Menilik Banjir Tatkala Hujan Sejenak: Perebutan “Hak” antara Alam dan Manusia

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Menilik Banjir Tatkala Hujan Sejenak: Perebutan “Hak” antara Alam dan Manusia

Oleh: Rizkan Fauzie, Mekan88

PELAKITA.ID – Hujan yang turun hanya sejenak—kadang tak sampai satu jam—sudah cukup membuat banyak wilayah di Sulawesi Selatan terendam. Jalanan berubah menjadi sungai, selokan meluap, rumah-rumah tergenang.

Fenomena yang semakin sering kita temukan ini di Sulawesi Selatan bukan lagi kejutan, melainkan pengulangan yang kian mengkhawatirkan. Banjir di mana-mana, Jeneponto, Bantaeng hingga Bulukumba dalam sepakan ini dalam nelangsa.

Tapi pernahkah kita bertanya dengan jujur: mengapa hujan sejenak saja bisa berubah menjadi bencana? Di situlah letak konflik yang tersembunyi: perebutan ruang antara manusia dan alam—tentang hak, keseimbangan, dan dominasi.

Hak-Hak Alam yang Terpinggirkan

Alam sejatinya memiliki hak-hak ekologis. Sungai butuh ruang geraknya, tanah perlu kawasan resapan, pepohonan memerlukan tempat hidup. Namun, dalam arus pembangunan dan ambisi betonisasi, hak-hak itu secara sistematis dikesampingkan.

Sungai dipersempit demi pelebaran jalan, rawa dan sawah dikeringkan untuk kawasan hunian, pepohonan ditebang demi ruang parkir dan bangunan megah.

Ketika hujan datang, air kehilangan tempatnya untuk meresap dan berdiam. Tanah yang dulu menyerap kini ditutupi aspal dan paving block.

Drainase yang kecil dan tersumbat tak sanggup menampung limpahan air. Maka, air pun “menuntut kembali haknya”—dan banjir adalah bentuk protes yang paling nyata dari alam.

Manusia: Pemilik Sah atau Perampas Ruang?

Ironisnya, manusia merasa berhak atas tanah dan sungai hanya karena memiliki sertifikat kepemilikan. Padahal, dalam perspektif ekologis, kepemilikan itu hanyalah konstruksi sosial yang seharusnya tunduk pada etika ekologis. Kita lupa, setiap jengkal tanah ikut berperan dalam siklus air, udara, dan kehidupan lainnya.

Alih-alih hidup berdampingan, manusia cenderung mendominasi. Perencanaan kota minim pendekatan ekologis. Ruang terbuka hijau kalah oleh pusat belanja.

Masterplan drainase tak pernah diperbarui, sementara reklamasi terus berjalan tanpa kajian dampak yang menyeluruh. Dalam perebutan ini, manusia menang secara legal, tetapi kalah secara moral dan ekologis.

Pemerintah dan Publik: Siapa Mendikte Siapa?

Kemarahan publik sering ditumpahkan kepada pemerintah saat banjir terjadi. Namun publik juga punya andil: membuang sampah sembarangan, mendirikan bangunan tanpa izin di bantaran sungai, atau mendesak pemerintah membeton sungai demi “keamanan visual”—semua itu bagian dari akar masalah.

Di sisi lain, pemerintah kerap merespons secara reaktif, minim edukasi publik, dan abai pada keberlanjutan. Kebijakan yang diambil lebih bersifat tambal sulam ketimbang perubahan paradigma.

Padahal, solusi tak cukup hanya memperbesar gorong-gorong atau meninggikan tanggul. Yang dibutuhkan adalah perubahan cara pandang terhadap ruang. Kita perlu mengakui bahwa sungai bukan saluran limbah, lahan kosong bukan peluang komersial semata, dan hujan bukan musuh, melainkan pengingat.

Menemukan Keseimbangan Baru

Kita belum terlambat. Kota-kota seperti Semarang mulai menerapkan konsep sponge city, Jakarta mulai menjajaki pendekatan nature-based solution, dan sejumlah kabupaten telah memulai restorasi daerah aliran sungai.

Namun, semua itu harus dilakukan dengan lebih cepat, lebih berani, dan lebih menyentuh akar persoalan: cara manusia memandang dan memperlakukan alam.

Jika manusia ingin hidup nyaman dan aman, ia harus memberi ruang bagi alam untuk hidup juga. Bukan sebagai pelengkap kota, melainkan sebagai elemen kunci dalam perencanaan dan peradaban.

Banjir akibat hujan sejenak adalah pesan. Alam sedang bereaksi. Dan seperti dalam setiap konflik, damai hanya bisa dicapai dengan saling menghormati. Bukan dominasi, bukan penaklukan, tapi koeksistensi.

___
Tulisan ini adalah tanggung jawab pribadi penulis