Dari Perpustakaan ke Literasi: Renungan tentang Nama dan Hakikat Tugas

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Selamat, Hari Kunjungan Perpustakaan, 14 September

Oleh Mustamin Raga

PELAKITA.ID – Sejak bergabung sebagai pejabat di Dinas Perpustakaan, ada satu hal sederhana namun sarat makna yang kerap saya renungkan: mengapa lembaga ini tetap dinamai Dinas Perpustakaan?

Apakah nama tersebut masih cukup untuk menggambarkan tugas, tanggung jawab, dan denyut kerja besar yang dilakukan hari ini?

Pertanyaan ini bukan sekadar soal label. Nama adalah wajah, pintu persepsi yang membentuk cara kita menilai diri sendiri dan bagaimana masyarakat memandang kita. Dan ketika pintu itu sempit, dunia yang terlihat dari luar pun ikut menyempit.

Perpustakaan: Antara Gedung dan Imajinasi Publik

Bagi banyak orang, kata perpustakaan menghadirkan bayangan sebuah gedung dengan rak buku rapi, meja baca, dan suasana tenang. Gambaran ini benar, tetapi juga terbatas—seolah perpustakaan hanyalah ruang fisik yang menunggu dikunjungi.

Padahal, saya melihat langsung bagaimana dinamika kerja lembaga ini jauh lebih luas. Kami bukan sekadar penjaga buku, melainkan penggerak literasi, penyambung pengetahuan, penenun kecerdasan sosial, sekaligus fasilitator agar masyarakat tidak terjebak dalam buta huruf informasi.

Namun, selama label perpustakaan dipertahankan, publik terlanjur memandang sempit. Bahkan sebagian pejabat pun sering salah kaprah, mengira tugas kami sebatas merawat koleksi, menjaga gedung, atau sesekali menggelar lomba baca puisi. Padahal hakikat tanggung jawab kami melampaui itu semua.

Mengapa Nama Itu Penting?

Nama bukan sekadar bunyi, ia adalah makna yang bersemayam. Nama membentuk persepsi, dan persepsi melahirkan sikap.

Selama istilah Dinas Perpustakaan dipertahankan, pesan yang sampai ke masyarakat adalah: “Datanglah ke gedung kami, di sana ada buku untukmu.” Padahal dunia sudah bergerak. Literasi kini tidak lagi sebatas membaca buku di ruang sunyi, melainkan kemampuan menafsir realitas, memilah informasi digital, memahami keuangan, menjaga lingkungan, melestarikan budaya, hingga menyikapi derasnya arus teknologi.

Karena itu, saya mengusulkan agar nama lembaga ini menjadi Dinas Pengembangan Literasi Masyarakat.

Nama ini membawa semangat baru:

  • Pengembangan berarti dinamis dan terus bergerak.

  • Literasi mencakup buku, digital, finansial, budaya, kesehatan, bahkan politik.

  • Masyarakat menegaskan fokus kita bukan pada gedung, melainkan pada manusia, rakyat, dan kehidupan sosial yang nyata.

Dari Menjaga Buku ke Menggerakkan Kehidupan

Mari kita lihat contoh konkret.

  • Seorang ibu di desa terpencil mungkin tak pernah masuk gedung perpustakaan. Tetapi saat ia ikut pelatihan literasi digital sederhana—cara memasarkan hasil kebun lewat aplikasi—di situlah hakikat perpustakaan bekerja.

  • Seorang pedagang kecil di pasar tradisional mungkin tak pernah menyentuh rak koleksi. Namun saat ia belajar literasi finansial—cara mencatat arus uang, membedakan kebutuhan dan keinginan—ia merasakan manfaat dari lembaga yang sering disangka hanya “penjaga buku.”

  • Seorang anak muda di kota mungkin lebih sering memegang gawai ketimbang buku. Tetapi saat ia diajak memilah berita bohong dari fakta melalui program literasi digital, ia belajar membaca dunia dengan cara baru.

Bukankah itu semua literasi? Bukankah itu semua upaya mengembangkan kecerdasan masyarakat?

Literasi Sebagai Gerakan Sosial

Literasi adalah fondasi peradaban. Paulo Freire menulis, “Reading the word is not enough; we must learn to read the world.” Membaca kata saja tidak cukup, kita harus membaca dunia.

UNESCO pun menegaskan, literasi adalah hak asasi manusia dan dasar pembelajaran sepanjang hayat. Tanpa literasi, hak-hak lain sulit diakses. Dengan cara pandang ini, perpustakaan sejatinya adalah motor penggerak demokrasi, keadilan sosial, dan kemandirian warga.

Namun, selama nama kita tetap Dinas Perpustakaan, bayangan yang muncul hanyalah gudang buku, bukan gudang kehidupan.

Menjemput Bola, Meretas Sekat

Dengan nama baru, kita memberi legitimasi lebih luas untuk menjangkau masyarakat. Kita tidak hanya menunggu warga datang, tetapi aktif menjemput mereka.

  • Perpustakaan keliling masuk pasar, terminal, hingga kampung nelayan.

  • Membaca nyaring hadir di puskesmas sambil menunggu antrean.

  • Festival literasi digelar di lapangan desa, merayakan budaya lokal.

  • Pelatihan menulis kreatif untuk remaja sebagai ruang ekspresi alternatif.

  • Literasi lingkungan dikembangkan bersama komunitas, mengajarkan warga membaca tanda-tanda alam.

Inilah wajah baru perpustakaan: hidup, dekat, dan relevan.

Menghadapi Era Disrupsi

Hari ini pengetahuan tidak lagi tersimpan di buku, melainkan berserakan di layar. Informasi cepat, tapi tak selalu benar.

Tanpa kemampuan kritis, masyarakat mudah terseret hoaks, terjebak konsumsi digital dangkal, atau budaya instan. Karena itu, lembaga ini harus hadir bukan sebagai gudang pengetahuan mati, melainkan kompas pengetahuan hidup.

Nama Dinas Pengembangan Literasi Masyarakat akan menegaskan peran itu—sebagai pengawal peradaban di tengah badai digital.

Dari Nama ke Gerakan

Saya sadar, mengganti nama bukan segalanya. Tetapi nama adalah awal kesadaran, pintu masuk menuju gerakan lebih luas.

Bayangkan jika publik mendengar istilah Dinas Pengembangan Literasi Masyarakat. Yang tergambar bukan lagi gedung sepi, melainkan lembaga yang hidup, bergerak, dan relevan. Bukan rak buku berdebu, melainkan wajah masyarakat yang tercerahkan.

Nama baru ini menjadi simbol transformasi: bahwa literasi bukan urusan segelintir pustakawan, melainkan urusan bangsa.

Sebuah Ajakan

Karena itu, saya mengajak semua pihak—pejabat, akademisi, aktivis, hingga masyarakat—untuk memikirkan ulang cara kita memandang lembaga ini. Jangan biarkan kata perpustakaan membatasi imajinasi. Mari kita buka pintu selebar-lebarnya dan rayakan literasi sebagai kerja kemanusiaan yang luas.

Pada akhirnya, tugas kami bukan menjaga buku, melainkan menjaga kecerdasan bangsa.
Dan untuk itu, nama yang lebih tepat adalah:

Dinas Pengembangan Literasi Masyarakat.