Konsep territorialisasi konservasi (Peluso & Vandergeest, 2001) menunjukkan bahwa kawasan konservasi sering dijadikan alat kontrol geopolitik.
PELAKITA.ID – Tulisan ini mengupas dan menganalisis secara mendalam dinamika ekologi politik dalam konteks global, dengan menyoroti ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang dalam konsumsi serta pengelolaan sumber daya alam.
Ada empat dimensi utama yang menjadi perhatian sebagaimana disebutkan oleh pengampu mata kuliah Ekologi Politik Pembangunan Prof Imam Mujahiddin Fahmid, pada sesi yang digelar oleh Kelas Pascasarjana Unhas.
Pertama, ketimpangan konsumsi sumber daya, yang menunjukkan jurang lebar antara negara maju dengan konsumsi tinggi dan negara berkembang yang aksesnya terbatas.
Kedua, kritik terhadap narasi keberlanjutan, yang mengungkap bagaimana konsep “pembangunan berkelanjutan” sering menjadi alat legitimasi bagi pola konsumsi global yang tidak adil.
Ketiga, ekstraktivisme dan neo-kolonialisme lingkungan, yang menjelaskan bagaimana eksploitasi sumber daya di negara berkembang mencerminkan dominasi kekuasaan global.
Keempat, perlawanan sosial dan alternatif ekologis, yang memperlihatkan bagaimana masyarakat lokal dan gerakan sosial menantang ketidakadilan ekologis dan menuntut keadilan sosial-lingkungan.
Kesenjangan Jejak Ekologis dan Tanggung Jawab Sejarah
Dalam lanskap global modern, perdebatan tentang siapa yang bertanggung jawab atas krisis lingkungan menjadi semakin penting. Data konsumsi sumber daya menunjukkan ketimpangan historis dan struktural antara negara maju dan negara berkembang.
Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengonsumsi lebih dari 6.000 kilogram setara minyak per tahun (Martinez-Alier, 2002), sementara Chad hanya sekitar 200–300 kilogram.
Konsumsi kertas per kapita di negara maju juga mencapai lebih dari 150 kilogram per tahun, jauh dibandingkan dengan sekitar 5 kilogram di Sierra Leone.
Perbedaan ini mencerminkan lebih dari sekadar kesenjangan ekonomi; ia menyingkap relasi kekuasaan yang timpang. Negara-negara berkembang bukan hanya menjadi korban eksploitasi sumber daya, tetapi juga dipaksa mengikuti standar lingkungan global yang tidak selalu relevan dengan kondisi lokal.
Ironinya, negara dengan jejak ekologis terbesar justru menuntut negara berkembang untuk menurunkan emisi karbon dan mengurangi deforestasi, padahal akar masalahnya berada pada pola konsumsi mereka sendiri (Harvey, 2003).
Konsep “accumulation by dispossession” yang dikemukakan Harvey menjelaskan bagaimana negara-negara kaya mengakumulasi kekayaan melalui perampasan sumber daya dari wilayah miskin.
Dengan demikian, krisis lingkungan bukan semata hasil kelalaian teknis, tetapi merupakan cerminan ketidakadilan global yang tertanam dalam sejarah kolonialisme dan industrialisasi.
Kapitalisme Hijau: Retorika Keberlanjutan dan Realitas Eksploitasi
Dalam beberapa dekade terakhir, narasi “pembangunan berkelanjutan” menjadi jargon dominan dalam kebijakan global.
Negara-negara maju seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang mengusung konsep keberlanjutan sebagai janji untuk menyeimbangkan ekonomi dan lingkungan. Namun, ketika dikendalikan oleh logika pasar, konsep tersebut melahirkan paradoks baru yang dikenal sebagai kapitalisme hijau.
Kapitalisme hijau memanfaatkan citra ramah lingkungan untuk mempertahankan pola produksi dan konsumsi yang eksploitatif. Melalui perdagangan karbon dan sertifikasi hijau, negara kaya menciptakan ilusi bahwa eksploitasi telah “dihijaukan”. Padahal, di balik itu, terjadi proses baru dari penindasan dan perampasan hak masyarakat lokal.
Misalnya, proyek penghijauan atau konservasi sering kali mengorbankan hak atas tanah masyarakat adat. Mekanisme kompensasi karbon justru memperpanjang relasi ketimpangan yang sama: polusi tetap terjadi di negara industri, sementara ruang hidup masyarakat di selatan dunia semakin sempit (Büscher & Fletcher, 2015).
Dengan demikian, kapitalisme hijau bukanlah solusi, melainkan bentuk baru dari hegemoni. Ia meneguhkan dominasi ekonomi global sambil menyingkirkan dimensi moral dan sosial dari pembangunan berkelanjutan yang sejati.
Ekstraktivisme dan Ketimpangan dalam Pertukaran Ekologis
Fenomena ekstraktivisme menempati posisi sentral dalam ekologi politik global. Negara-negara berkembang yang kaya sumber daya alam dijadikan basis produksi bagi kebutuhan industri negara maju.
Minyak, batu bara, kayu, dan mineral diekstraksi besar-besaran tanpa memperhatikan dampak ekologis dan sosial. Dalam teori unequal ecological exchange (Hornborg, 2001), dijelaskan bahwa nilai tambah dari proses ekstraksi lebih banyak dinikmati oleh negara pengimpor, sedangkan negara penghasil menanggung kerugian ekologis dan sosial.
Dalam perdagangan internasional, negara berkembang dipaksa mengekspor komoditas mentah dengan harga rendah dan mengimpor produk olahan dengan harga tinggi.
Akibatnya, mereka terjebak dalam siklus ketergantungan struktural. Fenomena ini bukan hanya menciptakan ketimpangan ekonomi, tetapi juga memperkuat dominasi politik global (Moore, 2015).
Lebih jauh, ekstraktivisme merampas kedaulatan masyarakat lokal yang selama ini menjaga kelestarian sumber daya. Relasi ini menunjukkan bahwa pertukaran ekologis tidak pernah netral. Ia merupakan bagian dari struktur global yang dibentuk oleh akumulasi, eksploitasi, dan ketimpangan historis.
Karenanya, menata ulang paradigma pembangunan berarti mengoreksi ketidakadilan ekologis yang terinstitusionalisasi dalam sistem ekonomi dunia.
Neo-Kolonialisme Lingkungan dan Dominasi Epistemologi
Jejak kolonialisme masih kuat dalam kebijakan lingkungan global. Neo-kolonialisme lingkungan muncul melalui mekanisme konservasi internasional yang kerap menyingkirkan masyarakat lokal.
Negara-negara maju, lewat lembaga internasional, menentukan standar pengelolaan lingkungan tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan budaya negara berkembang (Peluso, 1992).
Konsep territorialisasi konservasi (Peluso & Vandergeest, 2001) menunjukkan bahwa kawasan konservasi sering dijadikan alat kontrol geopolitik.
Banyak proyek konservasi menyebabkan pengusiran masyarakat adat dan membuka peluang bagi perusahaan multinasional untuk mengelola sumber daya atas nama “keberlanjutan”. Dengan demikian, kebijakan lingkungan yang tampak ilmiah dan netral sebenarnya sarat kepentingan ekonomi-politik.
Dominasi epistemologi ini memperlihatkan bahwa kebenaran dalam ekologi politik tidak pernah bebas dari kekuasaan. Pengetahuan lokal yang selama berabad-abad menjaga keseimbangan ekologis sering kali dipinggirkan oleh narasi ilmiah Barat yang dianggap lebih “objektif”.
Padahal, tanpa pengakuan terhadap pluralitas pengetahuan, upaya konservasi hanya akan melanjutkan bentuk baru dari penjajahan.
Perlawanan Sosial dan Arah Baru Keadilan Ekologis
Di tengah dominasi global tersebut, muncul perlawanan dari masyarakat lokal dan gerakan sosial yang menuntut keadilan ekologis. Perlawanan ini tidak hanya berupa protes, tetapi juga tindakan kolektif yang menawarkan alternatif terhadap paradigma pembangunan arus utama (Scott, 1985).
Gerakan Fridays for Future, misalnya, menuntut tanggung jawab historis negara maju atas krisis iklim (Latour, 2005).
Di Indonesia, gerakan seperti WALHI dan AMAN menunjukkan bahwa perlawanan sosial mampu menjadi motor transformasi. Mereka memperjuangkan hak masyarakat adat dan perlindungan hutan dari ekspansi industri ekstraktif.
Di Amerika Latin, masyarakat adat Andes memperkenalkan konsep Buen Vivir, yaitu gagasan tentang kehidupan yang harmonis antara manusia dan alam—sebuah alternatif terhadap logika kapitalisme yang menuhankan pertumbuhan ekonomi.
Gerakan degrowth juga menolak gagasan pertumbuhan tanpa batas dengan menyerukan perlambatan ekonomi demi keberlanjutan ekosistem (Swyngedouw, 1995). Sementara itu, tuntutan reparasi iklim dari negara-negara berkembang mengingatkan dunia bahwa krisis lingkungan adalah warisan sejarah kolonialisme dan industrialisasi yang tidak adil.
Perlawanan sosial ini membuka ruang bagi lahirnya paradigma baru yang lebih inklusif, di mana kebijakan lingkungan disusun berdasarkan partisipasi masyarakat, pengakuan terhadap kearifan lokal, dan keadilan lintas generasi.
Ekologi Politik sebagai Seruan Moral dan Transformasi Global
Ekologi politik bukan sekadar disiplin akademis yang menguraikan fakta, tetapi sebuah seruan moral dan politis untuk mereformasi tatanan global. Seperti ditegaskan Escobar (1996) dan Foucault (1977), pengetahuan dan kekuasaan saling terkait dalam membentuk realitas sosial. Karena itu, memahami ekologi berarti juga memahami siapa yang berkuasa menentukan makna “kebenaran” lingkungan.
Keadilan ekologis tidak dapat dicapai hanya dengan kebijakan teknokratis seperti pengurangan emisi atau sertifikasi hijau, tetapi membutuhkan perubahan mendasar dalam struktur ekonomi-politik global.
Dunia memerlukan sistem yang menempatkan alam bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai warisan bersama umat manusia.
Perlawanan masyarakat lokal di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa transformasi itu mungkin terjadi. Dengan mengintegrasikan pengetahuan lokal dan sains modern, serta menolak dominasi epistemologi tunggal, manusia dapat membangun hubungan baru yang lebih setara dengan alam.
Seperti yang diingatkan Bruno Latour (2005), hubungan manusia dan alam tidak bersifat hierarkis, melainkan simbiotik. Alam bukan sekadar objek kebijakan, tetapi mitra dalam membentuk masa depan peradaban.
Penutup
Krisis lingkungan yang kita hadapi hari ini merupakan hasil dari proses panjang penindasan dan eksploitasi sejak era kolonialisme hingga kapitalisme global.
Data konsumsi sumber daya alam yang timpang antara negara maju dan berkembang membuktikan bahwa keberlanjutan tidak bisa dipisahkan dari keadilan sosial.
Ekologi politik mengajarkan bahwa setiap kebijakan lingkungan selalu sarat dengan relasi kekuasaan. Oleh karena itu, solusi sejati terhadap krisis ekologis terletak pada keberanian untuk mempertanyakan paradigma lama dan membangun sistem baru yang berpihak pada kehidupan.
Melalui perlawanan sosial, kolaborasi lintas sektor, dan pengakuan terhadap keberagaman pengetahuan, kita dapat membuka jalan menuju masa depan yang berkeadilan ekologis. Keberlanjutan sejati hanya akan terwujud jika manusia mengakui bahwa alam bukanlah objek untuk dieksploitasi, melainkan subjek yang setara dalam jalinan kehidupan di planet ini.
Tamarunang, 9/10/2025
