Jejak ‘Tangan Tak Terlihat’ Adam Smith dalam Ekonomi Indonesia Orde Baru

  • Whatsapp
Perempuan nelayan di Wakatobi, potret pelaku pembangunan yang tak diperhitungkan (dok: Pelakita.ID)

PELAKITA.ID – Dalam sejarah pemikiran ekonomi modern, nama Adam Smith kerap ditempatkan sebagai pelopor ide-ide pasar bebas yang mendasari sistem kapitalisme.

Melalui karya monumentalnya, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776), Smith memperkenalkan konsep “invisible hand”—tangan tak terlihat—sebagai metafora tentang bagaimana kepentingan pribadi para pelaku ekonomi, jika dibiarkan beroperasi bebas dalam pasar, akan secara tidak langsung menguntungkan masyarakat luas.

Gagasan ini menekankan bahwa intervensi pemerintah dalam pasar seharusnya dibatasi seminimal mungkin.

Smith percaya bahwa kompetisi, kebebasan individu untuk berusaha, dan kepemilikan pribadi akan menciptakan efisiensi, inovasi, dan distribusi barang dan jasa secara optimal.

Dalam narasi ini, negara hanya berperan dalam menjaga ketertiban, keamanan, dan infrastruktur dasar.

Meskipun konteks sosial dan politik Adam Smith berada di Eropa abad ke-18, ide-ide dasarnya menjalar jauh hingga ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Pertanyaannya: bagaimana konsep “invisible hand” dan perdagangan bebas ini diterjemahkan ke dalam kebijakan ekonomi Indonesia? Salah satu fase paling signifikan dalam adopsi ide Smithian di Indonesia terjadi pada era Orde Baru (1966–1998), di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Orde Baru: Stabilitas Politik, Liberalisasi Ekonomi

Setelah kekacauan ekonomi dan politik pada masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965), pemerintahan Orde Baru bertekad mengembalikan stabilitas nasional dengan agenda pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama.

Dalam kerangka ini, rezim Soeharto mengambil jarak dari model ekonomi etatis dan nasionalistik yang mendominasi era sebelumnya. Para teknokrat ekonomi, yang dikenal sebagai “Mafia Berkeley”, memainkan peran penting dalam merumuskan kebijakan pembangunan yang berakar pada prinsip-prinsip liberalisme ekonomi—sebuah adaptasi pragmatis dari pemikiran Adam Smith.

Dibimbing oleh para ekonom lulusan Universitas California, Berkeley, seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, dan Ali Wardhana, kebijakan ekonomi Indonesia diarahkan pada stabilisasi makroekonomi, deregulasi pasar, dan privatisasi BUMN.

Pemerintah membuka ruang bagi investasi asing, mengurangi hambatan perdagangan, serta menempatkan sektor swasta sebagai motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Intervensi negara dalam kegiatan ekonomi pun mulai dikurangi, sejalan dengan semangat pasar bebas yang diyakini akan membawa efisiensi dan kesejahteraan.

Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi pada era 1980-an merupakan contoh konkret dari penerapan prinsip “tangan tak terlihat”.

Pemerintah menghapus berbagai izin yang berbelit, menurunkan tarif impor, dan mendorong ekspor sebagai penggerak pertumbuhan. Sektor industri manufaktur berkembang pesat, sementara sektor perbankan diperluas untuk mendorong investasi domestik.

Perdagangan Bebas dan Ketimpangan Struktural

Namun, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada era Orde Baru mencatat angka impresif—rata-rata 7% per tahun pada dekade 1980-an hingga awal 1990-an—penerapan prinsip pasar bebas tidak lepas dari kritik. Salah satu kritik utama adalah bahwa liberalisasi ekonomi tidak disertai dengan penguatan kelembagaan, akuntabilitas, dan pemerataan manfaat.

Dalam praktiknya, “tangan tak terlihat” justru sering tertutup oleh tangan-tangan oligarki yang memanfaatkan celah kebijakan untuk memperkuat kekuasaan dan akumulasi modal secara eksklusif.

Banyak kebijakan yang berpihak pada kelompok pengusaha besar, khususnya kroni-kroni rezim, sehingga menciptakan ketimpangan struktural yang tajam.

Pemusatan kekayaan dan akses ekonomi di tangan segelintir elite menjadi konsekuensi dari liberalisasi yang tidak diawasi dengan prinsip keadilan sosial.

Sebagai contoh, sektor keuangan yang dibuka untuk persaingan ternyata dimonopoli oleh beberapa konglomerat, sementara proyek-proyek besar infrastruktur diberikan kepada kelompok bisnis yang dekat dengan kekuasaan. Sementara itu, sektor pertanian—yang menjadi tumpuan hidup mayoritas penduduk Indonesia—terabaikan dalam prioritas pembangunan.

Refleksi: Menimbang Kembali ‘Invisible Hand’

Pengalaman Indonesia dalam menerjemahkan ide Adam Smith menunjukkan bahwa pasar bebas bukanlah jaminan otomatis bagi kesejahteraan merata. Tanpa regulasi yang adil, transparansi, dan keberpihakan pada kelompok rentan, pasar bisa menjadi alat eksklusi daripada inklusi.

Setelah krisis ekonomi 1997–1998, kebijakan pembangunan Indonesia perlahan bergeser. Peran negara kembali diperkuat, terutama dalam menyediakan jaring pengaman sosial dan membangun sektor-sektor strategis.

Di sisi lain, prinsip efisiensi dan produktivitas tetap dijaga, mencerminkan pencarian bentuk baru hubungan antara negara dan pasar.

Dengan demikian, ide Adam Smith tidak lantas ditolak, tetapi direfleksikan dan ditafsirkan ulang dalam konteks lokal.

“Tangan tak terlihat” pasar tetap relevan, asalkan berjalan berdampingan dengan “mata yang awas” dari negara dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa pembangunan berjalan inklusif dan berkeadilan.