Problematik Dunia Modern: Masih Perlukah Agama?

  • Whatsapp
Ilustrasi Buku Maut

Problematik Dunia Modern: Masih Perlukah Agama?
Refleksi dari Buku “Maut” Karya Dr. Sidi Gazalba
Oleh: Rizkan Fauzie, Mekan88

PELAKITA.ID – Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang dijejali kecanggihan teknologi dan rasionalitas tinggi, kita seperti hidup dalam kemajuan yang terus melaju—namun dengan jiwa yang tertinggal.

Kemajuan ini menghadirkan kenyamanan, efisiensi, dan kemudahan. Tapi ia juga menimbulkan pertanyaan eksistensial yang makin menggema di relung batin: untuk apa semua ini? Siapa aku? Ke mana aku akan pergi setelah mati?

Mengutip Dr. Sidi Gazalba dalam bukunya yang menggugah, Maut, tidak ada jawaban bombastis yang ia tawarkan. Ia justru mengajak kita merenung, bahwa kematian bukan hanya fakta biologis, tapi momentum kesadaran eksistensial yang paling dalam.

Kematian adalah panggilan untuk menengok kembali makna hidup—dan tempat agama berada.

Modernitas dan Kekosongan Makna

Dunia modern menekankan aspek rasionalitas dan empirik. Segala sesuatu yang tidak terukur sering kali dianggap usang atau irasional—termasuk agama.

Banyak yang menganggap bahwa agama telah selesai, tidak lagi relevan. Bukankah hukum sudah cukup menjamin keadilan? Bukankah moral bisa dibentuk lewat pendidikan modern?

Namun, di balik semua tatanan yang tampak rapi itu, manusia modern justru kian gelisah. Angka depresi dan krisis identitas meningkat. Banyak yang hidup dalam kekosongan makna meskipun dikelilingi oleh kemudahan material. Dalam kesunyian batin itulah, agama menemukan kembali urgensinya.

Agama: Antara Simbol dan Spiritualitas

Tentu saja, yang dimaksud agama bukanlah semata-mata institusi atau dogma yang kaku.

Ia bicara tentang agama sebagai kesadaran ilahiah yang menuntun manusia memahami dirinya dan realitas tertinggi. Agama sebagai jalan ruhani—bukan sekadar simbol, seremonial, atau instrumen politik.

Agama, dalam pandangan ini, justru menjadi semacam lentera dalam lorong gelap dunia modern. Ketika manusia kehilangan makna dan arah, agama menghadirkan orientasi yang tak bisa diberikan oleh teknologi maupun ilmu pengetahuan.

Maut dan Makna Hidup

Maut bukanlah sebuah istilah teologis semata, tetapi merupakan refleksi. Ia membawa kesadaran kita untuk berdamai dengan kenyataan bahwa hidup manusia itu fana. Tapi dari kefanaan itulah muncul kesadaran akan yang abadi. Dengan kata lain, hanya dengan merenungi kematian, manusia dapat benar-benar hidup.

Dan di titik inilah agama menjadi sangat relevan. Karena hanya agama yang secara konsisten mengajarkan manusia untuk hidup dengan kesadaran bahwa kematian itu pasti—dan bahwa hidup bukan sekadar menunda mati, melainkan menyiapkan diri menghadapinya dengan penuh makna.

Menolak Reduksi Makna

Pertanyaan apakah agama masih perlu di era modern tidak bisa dijawab hanya dari aspek fungsional. Kita tak bisa semata-mata melihat agama dari kegunaannya dalam sistem sosial. Sebab, begitu agama hanya dijadikan “alat”, kita telah mereduksi sesuatu yang seharusnya menjadi pusat orientasi hidup manusia.

Bagi mereka yang mencari makna, agama bukan sekadar perlu—ia mutlak dibutuhkan.

Sebab tanpa agama, manusia bisa kehilangan arah dan kehilangan dirinya sendiri. Dunia bisa semakin canggih, tetapi manusia tetaplah makhluk yang rindu pada makna. Dan agama, dalam hakikatnya yang murni, adalah penjaga makna itu.

Penutup

Refleksi dan perenungan mendalam atas Maut mengajak kita kembali menimbang ulang posisi agama di tengah modernitas. Bukan untuk kembali ke masa lalu, bukan pula untuk menolak modernitas. Tapi untuk memastikan bahwa dalam arus kemajuan ini, kita tidak kehilangan jiwa.

Karena sehebat apa pun dunia dibangun, jika ia tak lagi memberi makna, manusia akan tetap gelisah. Dan di situlah agama akan selalu pulang ke tempatnya—sebagai kebutuhan terdalam manusia.

Gowa, 28 Juni 2025

Tentang Penulis
Rizkan Fauzie adalah alumni Program Studi Mekanisasi Pertanian, Universitas Hasanuddin. Ia aktif dalam kajian keislaman, etika sosial, dan budaya religius di masyarakat rural maupun urban.