ras, gender, dan etnisitas dalam ketidakadilan spasial.

Selain itu, pendekatannya yang sangat teoretis sering kali sulit diterjemahkan langsung ke dalam kebijakan praktis. Namun demikian, kekuatan Harvey justru terletak pada kemampuannya untuk membuka ruang refleksi kritis terhadap cara kita memahami dan mempraktikkan pembangunan.

Pembaca sekalian, warisan intelektual David Harvey menegaskan bahwa ketimpangan, kekuasaan, dan ruang adalah inti dari persoalan pembangunan.

Ia mengingatkan bahwa tempat seseorang hidup, bagaimana ruang dirancang, dan siapa yang memiliki akses terhadap sumber daya merupakan faktor kunci dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif.

Pemikirannya mendorong agar pertumbuhan ekonomi tidak dijadikan tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai keadilan sosial. Bagi Harvey, pembangunan sejati adalah yang berlandaskan kesetaraan, partisipasi, dan keberlanjutan.

Gagasannya tetap relevan hingga kini sebagai panduan moral dan intelektual bagi upaya membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan manusiawi.

Tamarunang, 9/10/2025