Catatan Denun | Resepsi Arny-Ipul, Terminal Gerakan Sipil, dan Inspirasi Masa Depan LSM

  • Whatsapp
Pertemuan para kolega di resepsi Arny-Ipul (dok: Istimewa)

Di atas panggung salah satu tamu berseru: Jangan lupa untuk hadir pada Kemah Bakti FIK ORNOP yang akan digelar di Gowa dalam beberapa hari ke depan.

PELAKITA.ID – Hari Ahad siang di Gedung IMMIM, Jalan Sudirman Makassar, sebuah resepsi pernikahan seakan menjadi ruang yang lebih dari sekadar perayaan dua insan. Resepsi Arny dan Ipul tiba-tiba berubah menjadi terminal tempat berjumpa para pejalan, aktivis LSM dari berbagai generasi dan latar isu.

Mereka datang dengan senyum, cerita, dan kenangan, seolah waktu mengikat kembali persahabatan lama yang dulu ditempa di jalan panjang advokasi.

Penulis yang awalnya menyiapkan batik Tenas IV Smansa yang belum pernah dikenakan siang itu urung bersalin rupa, hanya mengenakan baju yang dipakai di Workshop ’Menulis dengan Merangkul’ Panduan Menulis Berperspektif GEDSI di Benteng Fort Rotterdam.

Bersama Sunarti Sain dan Ismawati INKLUSI Maros kami bergerak ke IMMIM. Seperti Una dan Isma, saya pun tak bersalin baju khas resepsi.

Takkalami,” kataku ke mereka.

Pukul 1 lewat, kami tiba. Ruangan di sayap kanan sudah penuh oleh kolega aktivis LSM. Ada yang menikmati santap siang, ada juga yang berbagi kidung seperti Hamka.

Kak Rasyid dan istri, Tetta Asmin Amin, Wahyuddin Kessa dan Edi Ariadi
Fadiah, Ibrahim Fattah, Haekal dan Wahyuddin Kessa bersama ibu-ibu cantik
Selamat berbahagia Arny dan Ipul

      

Di ruang itu, saya melihat wajah-wajah yang pernah mengisi babak penting gerakan masyarakat sipil di Sulawesi Selatan. Ada tetta Asmin Amin, Wahyuddin Kessa, Muhammad Nawir, Judy Raharjo, Abdul Rasyid Idris, Ratna Kahali, Edi ’Pipit’ Ariadi, Baharuddin Solongi dan geng proyek Usaid-nya, ada kawan saya di ACDI/VOCA Ira Leman.

Ada juga Ibrahim Fattah asal Parepare, sosok yang penulis kenal kerap ke kantor LP3M Ujung Pandang – tempat penulis bekerja tahun 90-an, kala berkantor di Jalan Bungaya.

Di sudut ruangan ada Ema Husain dengan rias khas Bugisnya yang cantik, ada aktivis perlindungan Fadiah Machmud. Hadir pula Jumardi Lanta yang jauh-jauh dari Sorowako.

Ada Pak Sekretaris PKB Sulsel Muhammad Haekal, Lawyer Abdul Azis, hingga Prof. Andi Muhammad Akhmar, Dekan FIB Unhas yang dulu pernah bekerja untuk LSM Masagena (semoga tak keliru).

Selamat berbahagia kakak Arny dan Ipul
Selamat berbahagia Kak Arny – Kak Ipul

 

Jika ada yang kurang itu adalah karena H. Azhar Arsyad tak datang. Kata Haekal, ketua DPW PKB Sulsel itu lagi di Jakarta.  Azhar adalah Koordinator FIK ORNOP Sulsel saat sang pengantin, Arny, mulai aktif ber-LSM. Hadir pula Koordinator FIK ORNOP Sulsel Samsang.

Suasana dalam ruang resepsi itu melebar keluar ruangan. Rupanya ada resepsi jilid dua di luar.

Di sini nampak Judy Raharjo, Muhammad Nawir, keduanya mengingatkan kita pada YLKI di Jalan Sunu, serta beberapa aktivis LSM yang nampaknya masuk generasi tahun 2000-an. Ada beberapa yang baru bertemu dan nampaknya memang masih bertalian dengan sejumlah nama-nama disebutkan sebelumnya.

Tak ketinggalan hadir pula Maqbul Halim. Siapa yang tak kenal nama ini? Aktivis media, influencer sosial politik Sulsel, hingga beberapa aktivis yang selama ini lekat dengan pengantin perempuan Arny. Ada terlihat Husna Husain, hingga Naris Agam, dan masih banyak lagi.

Di grup FIK ORNOP, saya baru tahu kalau beberapa nama sebelumnya telah hadir duluan, sebutlah Andi Yudha Yunus dan istri Andi Tenri, Daeng Ical, Khudri Arsyad dan beberapa nama lainnya seperti Makmur.

Salma Tajang, Ira Leman dan kawan-kawan
Ibu Endang, Ema Husain dan Dr Sakka Pati
Andi Yudha Yunus, Daeng ical dan Khudri Arsyad bersama kakak-kakak terkasih. 

Makna di balik perjumpaan

Sosodara, bagi saya, nama-nama itu, dengan kiprah dan reputasinya masing-masing, merepresentasikan dinamika panjang gerakan advokasi, pemberdayaan, dan pendidikan kritis di Sulawesi Selatan ini. Tentang FIK ORNOP dan tumbuhnya gerakan pembebasan sosial di Indonesia bagian timur.

Di atas panggung salah satu tamu berseru: Jangan lupa untuk hadir pada Jambore FIK ORNOP yang akan digelar di Gowa dalam beberapa hari ke depan.

Begitulah, resepsi Arny dan Ipul ini bukan sekadar tempat nostalgia.

Ia memberi cermin tentang bagaimana gerakan LSM pernah menjadi ruang kompetisi ide, strategi, dan kedekatan dengan masyarakat. Namun di balik kompetisi itu, ada pula benih-benih kebersamaan, yang jika disiram dengan visi baru, bisa melahirkan inspirasi bagi masa depan gerakan sipil di Sulawesi Selatan maupun Indonesia.

Thank you fotonya Naris Agam

 

***

Bagian ini meski terasa ‘agak serius’ tapi tak ada salahnya penulis bagikan.

Jadi begini. Dari perjumpaan sederhana itu, kita bisa menarik sedikitnya lima inspirasi penting.

Pertama, ketika para aktivis lintas isu berkumpul, terlihat jelas betapa gerakan sipil tidak bisa hidup dalam sekat-sekat sempit. Dari advokasi lingkungan hingga UMKM, dari pemberdayaan perempuan hingga gerakan difabel, semua memiliki irisan.

Pertemuana mereka di resepsi ini memberi pesan bahwa ruang perjumpaan, bahkan yang sifatnya nonformal, adalah modal besar bagi gerakan sipil untuk membangun jejaring dan kolaborasi.

Ke depan, koalisi lintas isu akan menjadi kunci menghadapi persoalan multidimensi seperti krisis iklim, transformasi digital, dan ketimpangan sosial. Mereka juga membincang gerakan sosial yang marak belakangan ini.

Kedua,. kenangan masa lalu tentang kompetisi memenangkan hati rakyat adalah bagian dari dinamika gerakan. Namun tantangan zaman kini berbeda. Alih-alih saling mengalahkan, energi besar para aktivis akan lebih bermanfaat bila diarahkan pada kolaborasi.

Agenda bersama dalam penguatan ekonomi rakyat, perlindungan sosial, atau keberlanjutan lingkungan bisa menjadi titik temu baru. Resepsi ini seolah menegaskan: saatnya beranjak dari kompetisi menuju kolaborasi.

Nama-nama senior yang hadir membawa jejak sejarah panjang. Mereka adalah saksi hidup tentang bagaimana gerakan sipil pernah menjadi penggerak perubahan. Namun sejarah itu tak boleh berhenti di satu generasi. Inspirasi dari pertemuan ini adalah perlunya merawat ingatan kolektif melalui dokumentasi, penulisan, dan berbagi pengalaman.

Ketiga, LSM bisa menjadi “sekolah sosial” bagi generasi baru, tempat di mana pengalaman dan idealisme diturunkan. Regenerasi yang sehat adalah syarat agar obor perjuangan tidak padam.

Hadirnya para aktivis perempuan, advokat difabel, dan pegiat inklusi sosial memperlihatkan wajah baru gerakan sipil yang semakin beragam. Inklusi tidak lagi sekadar agenda tambahan, melainkan inti dari gerakan.

Dari acara ini kami migrasi ke IMMIM
Penulis ikut nyempil di antara Sunarti Sain, Ema Husain, Dr Sakka Pati dan Kak Endang (dok: Istimewa)

Masa depan LSM harus berani mengarusutamakan keadilan sosial—agar pembangunan benar-benar menyentuh kelompok yang selama ini terpinggirkan. Dalam hal ini, resepsi itu seakan menjadi panggung kecil yang menunjukkan keberagaman gerakan sipil.

Keempat, pertemuan di resepsi Arny dan Ipul ini juga memperlihatkan sesuatu yang tak kalah penting: jejaring sosial yang hidup dan tetap bertahan di luar ruang-ruang formal. Ini adalah modal sosial yang bisa menopang keberlanjutan gerakan.

Tantangan ke depan adalah bagaimana membangun ekosistem gerakan sipil yang tangguh, baik dari sisi pendanaan, strategi advokasi, maupun inovasi.

Pada akhirnya, pertemuan di resepsi pernikahan ini memberi pelajaran sederhana namun mendalam: bahwa gerakan sipil bukan hanya soal proyek, proposal, atau laporan kegiatan. Ia adalah soal manusia, jejaring, dan perjumpaan. Seperti terminal tempat para pejalan beristirahat, resepsi Arny dan Ipul memberi kesempatan bagi para aktivis untuk sejenak menengok masa lalu, menyapa sahabat lama, dan membayangkan jalan panjang ke depan.

Kelima, gerakan sipil di Sulawesi Selatan, dan Indonesia pada umumnya, punya warisan yang kaya. Di usia yang tak lagi muda, mereka tetap semangat untuk terus terhubung.

Penulis sangat berterima kasih kepada FIK ORNOP karena menjadi fokus riset penulis saat studi Magister Manajemen di FEB Unhas tahun 2009, saat organisasi ini dipimpim Asram Jaya. Judulnya tentang Efektivitas Program FIK ORNOP di Sulawesi Selatan.

Jadi, pertanyaannya sekarang: apakah kita siap menyalakan kembali obor kebersamaan itu, melampaui nostalgia, dan mengarahkannya pada agenda-agenda baru demi masa depan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan?

___
Denun, Tamarunang, 14 September 2025