PELAKITA.ID – Ketika kita membayangkan pemilu, biasanya yang terlintas adalah kampanye akbar, tempat pemungutan suara, dan debat yang disiarkan televisi.
Jarang sekali kita membayangkan anak muda memberikan suara untuk memilih Perdana Menteri melalui sebuah server Discord. Tetapi itulah yang benar-benar terjadi di Nepal.
Nepal, sebuah negara kecil di kaki Himalaya, di mana generasi mudanya mulai bereksperimen dengan apa yang bisa disebut sebagai demokrasi parlementer digital.

Arena Politik Baru: Dari Jalanan ke Server
Secara historis, politik selalu bertumpu pada institusi fisik: parlemen, kotak suara, hingga ruang publik. Jürgen Habermas, melalui teorinya tentang ruang publik, menekankan pentingnya arena terbuka di mana warga bisa berdiskusi dan mengawasi kekuasaan. Namun, di Nepal, ruang itu bergeser ke platform digital.
Para aktivis muda meninggalkan jalanan dan membentuk sebuah “parlemen digital” di Discord, tempat mereka bersama-sama memilih Perdana Menteri interim.
Pemenangnya, Sushila Karki, bukan sosok biasa. Ia adalah mantan Ketua Mahkamah Agung dan perempuan pertama yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Nepal.
Pemilihannya melambangkan integritas sekaligus inklusivitas. Namun, yang lebih penting dari hasilnya adalah prosesnya: sebuah praktik demokrasi partisipatif yang diselenggarakan secara mandiri dengan berbasis teknologi.
Demokrasi Digital dan Teori Perubahan
Para teoritikus politik telah lama memperdebatkan bagaimana demokrasi beradaptasi di era digital.
Kerangka “network society” Manuel Castells menyatakan bahwa kekuasaan kini semakin mengalir melalui jejaring digital, di mana warga bisa melewati elit tradisional dan menciptakan ruang pengaruh mereka sendiri.
Kasus Nepal menggambarkan hal ini dengan jelas: alih-alih melalui lobi, kampanye televisi, atau politik baliho, keputusan justru lahir dari konsensus daring.
Sejalan dengan itu, para pemikir demokrasi partisipatif (Pateman, 1970) menegaskan bahwa warga negara harus dilibatkan secara langsung dalam membentuk hasil politik, tidak hanya melalui pemilu berkala, tetapi juga lewat praktik sehari-hari berupa diskusi dan pengambilan keputusan bersama.
Pemuda Nepal menunjukkan prinsip ini dengan melampaui kritik terhadap sistem korup, lalu membangun mekanisme pengambilan keputusan alternatif.
Pelajaran untuk Global South (dan Dunia)
Bagi banyak negara di Global South, demokrasi sering diidentikkan dengan korupsi, dominasi elit, dan kekecewaan publik. Eksperimen Nepal memberikan setidaknya tiga pelajaran:
-
Demokrasi bisa di-hack dari bawah. Anak muda tidak menunggu reformasi struktural; mereka membangun sistem sendiri dengan alat yang mereka kuasai.
-
Kepercayaan lebih kuat daripada sumber daya. Tanpa anggaran miliaran dolar atau mesin kampanye canggih, pemuda Nepal bertumpu pada koordinasi, transparansi, dan keberanian.
-
Alat digital adalah alat politik. Platform yang dulunya untuk diskusi anime dan gim kini berubah menjadi kanal pengambilan keputusan kolektif dengan dampak politik nyata.
Negara seperti Indonesia, di mana anak muda mendominasi ruang digital, sepatutnya mengambil pelajaran.
Alih-alih hanya menjadi “silent reader” di grup WhatsApp alumni atau sekadar konsumen pasif berita politik, komunitas muda bisa merancang infrastruktur demokrasi mereka sendiri: forum terbuka, alat voting transparan, hingga sistem akuntabilitas berbasis blockchain.
Hal ini selaras dengan teori demokrasi deliberatif (Gutmann & Thompson, 1996) yang menekankan bahwa legitimasi lahir dari dialog rasional di antara warga negara yang bebas dan setara. Parlemen Discord Nepal menjadi contoh nyata: sebuah ruang di mana warga berdiskusi, memutuskan, dan pada akhirnya memengaruhi kepemimpinan negara.
Sosodara, “Pemilu tanpa anggaran” di Nepal bukan sekadar cerita unik—ini adalah kilasan masa depan demokrasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa ketika institusi tradisional gagal mendapatkan kepercayaan, warga—terutama generasi muda—akan menciptakan arena politik baru.
Pertanyaannya bukan lagi apakah demokrasi digital akan hadir. Ia sudah hadir.
Tantangan sebenarnya adalah apakah kita siap untuk menerimanya, belajar dari Nepal, dan membayangkan ulang demokrasi bukan sebagai ritual yang terbatas pada kotak suara, melainkan sebagai proses hidup yang berakar pada kepercayaan digital, partisipasi, dan inovasi.
Minimal kita manfaatkan teknologi digital untuk perbaikan perencanaan pembangunan RT/RW, desa, kelurahan hingga di atasnya. Siap?
Penulis Kamaruddin Azis
