PELAKITA.ID – Dalam sejarah pemikiran ekonomi, David Ricardo (1772–1823) adalah sosok penting yang menjelaskan bagaimana perdagangan antarnegara dapat membawa manfaat, bahkan ketika satu negara lebih efisien dalam memproduksi semua barang.
Melalui teorinya yang dikenal sebagai keunggulan komparatif (comparative advantage), Ricardo membalik pandangan konvensional dan menawarkan dasar konseptual bagi sistem perdagangan global yang kita kenal hingga hari ini.
Teori keunggulan komparatif menyatakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan apabila mereka mengkhususkan diri dalam produksi barang yang mereka hasilkan dengan biaya relatif lebih rendah, dan kemudian menukarkannya dengan barang lain dari negara lain. Intinya bukan pada keunggulan mutlak, melainkan pada efisiensi relatif.
Inti Pemikiran Ricardo: Spesialisasi dan Pertukaran
Ricardo mengilustrasikan teorinya melalui contoh dua negara, Inggris dan Portugal, yang sama-sama bisa memproduksi anggur dan kain.
Meskipun Portugal lebih efisien dalam memproduksi keduanya, tetap akan menguntungkan jika Portugal fokus pada anggur (di mana keunggulannya paling besar), dan Inggris fokus pada kain (di mana keunggulannya relatif lebih kecil). Dengan spesialisasi ini, total produksi global meningkat, dan kedua negara memperoleh manfaat melalui perdagangan.
Teori ini menjadi dasar dari argumen kuat untuk perdagangan bebas, yang menyatakan bahwa hambatan perdagangan seperti tarif dan kuota hanya akan merugikan efisiensi global dan menghambat kemakmuran.
Dampak Global: Perdagangan Bebas dan WTO
Selama dua abad terakhir, gagasan Ricardo telah menjadi fondasi kebijakan perdagangan internasional, terutama setelah Perang Dunia II ketika sistem perdagangan multilateral mulai dibangun.
Organisasi seperti General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan kemudian World Trade Organization (WTO) didasarkan pada prinsip bahwa liberalisasi perdagangan akan menciptakan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi global.
Banyak negara, termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, didorong untuk membuka ekonominya, menghapus tarif, dan mengintegrasikan diri ke dalam pasar dunia.
Sektor-sektor yang dianggap memiliki keunggulan komparatif—misalnya sumber daya alam, pertanian tropis, atau industri padat karya—didorong untuk menjadi fokus utama ekspor.
Refleksi atas Penerapan di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, teori keunggulan komparatif digunakan untuk mendukung ekspor komoditas seperti kelapa sawit, batu bara, nikel, dan produk-produk pertanian tropis lainnya.
Pemerintah mendorong pertumbuhan sektor-sektor tersebut karena dinilai sesuai dengan struktur biaya dan potensi sumber daya yang dimiliki.
Namun, ada tantangan serius dan konsekuensi sosial-lingkungan yang muncul dari penerapan teori ini secara kaku. Misalnya:
Deindustrialisasi dini: Alih-alih membangun basis industri nasional, Indonesia justru terlalu fokus pada ekspor bahan mentah. Ini memperlemah struktur ekonomi jangka panjang dan memperbesar ketergantungan terhadap harga pasar global.
Ketimpangan wilayah: Daerah-daerah penghasil komoditas seringkali menghadapi kerusakan lingkungan dan konflik sosial, sementara nilai tambah ekonomi justru mengalir ke pusat-pusat industri atau ekspor.
Kerapuhan ekonomi: Ketika harga komoditas global jatuh, ekonomi Indonesia pun ikut terpukul, seperti terlihat dalam krisis ekonomi global 2008 dan pandemi COVID-19.
Mengkritisi dan Menyesuaikan: Perspektif Baru atas Ricardo
Meskipun teori Ricardo menawarkan logika elegan tentang efisiensi global, penerapannya memerlukan konteks kelembagaan dan strategi pembangunan yang cermat.
Negara-negara yang berhasil seperti Korea Selatan dan Tiongkok, justru tidak sepenuhnya mengikuti logika keunggulan komparatif di awal pembangunan mereka.
Mereka membangun industri strategis, menetapkan perlindungan sementara, dan baru membuka diri setelah sektor-sektor tersebut cukup kuat untuk bersaing.
Indonesia dapat belajar dari strategi ini dengan meninjau ulang peran negara dalam membentuk keunggulan komparatif secara dinamis, bukan hanya menerima kondisi saat ini sebagai takdir. Hal ini dapat diwujudkan melalui:
Hilirisasi industri: Meningkatkan nilai tambah dalam negeri sebelum mengekspor barang mentah, seperti yang dilakukan melalui kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel mentah.
Investasi dalam riset dan inovasi: Mendorong produktivitas dan efisiensi di sektor-sektor yang strategis dan potensial.
Pendidikan dan pelatihan: Membangun kualitas tenaga kerja untuk memasuki sektor-sektor bernilai tambah tinggi.
Kesimpulan: Relevansi dan Kritis terhadap Ricardo
Teori keunggulan komparatif David Ricardo tetap relevan sebagai dasar untuk memahami manfaat perdagangan antarnegara.
Namun, dalam praktiknya, teori ini tidak cukup apabila tidak diimbangi dengan kebijakan industri, pembangunan kapasitas nasional, dan keberpihakan pada kepentingan jangka panjang bangsa.
Dalam kasus Indonesia, pendekatan yang terlalu percaya pada kekuatan pasar dan keunggulan alami bisa menjadi jebakan.
Yang dibutuhkan adalah strategi cerdas yang menggabungkan efisiensi ekonomi dengan kedaulatan pembangunan dan keadilan sosial. Dengan demikian, keunggulan komparatif bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan bisa dibentuk dan diciptakan melalui peran aktif negara dan masyarakat.